Mengurangi Limbah dan Jejak Karbon dengan Konsep Pernikahan Ramah Lingkungan
Pernikahan telah menjadi bagian dari budaya manusia selama berabad-abad. Seiring berjalannya waktu, perayaan pernikahan terus berkembang dan cenderung semakin mewah dan seringkali menimbulkan dampak buruk terhadap lingkungan. Penggunaan bahan-bahan sekali pakai, transportasi para tamu yang dapat menimbulkan emisi, pemborosan energi, dan limbah makanan adalah beberapa contohnya. Untuk mengurangi dampak lingkungan dari pesta pernikahan, konsep pernikahan ramah lingkungan muncul sebagai solusi yang dapat diterapkan.
Perayaan Pernikahan dan Dampaknya terhadap Lingkungan
Perayaan pernikahan seringkali menyajikan hidangan makanan dalam jumlah besar, bahkan berlebihan. Sayangnya, makanan dan minuman yang tidak habis dikonsumsi seringkali berakhir menjadi limbah, dan kita tahu, limbah makanan menyumbang emisi gas rumah kaca (GRK) yang signifikan. Menurut World Resources Institute, limbah makanan menyumbang 8% GRK global setiap tahun.
Sementara itu, menurut hasil penelitian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) pada tahun 2021, Indonesia membuang sampah makanan 23-48 juta ton per tahun pada periode 2000-2019. Hal ini turut menyebabkan pemanasan global, hingga berdampak pada hilangnya Produk Domestik Bruto sebesar 4-5% atau setara dengan Rp213-551 triliun per tahun.
Yang patut disayangkan, makanan di piring para tamu undangan seringkali sengaja disisakan demi alasan yang kurang bijaksana. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa perilaku menyisakan makanan dalam perayaan pernikahan adalah untuk menghindari stigma rakus, kontrol perilaku, dan pengaruh orang terdekat yang mendorong tamu untuk menyisakan makanan. Antrean saat mengambil makanan juga menyebabkan para tamu menumpuk makanan agar tidak perlu kembali mengantre.
Pakaian pengantin dalam perayaan pernikahan juga sering hanya digunakan sekali, ditambah dengan adanya tren pakaian seragam untuk para pendamping pengantin mendorong pembelian kain khusus untuk acara tersebut. Semakin banyak pendamping pengantin, maka semakin banyak kain yang dibutuhkan. Praktik ini seringkali menimbulkan limbah sisa produksi yang membutuhkan waktu lama untuk terurai dan tidak dapat melalui proses pengomposan. Selain limbah kain, undangan cetak dan ornamen-ornamen dekoratif sekali pakai seperti bunga dan dedaunan segar juga meninggalkan sampah dan jejak karbon.
Selain itu, perayaan pernikahan membutuhkan penggunaan energi yang cukup besar, terutama jika digelar dengan mewah dan megah. Jumlah daya listrik yang diperlukan bervariasi tergantung pada pencahayaan, perangkat audio, penghangat makanan, mesin pembuat minuman, hingga hiburan. Hal ini juga berdampak pada jejak karbon keseluruhan.
Menurut Anjar Ningtias, Founder Eco-Wedding, di Jabodetabek saja ada ribuan hajatan pernikahan dan lamaran setiap minggunya. Anjar menyebutkan bahwa dalam setiap acara, setidaknya 35% makanan terbuang sia-sia, 35% sampah berasal dari dekorasi, 15% dari souvenir, dan 15% dari undangan. “Belum lagi jejak karbon yang dihasilkan dari transportasi yang digunakan, entah itu untuk mengangkut makanan, dekorasi, atau lainnya,” kata Anjar.
Konsep Pernikahan Ramah Lingkungan
Pernikahan ramah lingkungan (eco-friendly wedding) merupakan perayaan pernikahan yang dilakukan secara strategis untuk mengurangi dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini dilakukan dengan mengurangi jumlah limbah dan jejak karbon yang dihasilkan selama pernikahan berlangsung.
Beberapa prinsip dan langkah yang dapat dilakukan untuk menggelar pernikahan ramah lingkungan adalah:
- Pilih lokasi yang ramah lingkungan untuk meminimalkan penggunaan energi, kebutuhan dekorasi tambahan, dan mudah dijangkau dengan transportasi umum.
- Gunakan undangan digital untuk menggantikan undangan cetak guna mengurangi penggunaan kertas dan tinta.
- Sewa pakaian pernikahan alih-alih membuat pakaian baru yang berujung hanya sekali pakai, manfaatkan potongan kain sisa, dan gunakan bahan-bahan gaun yang ramah lingkungan, seperti katun atau sutra.
- Gunakan dekorasi yang dapat digunakan kembali atau didaur ulang.
- Sajikan makanan organik, lokal, dan musiman untuk mengurangi jejak karbon dari transportasi dan produksi makanan.
- Hindari mengambil makanan berlebihan yang berujung tersisa dan menjadi sampah makanan.
- Cegah limbah sisa makanan dengan mendonasikannya kepada bank makanan (food bank) atau langsung berikan kepada orang-orang yang membutuhkan.
- Donasikan bunga-bunga, dan daun segar dari dekorasi ke lembaga amal dan komunitas setempat.
- Sediakan transportasi bersama atau anjurkan tamu untuk menggunakan transportasi umum untuk mengurangi jejak karbon dari perjalanan individu.
- Manfaatkan hasil bumi, benih tanaman, atau bahan ramah lingkungan yang dapat digunakan kembali sebagai souvenir pernikahan.
Penting untuk dicatat bahwa pesta pernikahan ramah lingkungan tidak berarti harus menyewa jasa wedding organizer berbiaya mahal, yang bahkan mungkin bisa lebih mahal daripada perayaan pernikahan konvensional, tetapi dapat digelar dengan sederhana sesuai prinsip-prinsip ramah lingkungan yang telah disebutkan di atas.
Perlu Adaptasi
Tanpa mengurangi kebahagiaan, konsep pernikahan ramah lingkungan patut dipertimbangkan dan diarusutamakan karena dapat mengurangi dampak lingkungan dan sering kali dapat lebih menghemat biaya. Namun, konsep ini perlu disesuaikan dengan adat masyarakat setempat agar dapat lebih diterima masyarakat luas. Untuk itu, penting juga untuk terus mengedukasi dan mengubah persepsi masyarakat agar dapat beradaptasi dan menyadari pentingnya konsep ini untuk menjaga keberlanjutan lingkungan.
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Busra adalah Intern Reporter di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Pendidikan Bahasa Inggris dari Universitas Mataram. Ia memiliki ketertarikan pada dunia kepenulisan dengan topik seputar pendidikan, sosial, dan budaya.