Mendorong Pengembangan Ekonomi Restoratif di Desa untuk Dukung Ketahanan Ekonomi

Desa di Indonesia secara umum kerap digambarkan sebagai wilayah dengan lingkungan yang asri dan sehat, dengan pepohonan dan sumber daya alam yang kaya. Namun, seperti halnya wilayah perkotaan, banyak desa yang juga mengalami degradasi lingkungan, yang berdampak terhadap sumber penghidupan jutaan orang. Terkait hal ini, pengembangan ekonomi restoratif di desa dapat menjadi solusi alternatif untuk mendukung ketahanan ekonomi masyarakat desa sekaligus memulihkan ekosistem yang terdegradasi.
Degradasi Lingkungan dan Tantangan Ekonomi di Desa
Banyak desa di Indonesia yang menghadapi tantangan lingkungan yang serius, terutama akibat praktik-praktik ekonomi yang tidak bertanggung jawab. Pembukaan dan alih fungsi lahan hutan, penggunaan bahan kimia sintetis yang berlebihan dalam pertanian, dan eksploitasi sumber daya alam telah mendorong kerusakan hutan alami, penurunan kualitas tanah, serta pencemaran air dan udara. Tidak hanya merusak ekosistem, masalah ini juga mengganggu siklus alam yang menjadi penopang utama kehidupan masyarakat desa, seperti ketersediaan air bersih, keanekaragaman hayati, dan stabilitas iklim.
Pada saat yang sama, tantangan ekonomi yang dihadapi desa juga tak kalah kompleks. Harga jual hasil pertanian yang fluktuatif, rendahnya daya tawar petani, serta keterbatasan akses terhadap pasar dan teknologi termasuk di antara banyak faktor penghambat utama perekonomian di desa, yang masyarakatnya mayoritas mengandalkan sektor pertanian sebagai mata pencaharian. Selain itu, banyak pelaku usaha mikro dan kecil di desa yang berada dalam kondisi rentan karena kurangnya pendampingan, akses ke permodalan, serta minimnya infrastruktur pendukung.
Kombinasi antara degradasi lingkungan dan tekanan ekonomi pada giliranya akan menciptakan siklus masalah yang sulit diputus. Misalnya, ketika hasil pertanian menurun akibat lahan yang rusak, risiko alih fungsi lahan hutan untuk perluasan lahan pertanian atau eksploitasi sumber daya alam lainnya akan meningkat, sehingga akan memperparah kerusakan lingkungan. Oleh karena itu, dibutuhkan pendekatan yang dapat mengintegrasikan pemulihan lingkungan dan penguatan ekonomi desa secara bersamaan. Di sinilah peran penting ekonomi restoratif perlu didorong.
Solusi Alternatif
Pada dasarnya, ekonomi restoratif merujuk pada konsep ekonomi yang berfokus pada upaya menjaga keseimbangan lingkungan seraya memastikan kegiatan ekonomi memenuhi kebutuhan dasar semua orang. Konsep ekonomi ini menekankan pemulihan ekosistem dan fungsi alam yang terdegradasi sekaligus mewujudkan kesejahteraan manusia dan lingkungan dalam rangka mencapai harmoni antara manusia dan alam.
Sebuah laporan yang diterbitkan oleh CELIOS menyebut bahwa ekonomi restoratif dapat menjadi solusi alternatif untuk mendukung ketahanan ekonomi masyarakat pedesaan. Menurut laporan tersebut, sebuah produk dapat dikatakan sebagai produk ekonomi restoratif apabila mendukung prinsip keberlanjutan secara ekologis (misal: agroforestri dalam sektor pertanian), bermanfaat secara ekonomis dan sosial, serta mendukung ekonomi lokal dengan memanfaatkan kearifan dan kedaulatan pangan setempat. Tidak hanya pertanian, ekonomi restoratif juga dapat diterapkan di sektor perikanan dengan menjaga kelestarian dan pemulihan ekosistem laut.
Potensi di Indonesia
Berdasarkan studi yang melibatkan 80.000 desa, laporan tersebut mengungkapkan bahwa terdapat 23.472 desa dan 14 provinsi yang memiliki potensi ekonomi restoratif yang tinggi berdasarkan ketersediaan sumber daya alam dan kondisi ekosistem yang hijau. Kalimantan Utara, Maluku, Kalimantan Tengah, Kalimantan Barat, dan Kepulauan Riau termasuk lima daerah dengan potensi yang paling tinggi. Namun, dengan potensi sumber daya alam yang beragam dan unik di setiap daerah, laporan tersebut menekankan pentingnya kebijakan yang bersifat spesifik dan relevan dengan kondisi lokal.
Laporan tersebut mencatat karet, palawija (jagung, kacang-kacangan, umbi-umbian, sayuran, dsb), dan perikanan tangkap sebagai produk ekonomi restoratif yang paling dominan. Namun, laporan tersebut menggarisbawahi bahwa praktik penanaman secara monokultur, kurangnya keterlibatan masyarakat sekitar, dan pembukaan lahan skala besar yang menyebabkan deforestasi perlu dikecualikan dalam kriteria produk restoratif. Karet, misalnya, meskipun dapat menyerap karbon dioksida dan menyediakan sumber pendapatan bagi komunitas lokal, ekspansi perkebunannya yang meluas dapat menyebabkan deforestasi hutan alami.
Tantangan
Sayangnya, meskipun memiliki sumber daya alam yang kaya, banyak desa di Indonesia yang masih menghadapi tantangan signifikan dalam pengembangan ekonomi restoratif. Menurut laporan tersebut, 95,40% desa di Indonesia memiliki inisiatif yang rendah dalam mendukung ekonomi restoratif. Padahal, pada saat yang sama, terdapat 23.653 desa yang mengalami masalah serius akibat praktik ekonomi yang merusak, dengan 56,65 % di antaranya tidak lagi memiliki mata air—termasuk akibat pertambangan dan ekspansi perkebunan.
Laporan tersebut mencatat adanya permasalahan seperti degradasi lingkungan, pencemaran, dan konflik antara kegiatan ekonomi dan pelestarian lingkungan, yang menyebabkan praktik ekonomi restoratif menjadi sulit dijalankan. Kebiasaan membuang sampah atau membakar sampah secara terbuka, pencemaran sungai, dan kebiasaan membuang tinja tercatat sebagai tiga faktor utama penyebab degradasi lingkungan yang ditemukan dalam studi tersebut. Selain itu, fenomena masuknya investor kaya ke wilayah desa untuk ekspansi bisnis, termasuk dengan mengeksploitasi sumber daya alam, juga menjadi sorotan.
Pada gilirannya, dampak kerusakan ekosistem di desa akan memengaruhi kehidupan puluhan juta orang, dan hal ini semakin serius mengingat 14,88% desa berbatasan dengan laut dan 24,11% desa berada di dalam atau sekitar kawasan hutan.
Lebih lanjut, laporan tersebut menekankan bahwa potensi ekonomi restoratif tidak serta merta bergantung pada ketersediaan sumber daya alam. Meskipun sumber daya alam di suatu daerah melimpah, minimnya tindakan proaktif dari pemerintah lokal dan masyarakat akan menghambat implementasi ekonomi restoratif. Hal ini menggarisbawahi urgensi kebijakan yang mendukung pengembangan ekonomi restoratif dan melindungi hak-hak masyarakat lokal atas sumber daya alam.
Mendorong Pengembangan Ekonomi Restoratif
Di tengah tantangan lingkungan dan ekonomi yang semakin mendesak, seluruh pihak—mulai dari pemerintah pusat dan daerah, dunia usaha, hingga masyarakat desa—perlu mengambil peran aktif dalam mendorong pengembangan ekonomi restoratif. Kuncinya adalah kesadaran kolektif dan kolaborasi lintas sektor.
Pemerintah daerah dapat memulai dengan merancang kebijakan yang berpihak pada pemulihan ekosistem dan perlindungan hak masyarakat atas sumber daya alam, termasuk memberikan dukungan teknis dan pendanaan untuk inisiatif lokal. Pada saat yang sama, masyarakat desa perlu diberdayakan sebagai pelaku utama dengan memperkuat kapasitas mereka dalam mengelola sumber daya secara berkelanjutan. Selain itu, dunia usaha dan investor mesti meningkat komitmen untuk memastikan bahwa praktik bisnis mereka selaras dan mendukung kelestarian lingkungan dan ketahanan sosial-ekonomi masyarakat lokal.
Laporan selengkapnya dapat dibaca di sini.
Amar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah alumnus Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor untuk beberapa media tingkat nasional di Indonesia. Ia juga adalah penulis, editor, dan penerjemah, dengan minat khusus pada isu-isu sosial-ekonomi dan lingkungan.