Mewujudkan Ketahanan Pangan yang Adil dan Bergizi Seimbang

Makanan sehat khas Indonesia | Foto: Mufid Majnun di Unsplash.
Kehidupan manusia sangat bergantung pada ketahanan pangan yang kokoh dan berkelanjutan, dan kebutuhan ini menjadi semakin mendesak di tengah perubahan iklim dan berbagai krisis lainnya. Ketahanan pangan yang adil harus memastikan bahwa setiap orang memiliki akses terhadap pangan yang tidak hanya cukup secara kuantitas, tetapi juga memenuhi kebutuhan akan gizi yang seimbang. Namun, mewujudkan ketahanan pangan yang adil dan bergizi seimbang masih menjadi tantangan besar di Indonesia hingga saat ini.
Simulasi kebijakan yang dilakukan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada tahun 2024 menunjukkan bagaimana skenario yang memadukan jaminan sosial, pola makan sehat, dan produksi berkelanjutan dapat memberikan dampak signifikan terhadap penghapusan kelaparan, peningkatan kesejahteraan petani, hingga keberlanjutan lingkungan.
Ketimpangan Akses Pangan
Laporan Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) 2024 mencatat bahwa masih terdapat 62 kabupaten/kota yang masuk dalam kategori rentan pangan, yang artinya beresiko tinggi mengalami kesulitan dalam akses pangan yang cukup dan bergizi. Sebagian besar wilayah tersebut berada di kawasan timur Indonesia serta wilayah-wilayah terpencil lainnya. Ketimpangan juga dapat dilihat dari kuantitas konsumsi bahan pangan bergizi. Konsumsi sayur dan buah secara nasional pada tahun 2022 hanya sekitar 237,5 gram per kapita per hari, jauh di bawah standar Word Health Organisation (WHO) yang menganjurkan konsumsi 400 gram per kapita per hari.
Akses terhadap pangan yang adil dan bergizi seimbang adalah aspek penting untuk mendukung kesehatan dan kesejahteraan manusia. Namun sayangnya, berbagai program dan kebijakan yang ada belum mampu menjawab kebutuhan tersebut secara signifikan dan merata. Program-program ketahanan pangan nasional lebih banyak berfokus pada peningkatan produksi pangan, khususnya pangan pokok seperti beras, dan pengurangan angka kerawanan pangan secara nasional. Padahal, ketahanan pangan adalah isu kompleks yang tidak hanya menyangkut ketersediaan pangan pokok, tetapi juga tentang akses yang adil, kualitas nutrisi, serta keberagaman makanan yang dapat mendukung pemenuhan nutrisi yang seimbang.
Misalnya, proyek food estate yang alih-alih mencapai target produksi, justru menyebabkan konflik agraria, degradasi lingkungan, dan berpotensi menghancurkan sentra-sentra pertanian rakyat. Contoh lain, program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang menimbulkan berbagai masalah di berbagai daerah, mulai dari makanan yang tidak layak dan menyebabkan siswa keracunan, hingga menimbulkan risiko korupsi karena rantai pasoknya yang panjang dan sentralistik.
Lebih dari Sekadar Ketersediaan
Strategi produksi pangan yang ada juga tidak beriringan dengan upaya pemenuhan gizi seimbang dan diversifikasi pangan lokal. Misalnya, program seperti Cadangan Pangan Pemerintah (CPP) dan Stabilisasi Pasokan Harga Pangan (SPHP) telah menimbulkan dominasi komoditas tertentu seperti beras, tanpa mendorong konsumsi pangan lain yang lebih beragam dan menyesuaikan dengan sumber pangan lokal.
Akses terhadap pangan bergizi tidak hanya tentang ketersediaan, melainkan juga kondisi ekonomi, harga, dan sistem distribusi. Di banyak wilayah, harga pangan bergizi seperti sayuran, buah, dan sumber protein hewani masih tergolong mahal dan sulit dijangkau oleh sebagian besar penduduk. Tingginya harga ini kerap dipicu oleh rantai distribusi yang belum memadai, terutama untuk makanan-makanan utuh (real food) yang cenderung tidak tahan lama. Akibatnya, ketersediaan pangan sehat tidak selalu berbanding lurus dengan keterjangkauan, dan konsumsi gizi seimbang tetap menjadi tantangan bagi sebagian besar penduduk, terutama kelompok rentan.
Kombinasi Intervensi Sistem Pangan
Salah satu tantangan utama dalam sistem pangan di Indonesia adalah menjamin pemerataan distribusi, akses, gizi yang seimbang, dan tata kelola lintas sektor yang terkoordinasi dengan baik. Simulasi kebijakan yang dilakukan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO) pada tahun 2024 menunjukkan bahwa skenario yang memadukan jaminan sosial, pola makan sehat, dan produksi berkelanjutan dapat memberikan dampak signifikan terhadap penghapusan kelaparan, peningkatan kesejahteraan petani, hingga keberlanjutan lingkungan. Simulasi FAO ini menyajikan beberapa skenario pemodelan, yakni skenario Business as usual (BAU), intervensi gizi dan akses pangan, produksi dan produktivitas lokal, intervensi iklim dan lingkungan, dan kombinasi intervensi.
- Skenario BAU dalam laporan tersebut menggambarkan kemungkinan kondisi ketika kebijakan dan praktik yang sudah berjalan di Indonesia dilanjutkan tanpa ada perubahan besar hingga tahun 2030 atau 2045. Hasilnya menunjukkan bahwa BAU membawa beberapa kemajuan seperti penurunan kemiskinan dan undernourishment (kelaparan), serta peningkatan produksi pangan. Namun, skema tersebut akan menyebabkan emisi pertanian meningkat, ketimpangan antarwilayah membesar, dan akses terhadap pangan sehat masih sulit bagi sebagian besar masyarakat.
- Intervensi gizi dan akses pangan dalam simulasi ini dilakukan melalui skenario social safety net, seperti food stamp atau bantuan tunai untuk meningkatkan daya beli masyarakat miskin terhadap bahan pangan bergizi. Hasil pemodelan ini menunjukkan penurunan signifikan terhadap angka kelaparan, namun apabila tidak diimbangi dengan intervensi lingkungan yang memadai, skenario ini akan mendorong perluasan lahan pertanian sehingga memperbesar tekanan terhadap lingkungan.
- Produksi dan produktivitas lokal berfokus pada reformasi kebijakan pertanian dengan mengalihkan subsidi guna mendukung produksi pangan yang bergizi dan berkelanjutan. Skenario ini mendorong peningkatan produksi dan pendapatan petani, tapi juga menunjukkan bahwa peningkatan produksi dapat berdampak pada menurunnya terms of trade bagi petani. Di sini berarti bahwa meskipun dapat menghasilkan lebih banyak, nilai tukar hasil pertanian terhadap barang dan jasa lain justru bisa melemah.
- Intervensi iklim dan lingkungan mencakup kebijakan seperti penerapan pajak karbon pertanian dan penggunaan lahan serta moratorium konversi hutan primer dan lahan gambut. Di satu sisi, intervensi ini dinilai efektif dalam menekan emisi gas rumah kaca dan deforestasi, tetapi di sisi lain dapat menyebabkan kenaikan harga pangan yang berpotensi memperburuk angka kelaparan jika tidak dikombinasikan dengan intervensi sosial lainnya.
Dari beberapa skenario yang dibuat, laporan tersebut mengungkap bahwa perbaikan paling signifikan dan menyeluruh dapat dicapai ketika intervensi sosial, peningkatan produktivitas, dan kebijakan intervensi lingkungan, dijalankan secara beriringan.
Mewujudkan Pangan Sehat dan Adil
Pada akhirnya, mendorong transformasi menuju sistem pangan yang sehat dan adil memerlukan strategi dan kebijakan yang jelas dan terukur. Hal ini mencakup penguatan jaminan sosial bagi kelompok rentan, promosi pola makan sehat yang terjangkau, serta dukungan terhadap praktik pertanian berkelanjutan, yang melibatkan sinergi yang kolaborasi lintas-sektor. Partisipasi aktif dari berbagai pemangku kepentingan, termasuk petani, sektor swasta, dan masyarakat sipil, juga sangat penting untuk memastikan kebijakan tersebut responsif terhadap kebutuhan nyata di lapangan, serta untuk memperkuat tata kelola pangan yang lebih adil dan inklusif.
Editor: Abul Muamar