Skip to content
  • Tentang
  • Bermitra dengan Kami
  • Internasional
  • Berlangganan
  • Log In
Primary Menu
  • Beranda
  • Terbaru
  • Topik
  • Kabar
  • Ikhtisar
  • Wawancara
  • Opini
  • Figur
  • Infografik
  • Video
  • Komunitas
  • Partner
  • Siaran Pers
  • Muda
  • Dunia
  • Ikhtisar
  • Unggulan

Menangkal Panas dengan Pendingin: Sebuah Paradoks di Tengah Pemanasan Global

Sistem pendingin yang membantu kita bertahan dari kenaikan suhu Bumi juga berkontribusi terhadap pemanasan global. Mungkinkah mewujudkan sistem pendingin yang lebih berkelanjutan?
Oleh Nazalea Kusuma
16 Juli 2024
AC di luar gedung dengan latar langit biru cerah

Foto: Rotekirsche20 di Unsplash.

Perubahan iklim adalah kenyataan dan tahun 2023 merupakan tahun terpanas yang pernah tercatat. Di tengah kondisi Bumi yang memanas, permintaan akan pendingin meningkat secara global. Namun, hal ini menimbulkan paradoks: orang-orang menggunakan pendingin untuk menangkal panas; tapi pada saat yang sama, pendingin merupakan kontributor signifikan pemanasan global. Lantas, mungkinkah mewujudkan sistem pendingin yang lebih berkelanjutan?

Melawan Panas Ekstrem

Gelombang panas ekstrem kini semakin sering terjadi di seluruh dunia. Pada tahun 2030, sekitar 500 juta orang akan terpapar panas yang sangat berbahaya setidaknya 30 hari dalam setahun. Panas ekstrem menimbulkan risiko kesehatan yang mengerikan, termasuk kematian. Risiko lebih tinggi menimpa kelompok rentan seperti anak-anak, orang dengan disabilitas, pekerja luar ruangan, dan lansia. Sebuah laporan pada 2021 memperkirakan bahwa sekitar 345.000 kematian terkait panas pada tahun 2019 terjadi pada orang berusia 65 tahun ke atas.

Sementara itu, sistem pendingin, seperti mesin pendingin dan AC, terbukti dapat menyelamatkan nyawa dalam kondisi panas ekstrem. Pendingin udara telah mencegah sekitar 190.000 kematian terkait panas setiap tahunnya dari tahun 2019 hingga 2021.

Dengan demikian, wajar jika permintaan energi untuk pendingin meningkat pesat. Ada sekitar dua miliar AC yang beroperasi secara global saat ini, dan jumlahnya dipastikan akan terus meningkat. Laporan Badan Energi Internasional (IEA) pada tahun 2018 memperkirakan akan ada peningkatan tiga kali lipat dalam tiga dekade, setara dengan penambahan sepuluh unit AC baru per detik. Di Asia Tenggara, sistem pendingin dapat memenuhi dua per lima kebutuhan energi di kawasan ini pada tahun 2040 akibat pembangunan ekonomi, kepadatan penduduk, dan urbanisasi.

Paradoks Pendingin

Pendingin memang sangat penting untuk kelangsungan hidup kita di tengah dunia yang semakin panas. Namun pada saat yang sama, pendingin juga berbahaya karena beberapa alasan:

  • Boros energi: Meskipun terdapat peningkatan efisiensi energi, sebagian besar pendingin yang digunakan kurang dari setengah efisiensinya dibandingkan sistem pendingin dengan kinerja tertinggi. AC, kulkas, dan alat pendingin lainnya akan membebani jaringan listrik, terutama saat gelombang panas ekstrem. Sayangnya, hal ini bahkan bisa menyebabkan pemadaman listrik.
  • Berkontribusi signifikan terhadap emisi gas rumah kaca: Pendingin menyumbang sekitar 4% emisi gas rumah kaca global, dua kali lebih besar dibandingkan industri penerbangan. Pada tahun 2021 saja, pendingin menyumbang sekitar satu gigaton emisi CO2. Selain itu, material hidrofluorokarbon (HFC) yang digunakan sebagai pendingin memiliki Potensi Pemanasan Global (GWP) yang tinggi. HFC menyerap panas 150 hingga 5.000 kali lebih banyak daripada CO2 apabila bocor dan lepas ke atmosfer, dan hal ini bisa saja terjadi sewaktu-waktu.
  • Menghambat adaptasi fisiologis: Penggunaan berlebih dan ketergantungan pada sistem dan teknologi pendingin dapat mengganggu cara tubuh kita menyesuaikan diri terhadap paparan panas. Pada gilirannya, hal ini dapat membuat orang lebih rentan terhadap tekanan panas ketika tidak ada pendingin buatan.

Kesenjangan Sosial-Ekonomi

Di tengah meningkatnya penggunaan pendingin secara global, kesenjangan masih tetap bergulir. Banyak orang yang membutuhkan pendingin masih tidak mampu mengakses AC atau alat pendingin lainnya. Di daerah beriklim panas, hanya 15% penduduknya yang memiliki AC. Di kawasan sub-Sahara, misalnya, hanya 5% rumah tangga yang memiliki AC. Di Indonesia sendiri, jumlahnya kurang dari 20%. Sedangkan di Meksiko dan Brazil, sekitar 30%.

Sementara itu, hampir 90% rumah tangga di AS memiliki AC. Di Jepang dan Korea, 85% rumah tangga sudah memiliki AC. Tidak hanya itu, orang-orang di negara-negara berpendapatan tinggi cenderung menggunakan AC secara berlebih setiap hari, sehingga berkontribusi besar terhadap pemanasan global dan menjadikan negara-negara Global South semakin rentan terhadap panas ekstrem dan dampak iklim lainnya.

Tidak hanya antar-negara, kesenjangan juga terjadi dalam lingkup sebuah negara. Di banyak negara, cakupan listrik belum mencapai 100%. Bahkan ketika cakupannya sudah ada, biaya listrik terlalu tinggi bagi banyak orang tanpa penambahan sistem pendingin pada rumah tangga. Selain itu, daerah kumuh dan kawasan miskin perkotaan tidak memiliki ruang hijau, padat, dan seringkali dekat dengan pabrik dan lokasi industri. Faktor-faktor tersebut membuat lingkungan tempat tinggal mereka lebih panas dibandingkan lingkungan berpendapatan tinggi yang umumnya lebih asri. 

Mewujudkan Sistem Pendingin yang Lebih Berkelanjutan

Pendingin diperlukan tidak hanya agar manusia dapat bertahan dari panas, namun juga untuk penyimpanan—makanan dan obat-obatan, misalnya. Dalam hal ini, sistem pendingin sangat berpengaruh terhadap keamanan pangan dan layanan kesehatan. Oleh karena itu, menciptakan sistem pendingin yang berkelanjutan sangat penting.

Pada COP28 tahun 2023, 66 negara menandatangani Ikrar Pendinginan Global, yang berkomitmen untuk mengurangi emisi terkait pendingin setidaknya 68% dari tingkat emisi tahun 2022 pada tahun 2050. Selain komitmen tersebut, perlu tindakan nyata untuk mengatasi tantangan di sektor pendingin.

Rekomendasi utama mencakup inovasi pendingin ramah iklim; transisi menuju energi bersih dan terbarukan; dan mengarusutamakan kebijakan, program, dan mekanisme pembiayaan untuk memastikan alat pendingin yang terjangkau dan efisien untuk semua. Selain itu, pendekatan holistik terhadap sistem pendingin harus diprioritaskan. Memanfaatkan solusi berbasis alam dan perencanaan tata ruang dan perkotaan yang berpusat pada manusia sangat penting untuk menciptakan ruang yang tidak memerlukan pendingin dan pemanas buatan.

Hal ini memang tidak mudah, namun sistem pendingin yang berkelanjutan dapat diwujudkan melalui kolaborasi multidisiplin yang kohesif antarpemangku kepentingan. Pada akhirnya, mengatasi paradoks pendingin dan menciptakan sistem pendingin yang berkelanjutan sangatlah penting demi kesehatan dan kesejahteraan manusia dan planet ini.

Penerjemah: Abul Muamar

Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia


Berlangganan Green Network Asia – Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Pilih Paket Langganan

Nazalea Kusuma
Editor at Green Network Asia | Website |  + postsBio

Naz adalah Manajer Publikasi Digital Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.

  • Nazalea Kusuma
    https://greennetwork.id/author/nazalea/
    Mengulik Tren Gaya Hidup Minimalis di TikTok
  • Nazalea Kusuma
    https://greennetwork.id/author/nazalea/
    Mengatasi Tantangan dalam Implementasi Adaptasi Berbasis Ekosistem (EbA)
  • Nazalea Kusuma
    https://greennetwork.id/author/nazalea/
    Polusi Cahaya dan Dampaknya terhadap Manusia dan Makhluk Hidup Lainnya
  • Nazalea Kusuma
    https://greennetwork.id/author/nazalea/
    Menurunnya Keterampilan Literasi Orang Dewasa di Seluruh Dunia

Continue Reading

Sebelumnya: Merawat Toleransi melalui Literasi Keagamaan Lintas Budaya
Berikutnya: Program PENA: Menghapus Kemiskinan Ekstrem dengan Bantuan Modal Usaha

Artikel Terkait

Mengulik Peluang dan Tantangan Saham Syariah dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan
  • Opini
  • Unggulan

Mengulik Peluang dan Tantangan Saham Syariah dalam Mendukung Pembangunan Berkelanjutan

Oleh Sri Maulida
2 Juli 2025
seorang nelayan berdiri di kapal kecil di tengah perairan Kolaborasi untuk Dukung Penghidupan Nelayan Skala Kecil melalui SeaBLUE
  • Eksklusif
  • Kabar
  • Unggulan

Kolaborasi untuk Dukung Penghidupan Nelayan Skala Kecil melalui SeaBLUE

Oleh Abul Muamar
1 Juli 2025
tembok memanjang di hadapan air laut dengan burung-burung bertengger di atasnya Ambisi Pembangunan Giant Sea Wall di Pantura dan Dampak Yang Harus Diantisipasi
  • Eksklusif
  • Kabar
  • Unggulan

Ambisi Pembangunan Giant Sea Wall di Pantura dan Dampak Yang Harus Diantisipasi

Oleh Seftyana Khairunisa
30 Juni 2025
kaca yang retak Femisida yang Terus Berulang: Alarm tentang Kekerasan terhadap Perempuan
  • Ikhtisar
  • Unggulan

Femisida yang Terus Berulang: Alarm tentang Kekerasan terhadap Perempuan

Oleh Abul Muamar
27 Juni 2025
kumbang kepik menempel di dedaunan Penurunan Jumlah Serangga yang Kian Mengkhawatirkan
  • Kabar
  • Unggulan

Penurunan Jumlah Serangga yang Kian Mengkhawatirkan

Oleh Kresentia Madina
27 Juni 2025
lahan sawah dengan pepohonan kelapa di belakang Bagaimana Sekolah Lapang Iklim Bantu Petani Hadapi Dampak Perubahan Iklim
  • Eksklusif
  • Kabar
  • Unggulan

Bagaimana Sekolah Lapang Iklim Bantu Petani Hadapi Dampak Perubahan Iklim

Oleh Abul Muamar
26 Juni 2025

Tentang Kami

  • Founder’s Letter GNA
  • Tim In-House GNA
  • Jaringan Author GNA
  • Panduan Siaran Pers GNA
  • Panduan Artikel Opini GNA
  • Panduan Konten Komunitas GNA
  • Pedoman Media Siber
  • Internship GNA
  • Hubungi Kami
  • Ketentuan Layanan
  • Kebijakan Privasi
© 2021-2025 Green Network Asia - Indonesia.