Kelindan Penurunan Angka Kelahiran dan Meningkatnya Biaya Hidup

Foto: Alina Ryabchenko di Unsplash.
Di dalam kehidupan, ada banyak orang yang ingin memiliki anak dan tak sedikit yang menghindari memiliki anak. Di antara mereka, banyak yang merupakan orang yang sama: mereka sebenarnya ingin punya anak, tapi pada saat yang sama terpaksa menahan keinginan itu. Meski ada banyak faktor yang melatarinya, namun peningkatan biaya hidup dan ketakstabilan pekerjaan termasuk di antara yang paling menonjol dalam menyebabkan penurunan angka kelahiran. Hal ini turut diafirmasi oleh Laporan Situasi Kependudukan Dunia 2025 yang dirilis oleh UNFPA.
Penurunan Angka Kelahiran
Dalam obrolan santai banyak orang, perihal perbandingan jumlah anak pada zaman orang-orang tua dahulu dengan orang-orang dewasa masa kini mungkin pernah atau kerap menjadi salah satu topik yang diangkat. Agaknya semua orang sepakat bahwa orang-orang dahulu cenderung memiliki lebih banyak anak, bahkan bisa mencapai 7 sampai 10 atau lebih. Sedang kini, rata-rata pasangan hanya memiliki satu atau dua anak.
Hal tersebut bukan omong kosong belaka. Sedikitnya jumlah anak yang dilahirkan dalam sebuah keluarga masa kini, atau dalam istilah yang lebih formal disebut sebagai penurunan angka kelahiran, adalah sebuah kenyataan yang tak terbantahkan. Pada tahun 1970-an, Angka Kelahiran Total (Total Fertility Rate/TFR) di Indonesia adalah 5,61 anak per perempuan. Angka tersebut terus menurun setiap dekade hingga menjadi 2,18 pada dekade 2000-an, dan terus menurun ke angka 2,14 berdasarkan pembaruan pendataan keluarga tahun 2023.
Fenomena tersebut bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga di banyak negara lain di berbagai belahan dunia. Pada tahun 2023, TFR global berada di angka 2,3 anak per perempuan, menurun secara gradual jika dibandingkan tahun 1960-an yang mencapai 5,3 anak per perempuan. Meningkatnya akses pendidikan dan keterlibatan perempuan dalam dunia kerja sebagai buah dari upaya pemberdayaan perempuan dan pewujudan kesetaraan gender, serta perubahan gaya hidup, termasuk faktor utama yang mempengaruhi penurunan ini. Namun, pada saat yang sama, ada satu faktor lain yang tak boleh dilewatkan, yakni meroketnya biaya hidup, termasuk biaya untuk membesarkan anak.
Meningkatnya Biaya Hidup dan Ketidakstabilan Pekerjaan
Biaya hidup yang semakin meningkat dari tahun ke tahun, termasuk biaya untuk memenuhi kebutuhan dasar, telah berdampak terhadap berbagai aspek kehidupan, mulai dari pemenuhan nutrisi, perumahan, hingga pendidikan yang berkualitas. Harga-harga komoditas yang melambung, termasuk kebutuhan pokok seperti makanan atau bahan makanan, misalnya, berkontribusi dalam menyebabkan banyak orang terpaksa memilih alternatif makanan yang lebih terjangkau dan minim nutrisi, dan hal ini sering dikaitkan dengan masalah malnutrisi terutama di kalangan anak-anak. Semua ini, pada gilirannya, mempengaruhi keputusan seseorang untuk memiliki anak.
Laporan Situasi Kependudukan Dunia (SWP) 2025 menemukan bahwa 1 dari 5 orang menyatakan bahwa mereka tidak akan sanggup memiliki jumlah anak yang mereka inginkan. Tingginya biaya untuk membesarkan anak menjadi faktor utama, di samping ketidakstabilan pekerjaan dan diskriminasi berbasis gender yang masih langgeng di tengah masyarakat. Temuan utama dalam laporan tersebut didasarkan pada hasil survei yang dilakukan di 14 negara yang menjadi tempat tinggal lebih dari sepertiga penduduk dunia, termasuk Indonesia. Secara khusus, laporan tersebut mengungkap beberapa temuan utama terkait kondisi di Indonesia, yakni:
- 74% perempuan dan 77% laki-laki di Indonesia ingin memiliki 2 anak atau lebih.
- Keterbatasan finansial menjadi alasan utama orang Indonesia tidak memiliki jumlah anak yang mereka inginkan (39%), di samping keterbatasan perumahan (22%), dan ketidakamanan pekerjaan/pengangguran (20%).
- 14% responden menyebut kekhawatiran tentang situasi politik atau sosial dan 9% menyebut perubahan iklim sebagai hambatan untuk memiliki anak.
- Indonesia berada di peringkat 5 teratas di antara 14 negara yang respondennya mengatakan bahwa mereka merasa tidak mampu untuk memiliki anak pada waktu yang mereka inginkan.
- Meskipun Indonesia memiliki angka kehamilan yang tidak direncanakan terendah dibanding negara-negara lain yang disurvei, permasalahan ketidakmampuan untuk memiliki anak pada saat yang diinginkan tetap menjadi tantangan.
Kebijakan yang Perlu Dipertimbangkan Ulang
Mengatasi isu penurunan angka kelahiran, terutama yang disebabkan oleh tingginya biaya hidup, tidaklah semudah membalikkan telapak tangan. Laporan tersebut mengingatkan bahwa solusi yang terlalu simplistik, seperti kebijakan “bonus bayi” atau penerapan “target angka fertilitas” yang berlaku di banyak negara, sebagian besar tidak efektif dan dapat melanggar hak asasi manusia. Kebijakan pemberian insentif keuangan seperti “bonus bayi”, misalnya, dapat memicu percepatan waktu kelahiran alih-alih meningkatkan angka kelahiran dalam jangka panjang; dan oleh karena itu, penerapannya perlu dipertimbangkan.
Untuk mengatasi tantangan ini, UNFPA mendorong negara-negara untuk meningkatkan pemberdayaan masyarakat agar dapat membuat keputusan reproduksi secara bebas, termasuk dengan berinvestasi pada penciptaan lapangan pekerjaan yang layak untuk semua, perumahan yang terjangkau, meningkatkan dan mengarusutamakan cuti melahirkan (termasuk cuti ayah), serta meningkatkan berbagai kualitas layanan kesehatan reproduksi dan informasi yang dapat diandalkan.
Mengatasi Ketimpangan Gender dan Menciptakan Populasi yang Tangguh
UNFPA juga mendorong masyarakat untuk mengatasi ketimpangan gender yang memperlemah pilihan fertilitas, termasuk:
- Norma tempat kerja yang mendorong perempuan untuk keluar dari pekerjaan.
- Kurangnya cuti berbayar bagi laki-laki yang fleksibel dan stigma terhadap ayah yang terlibat aktif dalam pengasuhan anak.
- Kurangnya layanan pengasuhan anak yang terjangkau dan berkualitas.
- Pembatasan hak reproduksi, termasuk kontrasepsi dan layanan fertilitas.
- Sikap gender yang berbeda antara laki-laki dan perempuan muda, yang berkontribusi terhadap pilihan untuk melajang.
Pada akhirnya, isu soal fertilitas atau angka kelahiran harus dipandang sebagai bagian dari isu sosial-ekonomi yang lebih besar, sebagai penanda bahwa persoalan ini membutuhkan penanganan sistemik dengan keterlibatan dan kerjasama seluruh pihak. Lebih dari soal tingkat fertilitas, yang dibutuhkan adalah mewujudkan populasi yang tangguh dengan berbagai pendekatan, termasuk namun tidak terbatas pada promosi dan pemenuhan hak-hak maternitas, reformasi sistem ketenagakerjaan, dan kebijakan keluarga yang efektif.
Amar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah alumnus Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor untuk beberapa media tingkat nasional di Indonesia. Ia juga adalah penulis, editor, dan penerjemah, dengan minat khusus pada isu-isu sosial-ekonomi dan lingkungan.