Bagaimana Karakteristik Demografis Memengaruhi Emisi Karbon Individu

Foto: Vincentius Chrisna Febrian di Unsplash.
Setiap orang meninggalkan emisi karbon dalam keputusan sehari-hari, mulai dari cara bepergian hingga makanan yang dikonsumsi dan baju yang dikenakan. Jumlah emisi yang dihasilkan tidak terlepas dari konteks sosial dan geografis yang mempengaruhi pilihan hidup tiap individu. Karena itu, penting untuk memahami pola emisi karbon individu sebagai dasar perumusan kebijakan iklim yang lebih adil dan kontekstual. Laporan IESR mengulik bagaimana kondisi demografi memengaruhi besaran emisi karbon individu di kawasan perkotaan, semi-perkotaan, dan pedesaan di Pulau Jawa.
Konteks Sosial dan Geografis
Di tengah dorongan untuk menjalankan hidup rendah karbon, beberapa kampanye publik menempatkan individu sebagai aktor utama perubahan. Padahal, tidak semua orang punya kapasitas yang sama untuk memilih gaya hidup ramah lingkungan. Pendapatan, akses transportasi publik, kondisi lingkungan, dan infrastruktur energi sangat mempengaruhi besar kecilnya emisi individu. Ketimpangan ini jarang terlihat dalam narasi iklim arus utama.
Salah satu studi di Jakarta menunjukkan bahwa pekerjaan dan pendapatan seseorang sangat menentukan emisi karbon, terutama dari listrik dan transportasi pribadi. Hal tersebut dapat dilihat dari emisi per individu di perkotaan lebih tinggi daripada di wilayah semi perkotaan dan pedesaan. Kondisi ini dipengaruhi oleh intensitas mobilitas, pola konsumsi, serta keterbatasan atau kelebihan infrastruktur yang tersedia di tiap wilayah. Artinya, konteks sosial dan geografis sangat menentukan, sehingga kebijakan terkait iklim mesti disesuaikan dengan konteks tersebut.
Pola Emisi Karbon Individu
Ketimpangan emisi karbon individu yang dipengaruhi oleh faktor wilayah dan kondisi sosial ekonomi tidak bisa dilepaskan dari data yang lebih rinci dan terukur. Laporan IESR menganalisis data dari ratusan responden di Pulau Jawa, dengan fokus pada keterkaitan antara tempat tinggal, profil demografis, dan sumber emisi.
Berdasarkan laporan tersebut, rata-rata individu di wilayah perkotaan memiliki emisi karbon paling tinggi, yaitu sebesar 3,397 tCO₂e per tahun. Angka ini lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah semi perkotaan (2,811 tCO₂e) dan pedesaan (2,332 tCO₂e). Perbedaan ini menunjukkan adanya pengaruh dari intensitas aktivitas harian, akses infrastruktur, dan pola konsumsi energi di masing-masing wilayah.
Selain itu, laporan ini mencatat adanya variasi tantangan dan preferensi masyarakat di tiap wilayah dalam mengadopsi pilihan transportasi dan energi yang lebih bersih. Di kawasan perkotaan, perhatian utama tertuju pada integrasi moda transportasi umum dan pengembangan infrastruktur kendaraan listrik. Di wilayah semi perkotaan, hambatan utamanya adalah keterbatasan akses transportasi publik antarwilayah dan kurangnya fasilitas penunjang. Sementara itu, di wilayah pedesaan, penggunaan kendaraan pribadi terutama motor masih dominan.
Tiga sektor utama penyumbang emisi individu adalah transportasi (43,34%), makanan (34,91%), dan rumah tangga (21,08%). Emisi transportasi paling tinggi ditemukan di wilayah perkotaan, terutama disebabkan oleh tingginya mobilitas dan penggunaan transportasi udara. Di sisi lain, sektor rumah tangga menyumbang emisi lebih besar di wilayah semi perkotaan karena konsumsi energi yang lebih tinggi dan penggunaan perangkat elektronik yang kurang efisien yang ditandai dengan tingginya angka tagihan listrik.
Selain faktor wilayah, laporan ini juga menunjukkan bahwa karakteristik demografis berperan penting dalam membentuk emisi karbon individu. Penghasilan merupakan faktor dengan pengaruh paling besar karena berkorelasi dengan peningkatan konsumsi energi dan kepemilikan kendaraan pribadi. Jenis kelamin juga berpengaruh, dengan laki-laki cenderung menghasilkan emisi lebih tinggi dibanding perempuan karena pola konsumsi energi dan penggunaan kendaraan bermotor yang lebih intensif.
Sementara itu, usia menunjukkan hubungan negatif; semakin tua seseorang, semakin rendah emisinya, karena penurunan mobilitas dan konsumsi energi. Sementara itu, individu dengan pendidikan tinggi cenderung memiliki emisi lebih besar karena seringkali memiliki pendapatan yang tinggi sehingga berdampak pada gaya hidup yang lebih konsumtif dan akses terhadap teknologi serta barang yang beremisi tinggi.
Rekomendasi Kebijakan
Berdasarkan temuan-temuan di atas, laporan tersebut merekomendasikan sejumlah kebijakan yang menyesuaikan dengan karakteristik wilayah dan perilaku masyarakat:
- Di wilayah perkotaan, strategi pengurangan emisi diarahkan pada penguatan sistem transportasi multimoda, penyediaan jalur sepeda, serta pengembangan kendaraan listrik melalui insentif dan penyediaan infrastruktur pengisian daya.
- Di wilayah semi perkotaan, akses dan konektivitas antarkota perlu menjadi fokus utama, termasuk pembangunan fasilitas park and ride serta perluasan jangkauan angkutan umum.
- Di wilayah pedesaan, pemberlakuan insentif motor listrik dan pembangunan infrastruktur pendukungnya, mengingat keterbatasan layanan transportasi publik.
- Di sektor rumah tangga, insentif penggunaan peralatan hemat energi seperti lampu LED dan AC inverter untuk menekan konsumsi listrik.
- Di sektor makanan, edukasi publik mengenai konsumsi rendah emisi dan penguatan rantai pasok untuk menghadirkan pangan rendah karbon yang lebih terjangkau.
Pendekatan Menyeluruh
Upaya pengurangan emisi tidak dapat mengandalkan satu pendekatan tunggal. Meski data tentang jejak karbon individu penting untuk memahami potensi perubahan, pengurangan emisi membutuhkan upaya sistemik dengan pendekatan menyeluruh, termasuk melalui kebijakan iklim yang berkeadilan. Pemerintah harus menetapkan regulasi yang tegas dan insentif yang mendorong transisi energi bersih; dunia usaha perlu mengubah model bisnisnya dengan berorientasi pada keberlanjutan; dan masyarakat sipil harus terus mengawal kebijakan serta mendorong perubahan gaya hidup kolektif.
Editor: Abul Muamar