Kemiskinan, dari Dekat Sekali
“Mari masuk,” kata Eva. “Pakai aja sandalnya, enggak apa-apa, kok.”
Saya melangkahkan kaki ke dalam bangunan itu setelah ragu-ragu sejenak. Perasaan campur aduk melingkupi benak saya saat pandangan saya menyapu seisi ruangan berukuran tak lebih dari 4×3 meter itu.
Rumah itu—yang mungkin lebih pas disebut gubuk—berlantaikan tanah yang lembab, sebagian dilapisi dengan terpal plastik yang biasa dipakai sebagai taplak meja di warung-warung pinggiran jalan. Tak ada sekat apa pun dalam rumah itu. Tempat tidur, alat-alat masak dan galon air, dan lainnya ditempatkan di ruang yang sama.
Dindingnya dibangun dengan bilah-bilah bambu yang dianyam, dan di sana-sini terdapat lubang yang memudahkan serangga sebesar kumbang kelapa masuk. Sedangkan atapnya tidak sepenuhnya tertutup; ada celah menganga persis di atas tumpukan barang-barang. Ketika hujan turun, air leluasa masuk melalui celah itu. Dan, di depan mulut pintu masuk, ada tangki septik bersama.
Rumah itu ditempati oleh Eva Susanti, berada di Dusun IV Desa Citaman Jernih, Kecamatan Perbaungan, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara. Eva adalah satu dari 26,16 juta penduduk miskin di Indonesia, sebagaimana dicatat oleh Badan Pusat Statistik (BPS).
Karena tak ada kursi untuk menyambut tamu, Eva mengajak saya mengobrol di luar. Kami duduk di batang pohon nangka yang sudah ditebang, sambil menengok monyet piaraan anak sulungnya.
“Maklumlah, ya, kalau agak bau,” kata Eva, menoleh ke arah tangki septik.
Bekerja sebagai pembantu lepas di sebuah warung sarapan tak jauh dari rumahnya, Eva diupah Rp40 ribu per hari untuk 7 jam kerja. Dengan upah itu ia menghidupi tiga anaknya yang masih kecil, salah satunya berumur 5 tahun, ditambah suaminya yang penganggur.
Saya terkenang bertandang ke rumah Eva hampir dua tahun lalu saat menengok kembali galeri foto di ponsel saya. Tidak banyak yang saya ingat dari kunjungan itu kecuali kemiskinan, yang saya saksikan dari jarak yang dekat sekali. Eva dan keluarganya adalah satu potret nyata kemiskinan hari ini.
Pada tahun-tahun lain, di tempat-tempat yang lain, saya juga masih ingat pernah menyaksikan kemiskinan-kemiskinan yang lain, yang akan sangat panjang bila saya ceritakan satu-satu di sini. Anda pun barangkali juga pernah menyaksikan hal serupa, yang mungkin lebih menyedihkan daripada yang saya saksikan.
Garis Batas Baru Kemiskinan
Merujuk Handbook on Poverty and Inequality yang diterbitkan oleh Bank Dunia, kemiskinan diukur dengan kemampuan seseorang memenuhi kebutuhan dasar (basic needs approach). Kemiskinan dipandang sebagai ketidakmampuan seseorang dari sisi ekonomi untuk memenuhi kebutuhan dasar makanan dan non-makanan yang diukur dari sisi pengeluaran. Seseorang dikategorikan sebagai penduduk miskin jika ia memiliki rata-rata pengeluaran per kapita per bulan di bawah garis kemiskinan.
Untuk kasus Eva, dengan penghasilan Rp40 ribu per hari, dibagi dirinya, tiga anaknya, dan suaminya, maka masing-masing mereka hanya punya Rp8.000 per hari–jauh dari garis batas kemiskinan yang ditetapkan oleh Bank Dunia.
Sampai hari ini, kemiskinan masih merajalela di berbagai belahan dunia. Angka kemiskinan dunia bahkan bertambah signifikan dengan pertambahan “orang-orang miskin baru” setelah Bank Dunia mengadopsi paritas daya beli/purchasing power parities (PPPs) 2017 baru-baru ini.
Dalam laporan bertajuk “East Asia and Pacific Economic Update, October 2022: Reforms for Recovery”, Bank Dunia mengubah garis batas kemiskinan berdasarkan PPPs, dari semula US$1,90 (berdasarkan PPPs 2011), menjadi US$ 2,15 per orang per hari. Dengan peningkatan garis batas kemiskinan itu, maka jumlah penduduk miskin di Indonesia bertambah sebanyak 13 juta jiwa.
Dua Strategi Utama
Wakil Presiden Ma’ruf Amin, selaku Ketua Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) menyebut bahwa kemiskinan bersifat multidimensional. “Yang berarti bahwa kemiskinan berhubungan erat dengan faktor sosial-ekonomi lain seperti tingkat dan kualitas pendidikan, kondisi kesehatan, dan jenis pekerjaan,” tulis Ma’ruf dalam artikelnya di Kompas.
Ada dua strategi utama penanggulangan kemiskinan di Indonesia yang disampaikan Wapres:
- Mengurangi beban pengeluaran kelompok miskin dan rentan melalui program perlindungan sosial dan subsidi
- Melakukan pemberdayaan dalam rangka peningkatan produktivitas kelompok miskin dan rentan untuk meningkatkan kapasitas ekonominya.
Untuk strategi pertama, dalam beberapa tahun terakhir pemerintah meluncurkan beberapa program seperti Program Keluarga Harapan, Program Indonesia Pintar, dan Program Jaminan Kesehatan Nasional. Sedangkan untuk strategi kedua, pemerintah mendorong pemberdayaan UMKM melalui tiga pilar, yakni peningkatan kapasitas usaha dan kompetensi UMKM, mendorong lembaga keuangan agar lebih ramah pada UMKM, dan perbaikan ekosistem pendukung UMKM.
Namun, sampai hari ini, puluhan juta orang di Indonesia masih hidup dalam kemiskinan, bahkan ada yang sangat miskin, seperti Eva.
Nol Persen Kemiskinan Ekstrem pada 2024
Sebagai komitmen untuk mencapai Tujuan Pembangunan berkelanjutan (SDGs), pemerintah Indonesia menetapkan target nol persen kemiskinan ekstrem pada 2024. Pada tahun 2021, tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia adalah 4% atau 10,86 juta jiwa.
Target tersebut terdengar ambisius meski bukan berarti mustahil dapat dicapai, terutama jika merujuk pada perkembangan setahun terakhir. Per Maret 2022, menurut BPS, tingkat kemiskinan ekstrem turun menjadi 2,04% atau 5,59 juta jiwa.
Untuk mencapai target nol persen itu, Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan Inpres Nomor 4 Tahun 2022 pada bulan Juni yang berisi instruksi kepada masing-masing menteri koordinator/menteri, kepala badan, Panglima TNI, Kapolri, para gubernur, dan para walikota/bupati. Presiden menekankan soal ketepatan sasaran dan integrasi program antar kementerian/lembaga dengan melibatkan peran masyarakat. Strategi kebijakan yang diperintahkan Presiden secara garis besar meliputi:
- Pengurangan beban pengeluaran masyarakat.
- Peningkatan pendapatan masyarakat.
- Penurunan jumlah kantong kemiskinan.
Tercapai atau tidaknya target itu akan terjawab oleh waktu. Saya hanya bisa membayangkan senyum Eva saat hari itu tiba.
Kemiskinan dan Ketimpangan
Saat sebagian orang di dunia ini bisa memiliki lebih dari satu rumah, beberapa mobil, makanan berlimpah, jalan-jalan ke luar negeri, serta harta dan aset di banyak tempat; jutaan orang masih mengais-ngais untuk sekadar bisa makan. Itulah yang kita kenal sebagai ketimpangan, dan ketimpangan, kita tahu, berkelindan dengan kemiskinan.
Menurut World Inequality Report 2022 yang dirilis oleh World Inequality Lab, ketimpangan ekonomi di Indonesia cenderung meningkat dalam dua dekade terakhir. Porsi kekayaan individual dikuasai oleh 1% kelompok ke atas hingga 30,2% dari total kekayaan populasi Indonesia dan kelompok 10% teratas menguasai 61% bagian lainnya. Sementara, kelompok 50% terbawah hanya kebagian 4,5%.
“Sejak tahun 1999, tingkat kekayaan di Indonesia telah mengalami pertumbuhan signifikan…. Namun, pertumbuhan ini menyisakan ketimpangan yang nyaris ajek,” demikian tertulis dalam laporan tersebut.
Karenanya, hal ini mestinya menjadi pengingat bagi kita bahwa kemiskinan harus ditanggulangi dengan sungguh-sungguh.
*Cerita Eva Susanti dalam artikel ini telah mendapat persetujuan untuk diterbitkan Green Network ID, langsung oleh Eva Susanti melalui Abul Muamar.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.