Memutus Jerat Korupsi di Sektor Pendidikan

Foto: alam kusuma di Unsplash.
Pendidikan merupakan hak dasar setiap orang untuk membantu meningkatkan kualitas hidup. Dalam upaya untuk memajukan sektor pendidikan, negara telah mengalokasikan anggaran sebesar 20% dari postur APBN. Namun, korupsi di sektor pendidikan masih merajalela sehingga memperlebar jurang ketimpangan dalam akses pendidikan yang layak.
Korupsi di Sektor Pendidikan
Korupsi di sektor pendidikan Indonesia terus berlangsung dari tahun ke tahun. Indonesia Corruption Watch (ICW) mencatat bahwa sektor pendidikan kerap menduduki peringkat lima besar sebagai sektor paling rawan korupsi. Dalam rentang lima tahun (2019-2023), data kasus korupsi di sektor pendidikan menunjukkan peningkatan yang cukup konsisten, dengan pejabat/ASN di dinas pendidikan hingga kepala sekolah dan rektor sebagai pihak yang cukup sering terlibat. Pada tahun 2023, misalnya, tercatat setidaknya 57 kasus korupsi terkait program bantuan pendidikan atau sarana dan prasarana sekolah yang menyebabkan kerugian negara hingga Rp132 miliar.
Pada tahun 2024, laporan KPK menemukan sebanyak 49,9% satuan pendidikan dasar dan menengah melakukan praktik pengadaan barang dan jasa dengan tidak transparan. Sekitar 54% sekolah juga tidak terbuka terkait biaya, sumbangan, atau kegiatan lainnya. Sementara terkait pengelolaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), ada sekitar 12,19% dari total satuan pendidikan yang mengaku bahwa penggunaan dana BOS belum sesuai dengan peruntukannya. Penyalahgunaan dana BOS ini utamanya berbentuk pemerasan atau pungutan, nepotisme dalam pengadaan barang dan jasa/proyek, hingga penggelembungan dana.
Korupsi di sektor pendidikan dapat berdampak pada kegiatan belajar siswa hingga kualitas pendidikan. Misalnya, proyek rehabilitasi dan pembangunan fasilitas pendidikan pada 17 sekolah di pedalamanan Kabupaten Kupang, NTT, berakhir amburadul karena korupsi. Banyak pekerjaan tidak tuntas dan kualitas bangunan tidak sesuai harapan hingga menyebabkan plafon di ruang kelas runtuh ketika siswa sedang menjalani ujian. Padahal, ratusan miliar dana pendidikan yang dikorupsi tersebut seharusnya dapat digunakan untuk memperbaiki fasilitas yang rusak atau kurang memadai. Dana tersebut seharusnya juga bisa digunakan untuk menambal ketimpangan akses pendidikan dasar, seperti sebaran sekolah yang tidak merata hingga untuk meningkatkan kualitas tenaga pendidik.
Program bantuan pendidikan lain seperti Program Indonesia Pintar (PIP) juga tidak lepas dari jerat korupsi. ICW pada tahun 2022 menemukan 35 kasus penyelewengan dana bantuan PIP. Kasus ini menggunakan modus pemotongan anggaran dengan dalih biaya administrasi hingga penggelapan uang. Padahal, PIP adalah bantuan untuk anak dari keluarga miskin atau rentan miskin agar tetap bisa bersekolah hingga jenjang pendidikan menengah. Penyelewengan dana PIP dapat semakin menghambat akses mereka ke pendidikan dan dalam jangka panjang dapat meningkatkan angka putus sekolah, terlebih mengingat faktor ekonomi merupakan salah satu penyebab utama tingginya angka anak yang tidak bersekolah.
Korupsi sektor pendidikan juga ditemukan dalam bentuk pungutan tidak resmi atau pungutan liar (pungli) yang dilakukan baik oleh tenaga pendidikan untuk pengajuan sertifikasi dan kenaikan pangkat/jabatan maupun dalam proses penerimaan siswa atau mahasiswa baru. Pungli juga sering melibatkan nepotisme berupa siswa/mahasiswa “titipan” dari pejabat sekolah atau kampus hingga pejabat pusat dan daerah.
Faktor Penyebab
Korupsi di sektor pendidikan di Indonesia telah menjadi masalah sistemik dan mengakar sehingga terus terjadi. Menurut Kantor PBB untuk Urusan Narkoba dan Kejahatan (UNODC), ada beberapa faktor utama yang mendorong korupsi di sektor pendidikan. Misalnya, gaji pejabat publik dan pendidik yang tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar atau terlalu rendah dibandingkan dengan beban kerja. Di Indonesia, soal besaran gaji pejabat publik mungkin kurang atau tidak relevan. Namun, guru dan dosen secara umum termasuk bergaji rendah dengan beban tugas yang banyak.
Survei oleh Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS) tahun 2024 mengungkap bahwa 42% guru masih berpenghasilan di bawah Rp2 juta per bulan dan 13% bahkan di bawah Rp 500 ribu. Bagi guru honorer, jumlahnya menjadi jauh lebih besar, yaitu 74% yang berpenghasilan di bawah Rp2 juta. Namun, gaji dan korupsi memiliki hubungan yang kompleks dan tidak serta-merta menjadi sebab dan akibat. Kenaikan gaji pegawai negeri, misalnya, bisa tidak berpengaruh secara signifikan.
Korupsi sektor pendidikan juga bisa terus berlangsung akibat lemahnya sistem pengawasan dan penegakan hukum. Hilangnya independensi KPK telah berdampak besar pada mundurnya penegakan hukum atas korupsi. Belum lagi adanya aparat penegak hukum yang tersandung kasus korupsi, mulai dari pegawai KPK yang terlibat dalam skandal pungli, ratusan kasus korupsi di tubuh kepolisian, hingga suap di ranah peradilan. Ketidaktegasan dan ketidakseriusan penegakan hukum ini berdampak pada ketidakpercayaan publik terhadap aparat penegak hukum dan minimnya efek jera bagi pelaku.
Di sisi lain, dalam laporan Indeks Perilaku Antikorupsi, masyarakat Indonesia justru dinilai semakin permisif terhadap korupsi. Laporan ini juga menunjukkan bahwa masyarakat di level pendidikan SMA dan di atasnya semakin “terbiasa” dengan perilaku korupsi.
Memberantas Korupsi Sektor Pendidikan
Berdasarkan laporan UNDP, terdapat empat hal yang bisa dilakukan untuk memberantas korupsi di sektor pendidikan, yaitu:
- Menegakkan supremasi hukum lewat kontrol seperti peraturan perundang-undangan dan kode etik serta sanksi yang tegas.
- Memperbaiki administrasi dan sistem publik melalui penguatan manajemen keuangan dan dana pendidikan, menjaga independensi badan pengawasan eksternal yang berperan dalam mengungkap kasus korupsi, hingga melibatkan orang tua atau komite sekolah dalam pengawasan dan kinerja anggaran.
- Meningkatkan transparansi dan akuntabilitas.
- Pengembangan kapasitas berkaitan dengan pemantauan anggaran pendidikan baik untuk lembaga publik, tenaga pendidik, bahkan orang tua.
Selain itu, juga diperlukan upaya-upaya jangka panjang dan sistemik untuk memutus “budaya” korupsi; antara lain dengan memperkuat pendidikan anti-korupsi dengan menanamkan nilai-nilai integritas, kejujuran, tanggung jawab, dan keberanian untuk menolak korupsi sejak dini; menciptakan sistem pengawasan terhadap pengelolaan anggaran dengan partisipasi publik yang kuat; dan penguatan tata kelola untuk pencegahan dan penindakan. Mengingat korupsi seringkali dilakukan secara berjemaah, sangat penting untuk meningkatkan integritas penyelenggara negara dan aktor utama pendidikan dengan menerapkan sistem seleksi dan promosi yang adil dan transparan berdasarkan kinerja dan integritas, seraya meningkatkan kesejahteraan dan kualitas tenaga pendidikan.
Nisa adalah reporter dan asisten peneliti di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Sarjana Ilmu Hubungan Internasional dari Universitas Gadjah Mada. Ia memiliki minat di bidang penelitian, jurnalisme, dan isu-isu seputar hak asasi manusia.