Mama Bambu: Peran Perempuan dalam Merawat Lingkungan di Flores
Peran perempuan sangat penting dalam upaya adaptasi dan mitigasi perubahan iklim. Di tengah berbagai krisis yang melanda dunia, peran perempuan sangat dibutuhkan, termasuk dalam menjaga ketahanan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Di Flores, Nusa Tenggara Timur (NTT), ratusan perempuan berupaya melakukan mitigasi iklim dan meningkatkan perekonomian keluarga melalui program pembibitan bambu. Mereka menamai diri mereka dengan “Mama Bambu”.
Potensi Bambu dalam Mitigasi Iklim
Indonesia diperkirakan memiliki 1 juta hektare lebih tanaman bambu dengan 176 jenis yang tersebar di berbagai wilayah. Namun, hanya 25 ribu hektare yang dikelola dalam bentuk hutan atau kebun.
Bambu merupakan salah satu jenis tumbuhan yang dapat membantu mengendalikan iklim. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa bambu memiliki potensi untuk menyerap karbon dioksida dan menyimpannya dalam seluruh bagiannya. Penyimpanan karbon ini bisa dalam jangka panjang bahkan ketika bambu telah diubah menjadi produk atau bahan konstruksi. Selain itu, bambu juga punya potensi untuk diubah menjadi bioenergi hingga dapat membantu restorasi lahan karena kemampuannya untuk tumbuh di lahan terdegradasi dengan cepat.
Bambu juga penting untuk konservasi tanah dan air karena dapat menyerap hingga 90% air hujan. Selain itu, tumpukan daun (serasah) yang tebal dan perakaran yang kuat dari bambu juga dapat berguna untuk mengurangi laju erosi tanah oleh air hujan dan menjaga kelembaban dan mengikat tanah.
Peran Mama Bambu
Di 21 desa di 7 kabupaten di Flores, NTT, bambu menjadi tumbuhan yang menyatukan ratusan perempuan dalam menjaga lingkungan dan meningkatkan perekonomian keluarganya. Mereka adalah “Mama Bambu”, yaitu perempuan, terutama ibu rumah tangga dari keluarga miskin dan janda tanpa pekerjaan tetap, yang diberdayakan dalam program pembibitan bambu oleh Yayasan Bambu Lingkungan Lestari (YBLL) dengan dukungan Pemerintah Provinsi NTT.
Program pembibitan dan penanaman bambu YBLL memiliki beberapa tujuan, yaitu untuk memproduksi bibit bambu guna rehabilitasi lahan dan melindungi sumber air, menyediakan sumber pendapatan alternatif bagi warga desa yang terlibat, dan menjadikan desa sebagai inisiatif ekonomi hijau dengan bambu sebagai komoditas utamanya.
Dalam waktu setahun setelah digulirkan pada pertengahan 2021 saja, para Mama Bambu telah menghasilkan hingga 2,5 juta bibit bambu dan merehabilitasi 80 ribu hektare lahan. Lahan yang semula kritis berubah menjadi kawasan subur yang dapat ditanami berbagai jenis tumbuhan lain seperti tanaman buah, sayur, hingga umbi-umbian. Dalam jangka panjang, bambu yang banyak ditanam di dekat sumber-sumber air ini juga dapat menambah debit air sehingga membantu menjaga ketersediaan air bagi warga saat musim kemarau.
Di balik pencapaian ini, ada usaha keras dari para Mama Bambu. Pada awal berjalannya program, para Mama Bambu harus menyusuri hutan untuk mencari bambu sebagai indukan dan dihadapkan pada kegagalan saat melakukan pembibitan. Namun, setelah mendapatkan pelatihan, mereka berhasil menumbuhkan rata-rata 8.000 bibit per orang. Setiap bibit yang berhasil tumbuh diberi insentif sehingga per orang dapat menghasilkan hingga Rp 20 juta. Tidak hanya itu, para Mama Bambu juga diberi berbagai pelatihan di luar pembibitan bambu. Mereka dibekali pengetahuan soal wanatani, pelatihan tentang produk bambu yang terintegrasi dengan pabrik, mengembangkan arang bambu, mengawetkan bambu, dan menganyam serat.
Pembibitan dan penanaman bambu di NTT masih belum berhenti. Pada tahun 2023, YBLL melakukan penanaman bambu di NTT untuk 27 hektare lahan yang berupa lahan tandus dan gersang, sumber-sumber mata air, areal bantaran sungai, dan juga lereng bukit. Penanaman ini kemudian dilanjutkan pada Februari 2024 untuk lahan seluas 500 hektare yang melibatkan kelompok tani lokal. Penanaman ini bertujuan untuk mendukung Forest and Other Land Use (FOLU) Net Sink 2030.
Mendukung Keterlibatan Perempuan
Bagi para Mama Bambu, program pembibitan bambu ini tidak hanya mengajarkan kemandirian dan ketangguhan bagi perempuan, tetapi juga bentuk penghormatan bagi leluhur. Misalnya, bagi perempuan di Desa Ngada, mereka dipercayai untuk mengatur Ngia Ngora (tanah adat) dan juga Napu Bheto (hutan bambu), sehingga menjaga bambu juga berarti menjaga warisan leluhur dan adat, sekaligus melindungi generasi masa depan.
Apa yang dilakukan Mama Bambu merupakan sebuah gambaran akan pentingnya menjadikan masyarakat lokal sebagai aktor utama dalam usaha untuk mengatasi perubahan iklim. Hal ini menjadi semakin penting mengingat perempuan merupakan kelompok yang menanggung beban berlipat dari dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, mendukung keterlibatan perempuan, mulai dari perencanaan, pelaksanaan, hingga evaluasi dalam pembuatan kebijakan atau program mitigasi iklim merupakan hal yang penting dalam mewujudkan keadilan iklim.
Editor: Abul Muamar
Kami harap konten ini bermanfaat bagi Anda.
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia.