Mempertanyakan Komitmen Sektor Perbankan dalam Pembiayaan Berkelanjutan

Foto: jcomp di Freepik.
Aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim membutuhkan biaya yang sangat besar. Oleh karena itu, sektor jasa keuangan seperti perbankan berperan penting dalam mendukung pembiayaan berkelanjutan untuk mendanai berbagai proyek ramah lingkungan. Sayangnya, meski telah memiliki komitmen berkelanjutan, masih terdapat bank yang mendanai sektor yang merusak lingkungan dan memperparah krisis iklim seperti batu bara.
Aliran Dana Bank untuk Industri Ekstraktif
Tren pembiayaan berkelanjutan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Sayangnya, alokasi kredit untuk aktivitas ekonomi yang berdampak negatif terhadap lingkungan juga masih cukup besar. Pada periode 2021 hingga 2024, bank-bank dalam negeri masih memberikan pinjaman hingga sebesar USD 7,2 miliar kepada setidaknya tujuh perusahaan batu bara terbesar di Indonesia. Dari jumlah tersebut, USD 5,2 miliar di antaranya berasal dari lima bank saja, yaitu Bank Mandiri, BRI, BNI, BCA, dan Permata. Bank Mandiri bahkan menjadi bank yang memberikan jumlah pinjaman terbesar hingga USD 3 miliar.
Sejalan dengan temuan tersebut, laporan Kartu Skor Divestasi Bahan Bakar Fosil Asia Tenggara menyatakan bahwa perbankan Indonesia berkontribusi atas 12% dari total pembiayaan proyek batu bara di Asia Tenggara pada 2016-2024. Laporan ini juga menyoroti Bank Mandiri sebagai pemodal pembangkit listrik batu bara terbesar kedua di antara bank-bank Asia Tenggara dan dunia.
Tidak hanya batu bara, bank-bank di Indonesia juga menyediakan pembiayaan bagi sektor yang berdampak pada ekosistem hutan seperti kelapa sawit dan pulp atau kertas. Pada periode 2016-2024, total pinjaman dan penjaminan yang disalurkan oleh bank domestik mencapai USD 37,38 miliar dengan Bank Mandiri lagi-lagi sebagai kreditor terbesarnya. Salah satu penerima kredit terbesar adalah Royal Golden Eagle (RGE), sebuah produsen pulp dan kertas, yang operasinya diduga menyebabkan deforestasi di Kalimantan dan mengancam habitat orangutan. Sementara itu, salah satu nasabah dari Bank Mandiri, Jardine Matheson Group, memiliki anak perusahaan yang telah menyebabkan deforestasi hingga 3.395 hektare di Sulawesi.
Bank-bank dalam negeri sebenarnya telah banyak yang mengeluarkan komitmen untuk melaksanakan pembiayaan berkelanjutan. Bank Mandiri, misalnya, menyebut akan memastikan bahwa pembiayaannya selaras dengan kebijakan pemerintah dalam mengurangi dampak lingkungan dari PLTU. Pembiayaan untuk sektor batu bara baru dapat diberikan asalkan perusahaan memenuhi beberapa syarat, yaitu memiliki penilaian Proper minimal Hijau dan/atau laporan AMDAL, memiliki sertifikasi manajemen lingkungan, dan mempertimbangkan jangka waktu pembiayaan dengan strategi coal phase out sesuai dengan RUPTL. Bank-bank domestik lain memiliki kebijakan yang kurang lebih sama, mereka berkomitmen dalam pembangunan berkelanjutan dan pengurangan emisi namun masih belum memiliki kebijakan pengecualian pemberian kredit untuk bahan bakar fosil ataupun penetapan batas waktu untuk penghapusan pembiayaan di sektor tersebut.
Tantangan
Sektor jasa keuangan berperan penting dalam membantu menyalurkan pendanaan untuk aksi mitigasi perubahan iklim. Sayangnya, lembaga keuangan terus terlibat dalam ekspansi bahan bakar fosil karena kurangnya kebijakan dan regulasi yang secara ketat membatasi pembiayaan untuk sektor tersebut. Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) Nomor 5 Tahun 2017 yang mengatur tentang pembiayaan berkelanjutan juga tidak mewajibkan para pemangku kepentingan di sektor keuangan untuk membatasi pembiayaan pada bahan bakar fosil.
Sektor perbankan sebenarnya telah menunjukkan berbagai upaya untuk mendukung pembiayaan berkelanjutan serta proyek yang ramah lingkungan serta rendah karbon. Misalnya, BNI dan Mandiri telah mulai memberikan Sustainability Linked Loan (SSL) atau skema penyaluran kredit yang memberikan insentif kepada debitur atas capaian inisiatif keberlanjutan perusahaan.
Masalahnya, memastikan agar penyaluran kredit tersebut benar-benar berkontribusi terhadap pembangunan rendah karbon dapat menjadi tantangan tersendiri. Untuk mengatasinya, bank dapat menggunakan Taksonomi Keuangan Berkelanjutan Indonesia (TKBI) untuk mengklasifikasikan debitur berdasarkan upaya mereka terhadap aksi perubahan iklim. Akan tetapi, TKBI pun juga memiliki kelemahan, terutama soal perubahan klasifikasinya dalam menentukan aktivitas ekonomi.
Pada versi sebelumnya, yaitu Taksonomi Hijau Indonesia (THI), setiap aktivitas ekonomi dapat dinilai ke dalam tiga klasifikasi, yaitu hijau, kuning, dan merah. Hijau berarti terdapat upaya meningkatkan kualitas lingkungan hidup, memiliki aksi adaptasi perubahan iklim, serta mematuhi standar tata kelola yang ditetapkan pemerintah. Sementara kuning berarti hanya memenuhi beberapa kriteria tersebut dan merah adalah aktivitas yang tergolong membahayakan lingkungan. Selain memberikan detail informasi yang jelas, klasifikasi ini berguna untuk menjadi acuan kualitas kredit yang dikeluarkan sektor jasa keuangan. Misalnya, berdasarkan laporan tahun 2022, 72% dari penyaluran pembiayaan dari seluruh bank diberikan untuk sektor ekonomi merah dan kuning.
Sayangnya, TKBI versi terbaru yang dirilis Februari 2025 hanya memiliki dua klasifikasi, yaitu “hijau” dan “transisi”. Klasifikasi ini justru berpotensi meningkatkan risiko greenwashing dan menghambat pengambilan keputusan investasi atau pemberian pinjaman yang tepat. Kategori ini berpotensi terus membuka keran aliran pembiayaan untuk batu bara karena masih memberikan ruang untuk pemanfaatan PLTU. Hal ini karena TKBI dapat memberikan label “transisi” untuk kegiatan pertambangan dan pemanfaatan PLTU asalkan memenuhi regulasi dalam negeri, seperti Properーmeskipun tidak memiliki bukti nyata pengurangan emisi.
Meningkatkan Pembiayaan Berkelanjutan
Berdasarkan laporan mengenai peran perbankan terhadap krisis iklim, terdapat beberapa hal yang perlu dilakukan oleh lembaga keuangan untuk meningkatkan pembiayaan berkelanjutan dalam upaya dekarbonisasi:
- Menghentikan semua pembiayaan baik pinjaman maupun penjaminan untuk berbagai proyek yang melakukan ekspansi bahan bakar fosil.
- Mengadopsi target pembiayaan untuk pengurangan emisi di sektor minyak, gas, dan batu bara yang sejalan dengan skenario 1,5 derajat Celcius dalam target Perjanjian Paris.
- Mewajibkan rencana transisi yang selaras dengan target Perjanjian Paris dari semua klien yang berkecimpung dengan bahan bakar fosil. Bank juga harus menghentikan pembiayaan bagi debitur yang gagal menyelaraskan aktivitas mereka dengan target tersebut.
- Memastikan setiap nasabah menghormati hak asasi manusia dan melindungi hak serta kedaulatan masyarakat adat. Bank dapat mengintegrasikan mekanisme uji tuntas hak asasi manusia ke dalam kebijakan dan pendekatan manajemen risiko.
- Meningkatkan pembiayaan untuk transisi energi yang adil dan merata. Perbankan juga perlu memprioritaskan inisiatif lokal yang mengangkat komunitas yang rentan dan terpinggirkan.
Editor: Abul Muamar
Nisa adalah reporter dan asisten peneliti di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Sarjana Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.