Menangkal Panas dengan Pendingin: Sebuah Paradoks di Tengah Pemanasan Global
Perubahan iklim adalah kenyataan dan tahun 2023 merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat. Di tengah kondisi Bumi yang memanas, permintaan akan pendingin meningkat secara global. Namun, hal ini menimbulkan paradoks: orang-orang menggunakan pendingin untuk menangkal panas; tapi pada saat yang sama, pendingin merupakan kontributor signifikan pemanasan global. Lantas, mungkinkah mewujudkan sistem pendingin yang lebih berkelanjutan?
Melawan Panas Ekstrem
Gelombang panas ekstrem kini semakin sering terjadi di seluruh dunia. Pada tahun 2030, sekitar 500 juta orang akan terpapar panas yang sangat berbahaya setidaknya 30 hari dalam setahun. Panas ekstrem menimbulkan risiko kesehatan yang mengerikan, termasuk kematian. Risiko lebih tinggi menimpa kelompok rentan seperti anak-anak, orang dengan disabilitas, pekerja luar ruangan, dan lansia. Sebuah laporan pada 2021 memperkirakan bahwa sekitar 345.000 kematian terkait panas pada tahun 2019 terjadi pada orang berusia 65 tahun ke atas.
Sementara itu, sistem pendingin, seperti mesin pendingin dan AC, terbukti dapat menyelamatkan nyawa dalam kondisi panas ekstrem. Pendingin udara telah mencegah sekitar 190.000 kematian terkait panas setiap tahunnya dari tahun 2019 hingga 2021.
Dengan demikian, wajar jika permintaan energi untuk pendingin meningkat pesat. Ada sekitar dua miliar AC yang beroperasi secara global saat ini, dan jumlahnya dipastikan akan terus meningkat. Laporan Badan Energi Internasional (IEA) pada tahun 2018 memperkirakan akan ada peningkatan tiga kali lipat dalam tiga dekade, setara dengan penambahan sepuluh unit AC baru per detik. Di Asia Tenggara, sistem pendingin dapat memenuhi dua per lima kebutuhan energi di kawasan ini pada tahun 2040 akibat pembangunan ekonomi, kepadatan penduduk, dan urbanisasi.
Paradoks Pendingin
Pendingin memang sangat penting untuk kelangsungan hidup kita di tengah dunia yang semakin panas. Namun pada saat yang sama, pendingin juga berbahaya karena beberapa alasan:
- Boros energi: Meskipun terdapat peningkatan efisiensi energi, sebagian besar pendingin yang digunakan kurang dari setengah efisiensinya dibandingkan sistem pendingin dengan kinerja tertinggi. AC, kulkas, dan alat pendingin lainnya akan membebani jaringan listrik, terutama saat gelombang panas ekstrem. Sayangnya, hal ini bahkan bisa menyebabkan pemadaman listrik.
- Berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca: Pendingin menyumbang sekitar 4% emisi gas rumah kaca global, dua kali lebih besar dibandingkan industri penerbangan. Pada tahun 2021 saja, pendingin menyumbang sekitar satu gigaton emisi CO2. Selain itu, material hidrofluorokarbon (HFC) yang digunakan sebagai pendingin memiliki Potensi Pemanasan Global (GWP) yang tinggi. HFC menyerap panas 150 hingga 5.000 kali lebih banyak daripada CO2 apabila bocor dan lepas ke atmosfer, dan hal ini bisa saja terjadi sewaktu-waktu.
- Menghambat adaptasi fisiologis: Penggunaan berlebih dan ketergantungan pada sistem dan teknologi pendingin dapat mengganggu cara tubuh kita menyesuaikan diri terhadap paparan panas. Pada gilirannya, hal ini dapat membuat orang lebih rentan terhadap tekanan panas ketika tidak ada pendingin buatan.
Kesenjangan Sosial-Ekonomi
Di tengah meningkatnya penggunaan pendingin secara global, kesenjangan masih tetap bergulir. Banyak orang yang membutuhkan pendingin masih tidak mampu mengakses AC atau alat pendingin lainnya. Di daerah beriklim panas, hanya 15% penduduknya yang memiliki AC. Di kawasan sub-Sahara, misalnya, hanya 5% rumah tangga yang memiliki AC. Di Indonesia sendiri, jumlahnya kurang dari 20%. Sedangkan di Meksiko dan Brazil, sekitar 30%.
Sementara itu, hampir 90% rumah tangga di AS memiliki AC. Di Jepang dan Korea, 85% rumah tangga sudah memiliki AC. Tidak hanya itu, orang-orang di negara-negara berpendapatan tinggi cenderung menggunakan AC secara berlebih setiap hari, sehingga berkontribusi besar terhadap pemanasan global dan menjadikan negara-negara Global South semakin rentan terhadap panas ekstrem dan dampak iklim lainnya.
Tidak hanya antar-negara, kesenjangan juga terjadi dalam lingkup sebuah negara. Di banyak negara, cakupan listrik belum mencapai 100%. Bahkan ketika cakupannya sudah ada, biaya listrik terlalu tinggi bagi banyak orang tanpa penambahan sistem pendingin pada rumah tangga. Selain itu, daerah kumuh dan kawasan miskin perkotaan tidak memiliki ruang hijau, padat, dan seringkali dekat dengan pabrik dan lokasi industri. Faktor-faktor tersebut membuat lingkungan tempat tinggal mereka lebih panas dibandingkan lingkungan berpendapatan tinggi yang umumnya lebih asri.
Mewujudkan Sistem Pendingin yang Lebih Berkelanjutan
Pendingin diperlukan tidak hanya agar manusia dapat bertahan dari panas, namun juga untuk penyimpanan—makanan dan obat-obatan, misalnya. Dalam hal ini, sistem pendingin sangat berpengaruh terhadap keamanan pangan dan layanan kesehatan. Oleh karena itu, menciptakan sistem pendingin yang berkelanjutan sangat penting.
Pada COP28 tahun 2023, 66 negara menandatangani Ikrar Pendinginan Global, yang berkomitmen untuk mengurangi emisi terkait pendingin setidaknya 68% dari tingkat emisi tahun 2022 pada tahun 2050. Selain komitmen tersebut, perlu tindakan nyata untuk mengatasi tantangan di sektor pendingin.
Rekomendasi utama mencakup inovasi pendingin ramah iklim; transisi menuju energi bersih dan terbarukan; dan mengarusutamakan kebijakan, program, dan mekanisme pembiayaan untuk memastikan alat pendingin yang terjangkau dan efisien untuk semua. Selain itu, pendekatan holistik terhadap sistem pendingin harus diprioritaskan. Memanfaatkan solusi berbasis alam dan perencanaan tata ruang dan perkotaan yang berpusat pada manusia sangat penting untuk menciptakan ruang yang tidak memerlukan pendingin dan pemanas buatan.
Hal ini memang tidak mudah, namun sistem pendingin yang berkelanjutan dapat diwujudkan melalui kolaborasi multidisiplin yang kohesif antarpemangku kepentingan. Pada akhirnya, mengatasi paradoks pendingin dan menciptakan sistem pendingin yang berkelanjutan sangatlah penting demi kesehatan dan kesejahteraan manusia dan planet ini.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Naz adalah Manajer Editorial Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.