Meningkatkan Implementasi Pariwisata Berkelanjutan dalam Pengembangan Desa Wisata
Indonesia menyimpan kekayaan alam dan budaya yang menjadi daya tarik pariwisata. Pemerintah terus mendorong pertumbuhan ekonomi di sektor pariwisata, salah satunya melalui pengembangan desa wisata di berbagai daerah. Akan tetapi, pengembangan desa wisata masih menyimpan sekelumit masalah yang perlu diatasi guna mencapai implementasi pariwisata berkelanjutan.
Pariwisata Berkelanjutan
Pariwisata berkelanjutan adalah konsep yang bertujuan untuk meminimalkan dampak negatif pariwisata terhadap lingkungan, masyarakat, dan ekonomi, sekaligus memaksimalkan manfaat bagi komunitas lokal dan melestarikan warisan budaya. Dalam beberapa tahun terakhir, konsep ini telah mendapatkan perhatian yang signifikan sebagai pendekatan penting untuk memastikan keberlanjutan jangka panjang destinasi pariwisata.
Pariwisata berkelanjutan mengakui pentingnya mempertahankan kerangka sosial-budaya komunitas lokal. Dengan mendorong keterlibatan masyarakat, memberdayakan bisnis lokal, dan menghormati budaya asli, pariwisata dapat memperkuat kohesi sosial dan melestarikan warisan budaya. Pendekatan ini memastikan bahwa pengembangan pariwisata memberikan manfaat bagi semua pihak yang terlibat.
Menurut World Travel and Tourism Council (WTTC), pada 2022, pariwisata menyumbang 7,6% dari PDB global dan membuka 22 juta lapangan pekerjaan baru di seluruh dunia. Dengan mempromosikan praktik pariwisata yang bertanggung jawab, berbagai destinasi dapat menarik wisatawan yang mengutamakan pengalaman wisata berkelanjutan.
Konsep Desa Wisata
Menurut data Kemenparekraf, desa wisata rintisan di Indonesia mencapai 3.444 dengan jumlah desa wisata berkategori maju dan mandiri masing-masing 284 dan 23 desa. Aspek penting dalam pengembangan desa wisata menuju desa wisata unggul atau mandiri dapat terlihat dari 3 struktur pengembangan yaitu, infrastruktur; kebersihan, dan kesehatan; serta kesiapan informasi teknologi dengan skema pendekatan 3A meliputi atraksi, aksesibilitas, dan amenitas.
Beberapa kriteria desa wisata yaitu memiliki daya tarik wisata, komunitas masyarakat, potensi sumber daya manusia, lembaga dan pengelolaan, sarana dan prasarana, serta potensi pengembangan pasar wisatawan. Kriteria tersebut yang kemudian akan dikembangkan oleh pemerintah desa menjadi jenis-jenis desa wisata yang spesifik seperti desa agrowisata, desa wisata kerajinan gerabah, dan lainnya.
Konsep desa wisata sendiri mulanya bertujuan untuk memanfaatkan sumber daya alam dan kebudayaan masyarakat lokal untuk mendorong pertumbuhan ekonomi desa. Pada dasarnya, desa wisata memberikan pengalaman atas lanskap alam, tradisi, dan kesenian lokal sebagai atraksi wisata. Beberapa kasus menunjukkan bahwa pengembangan desa wisata dapat menjadi sarana pelestarian dan revitalisasi kebudayaan dan bahasa lokal.
Kemenparekraf menggalakkan pengembangan desa wisata dengan mengusung konsep pariwisata berkelanjutan (sustainable tourism) sejak 2021 ditandai dengan diterbitkannya Permen Nomor 9 Tahun 2021 Tentang Pedoman Destinasi Pariwisata Berkelanjutan. Pengembangan pariwisata, termasuk desa wisata, perlu mengupayakan terciptanya sistem pengelolaan yang berkelanjutan, yang tidak hanya terkait lingkungan, tapi juga sosial dan ekonomi.
Evaluasi Pariwisata Berkelanjutan dalam Kerangka Desa Wisata
Meski mengusung konsep pariwisata berkelanjutan, ada beberapa hal yang perlu dievaluasi dalam pengembangan desa wisata di Indonesia, di antaranya:
- Greenwashing. Beberapa bisnis pariwisata mungkin hanya menyajikan diri mereka sebagai “ramah lingkungan” tanpa melakukan perubahan yang nyata. Mereka dapat menggunakan klaim berkelanjutan sebagai alat pemasaran untuk menarik wisatawan, sementara praktik sebenarnya tidak sejalan dengan prinsip-prinsip berkelanjutan
- Implikasi sosial dan ekonomi. Meskipun pariwisata berkelanjutan bertujuan untuk memberikan manfaat ekonomi dan sosial kepada masyarakat lokal, implementasinya tidak selalu berhasil. Terkadang, proyek pariwisata berkelanjutan dapat mengakibatkan gentrifikasi atau eksploitasi ekonomi, di mana masyarakat lokal dikecualikan. Hal ini dapat menciptakan ketidakseimbangan sosial dan memicu konflik di komunitas lokal.
- Pengaruh buruk dari kunjungan yang masif. Jumlah pengunjung yang meningkat secara signifikan dapat menyebabkan tekanan yang besar pada lingkungan, infrastruktur, dan budaya lokal. Peningkatan lalu lintas wisatawan berpotensi mengganggu ekosistem, merusak situs budaya, dan mengganggu kehidupan sehari-hari masyarakat lokal jika tidak diantisipasi dan ditangani dengan baik.
- Ketidakseimbangan ekonomi dan lingkungan. Pengembangan infrastruktur pariwisata yang agresif dapat merusak ekosistem alami, menghancurkan habitat satwa liar, atau mengancam keberlanjutan sumber daya alam.
Meningkatkan Keberlanjutan dalam Pengembangan Desa Wisata
Meningkatkan implementasi pariwisata berkelanjutan di desa wisata merupakan tanggung jawab seluruh pemangku kepentingan. Pengambilan keputusan dan praktik yang tepat sasaran penting untuk ditingkatkan agar cita-cita penerapan pariwisata berkelanjutan dapat terealisasikan dalam pengembangan desa wisata.
Pengoptimalan keterlibatan masyarakat lokal praktis dibutuhkan. Desa wisata harus melibatkan warga setempat dalam proses pengambilan keputusan, perencanaan, dan pelaksanaan kegiatan pariwisata. Ini dapat dicapai melalui pembentukan kelompok kerja, forum partisipatif, atau organisasi komunitas yang memungkinkan warga lokal untuk berperan aktif dalam mengelola dan memanfaatkan potensi pariwisata. Di Desa Wisata Osing Kemiren, Banyuwangi, misalnya, Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Kencana berpartisipasi aktif dalam pemberdayaan masyarakat dan pengembangan produk usaha.
Pelestarian budaya lokal yang menjadi daya tarik desa wisata juga perlu ditingkatkan. Pengembangan desa wisata mesti memastikan bahwa kegiatan pariwisata menghormati dan tidak merusak integritas budaya lokal. Sebagai contoh, Desa Wisata Budo di Minahasa Utara mengimplementasikan pelestarian budaya lokal mereka bersamaan dengan tujuan pariwisata dengan mengusung daya tarik wisata yang berisi siklus hidup manusia berdasarkan nilai dan tradisi lokal.
Desa wisata juga harus mengadopsi praktik ramah lingkungan dan menjaga keseimbangan antara pariwisata dan keberlanjutan lingkungan. Ini dapat mencakup kegiatan seperti pengelolaan air, pengelolaan dan pengolahan sampah, penggunaan energi terbarukan, dan perlindungan terhadap flora dan fauna lokal. Penerapan kebijakan perlindungan lingkungan, pendidikan tentang keanekaragaman hayati, dan partisipasi dalam program restorasi lingkungan dapat membantu mencapai tujuan ini.
Untuk memastikan keberlanjutan dan kestabilan ekonomi, desa wisata perlu berusaha untuk mendiversifikasi sumber pendapatan, seperti pertanian organik, kerajinan tangan lokal, agroforestri, atau pengembangan produk-produk wisata lokal. Selain itu, faktor penting lainnya adalah pengelolaan yang berkelanjutan. Desa wisata memerlukan pengelolaan yang komprehensif dan berkelanjutan untuk mengatur jumlah wisatawan, mengantisipasi dampak negatif, dan memastikan distribusi manfaat secara adil kepada masyarakat lokal. Pengelolaan yang berkelanjutan mencakup pemantauan terus-menerus, evaluasi dampak, dan penyesuaian kebijakan sesuai dengan kebutuhan.
Kolaborasi Multisektoral
Kolaborasi multisektoral dan antarpemangku kepentingan yang kuat dapat menghasilkan perencanaan yang terkoordinasi dan implementasi yang lebih efektif dalam pengembangan desa wisata yang berkelanjutan. Kolaborasi perlu secara tegas mengedepankan hajat hidup dan visi masyarakat lokal dalam pengembangan desa wisata. Seluruh pihak mesti menyepakati cita-cita jangka panjang untuk mencapai ekonomi berkelanjutan, kelestarian budaya lokal, dan keselamatan lingkungan.
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Fahmi adalah Reporter & Peneliti In-House untuk Green Network Asia - Indonesia.