Urgensi untuk Meningkatkan Pemanfaatan Peluang Energi Terbarukan Global

Foto: Freepik.
Mengurangi penggunaan bahan bakar fosil merupakan aspek penting sekaligus amat kompleks dalam transisi energi. Namun, peluang tersebut masih terbuka lebar. Dengan komitmen yang kuat dan implementasi yang bertanggung jawab, pertumbuhan sumber energi terbarukan selama bertahun-tahun membuka peluang yang lebih luas untuk mempercepat dekarbonisasi.
Pertumbuhan Energi Terbarukan
“Energi terbarukan akan tetap ada karena merupakan fondasi ketahanan dan kedaulatan energi,” ujar Sekretaris Jenderal PBB António Guterres dalam pidatonya tentang Aksi Iklim. Perjanjian Paris, yang diadopsi pada tahun 2015 oleh 195 pihak, menandai langkah signifikan dalam peralihan kolektif global menuju dunia nol emisi.
Transisi dari bahan bakar fosil ke sumber energi terbarukan menjadi fokus utama dalam upaya ini. Energi terbarukan merujuk pada sumber energi yang dapat diperbarui, seperti tenaga surya, angin, dan hidro. Proyek Badan Energi Internasional (IEA) menuju nol bersih menyatakan bahwa hampir 90% pembangkit listrik global pada tahun 2050 akan berasal dari sumber terbarukan. Secara khusus, pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan angin diperkirakan akan menyumbang 70%. Keduanya telah mengalami pertumbuhan pesat selama bertahun-tahun, melipatgandakan kapasitas dan pangsa pembangkit listrik dalam rentang tahun 2018 hingga 2023.
Laporan PBB tentang transisi energi menyatakan bahwa pertumbuhan ini didorong oleh dukungan kebijakan dan pengurangan biaya yang signifikan untuk pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) dan angin. Pembangunan infrastruktur ini juga lebih cepat daripada fasilitas pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas. Diperkirakan, 96% proyek PLTS dan angin skala besar baru memiliki biaya lebih rendah daripada pembangkit listrik tenaga batu bara dan gas baru. Bahkan dibandingkan dengan biaya yang ditawarkan oleh pembangkit listrik berbahan bakar fosil yang ada, 75% PLTS dan angin masih lebih murah.
Perkembangan ini menawarkan peluang yang solid untuk mempercepat transisi energi dan memperkuat akses serta keamanan energi. Tidak hanya itu, perkembangan ini juga menghasilkan manfaat di sektor lain, seperti penciptaan lapangan kerja, pengurangan polusi, dan pertumbuhan ekonomi.
Kurangnya Investasi dan Hambatan Lainnya
Meskipun ada kemajuan, masih terdapat hambatan untuk memastikan transisi energi yang adil dan inklusif. Salah satu hambatan terbesar adalah terbatasnya aliran modal dan pembiayaan ke negara-negara berkembang. Laporan PBB menyebutkan bahwa pada periode 2020–2023, negara-negara maju menarik investasi terkait transisi energi 18 kali lebih banyak daripada 154 negara Pasar Berkembang dan Ekonomi Berkembang (EMDE) kecuali China. Hingga tahun 2023, lebih dari 30 negara berkembang masih belum mendaftarkan proyek investasi internasional berskala utilitas untuk energi terbarukan.
Investasi yang substansial sangat penting, mengingat banyak negara berkembang masih kekurangan sumber energi yang andal dan mudah diakses. Di Mesir, misalnya, rumah tangga berpenghasilan rendah harus bergantung pada bahan bakar fosil, yang menghabiskan biaya sekitar 10% dari pendapatan bulanan mereka. Selain itu, sebuah studi mengungkapkan bahwa sekitar 1,1 miliar orang di negara-negara berkembang mengalami kekurangan energi, yang ditunjukkan melalui citra satelit bahwa tidak ada penggunaan listrik di malam hari. Membangun proyek energi terbarukan akan membantu mengatasi masalah ini dan memperkuat akses serta kedaulatan energi, terutama di masyarakat pedesaan dan terpencil.
Untuk mencapai hal ini, sekaligus mengamankan suhu 1,5°C, diperlukan peningkatan investasi energi bersih menjadi sekitar 1,4–1,9 triliun dolar AS per tahun pada tahun 2030. Jumlah ini mencakup investasi dalam energi terbarukan, efisiensi energi, dan langkah-langkah terkait transisi lainnya yang dapat mengurangi emisi gas rumah kaca dalam pembangkitan energi.
Memastikan transisi energi yang inklusif dan adil juga berarti melindungi hak asasi manusia dan perlindungan lingkungan di seluruh rantai pasok. Selain itu, transisi energi yang adil juga harus meminimalkan dampak terhadap keanekaragaman hayati dalam proses ekstraksi mineral kritis dan menghilangkan segala bentuk perbudakan dan eksploitasi modern dalam rantai pasok energi terbarukan.
Mewujudkan Transisi Energi yang Inklusif dan Adil
Kita berpacu melawan suhu global yang terus meningkat, yang menggarisbawahi urgensi untuk meningkatkan pemanfaatan peluang energi terbarukan sesegera mungkin.
Laporan PBB menekankan beberapa strategi utama, seperti:
- Menyediakan kebijakan yang jelas dan koheren.
- Berinvestasi dalam infrastruktur yang mendukung.
- Mengintegrasikan energi terbarukan untuk memenuhi permintaan listrik di sektor-sektor yang sedang berkembang seperti teknologi.
- Memusatkan hak asasi manusia dan hak lingkungan dalam transisi energi.
- Meningkatkan kerja sama perdagangan dan investasi.
Mewujudkan strategi-strategi ini harus melibatkan partisipasi aktif dari pemerintah, organisasi internasional, lembaga keuangan pembangunan, dan sektor swasta untuk menetapkan kebijakan yang cerdas dan pragmatis serta kerja sama internasional yang lebih besar.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia
Madina adalah Asisten Manajer Publikasi Digital di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Program Studi Sastra Inggris dari Universitas Indonesia. Madina memiliki 3 tahun pengalaman profesional dalam publikasi digital internasional, program, dan kemitraan GNA, khususnya dalam isu-isu sosial dan budaya.