Pentingnya Lingkungan Gizi Sehat di Sekolah dalam Mendukung Kesehatan Anak

Foto: Freepik.
Kebiasaan dan gaya hidup anak sejak dini, termasuk pola makan dan aktivitas fisik sebagian besar terbentuk di sekolah. Oleh karena itu, lingkungan sekolah yang sehat dapat berperan besar dalam mendukung tumbuh-kembang dan kesejahteraan jangka panjang mereka. Namun, menciptakan lingkungan gizi yang sehat di sekolah bukanlah perkara mudah. Laporan UNICEF menyoroti pentingnya lingkungan gizi yang sehat di sekolah dalam mendukung kesehatan anak, sekaligus memetakan sejauh mana sekolah-sekolah dasar di beberapa wilayah di Indonesia menyediakan lingkungan yang mendukung pola hidup sehat.
Tantangan Lingkungan Gizi di Sekolah
Lingkungan gizi sekolah meliputi akses terhadap makanan bergizi, air minum yang aman, edukasi gizi, dan dukungan terhadap aktivitas fisik yang cukup. Semua elemen ini berperan penting dalam membentuk kebiasaan makan dan gaya hidup anak. Namun, sejauh ini, isu tersebut belum menjadi perhatian utama dalam praktik pendidikan maupun kebijakan kesehatan di sekolah.
Di banyak sekolah di berbagai daerah, anak-anak kerap terpapar makanan ultra-proses (ultra-processed food/UPF) yang seringkali mengandung kadar gula, garam, dan lemak yang tinggi. Selain itu, berdasarkan data nasional, satu dari dua anak mengonsumsi satu atau lebih minuman manis setiap harinya. Studi terhadap beberapa sekolah di Jakarta menunjukkan bahwa pilihan makanan yang tersedia di kantin sekolah umumnya tinggi kalori, gula, dan lemak, sementara buah dan sayur jarang menjadi pilihan utama. Pemeriksaan rutin oleh fasilitas kesehatan juga lebih menekankan aspek kebersihan dibanding kualitas gizi makanan yang dijual.
Isu ini bukannya tanpa respons. Di beberapa daerah, telah terdapat pendekatan kantin sehat dengan dukungan dari pemerintah lokal dan organisasi masyarakat. Namun, masalah masih tetap bergulir. Misalnya, studi terhadap 147 sekolah dasar (SD) di Bantul, DI Yogyakarta, menunjukkan bahwa hanya sekitar 43,5 persen sekolah yang kantinnya memenuhi standar sehat berdasarkan Healthy Canteen Score (HCS).
Minimnya Sekolah yang Menyediakan Lingkungan Gizi yang Sehat
Implementasi lingkungan gizi yang sehat di sekolah membutuhkan kebijakan yang terarah, sumber daya yang memadai, serta pemantauan yang berkelanjutan. Selain itu, pemahaman terhadap kondisi di lapangan menjadi dasar penting untuk merumuskan intervensi yang kontekstual. Laporan UNICEF memberikan gambaran mengenai sejauh mana sekolah dasar di Indonesia telah menyediakan lingkungan yang mendukung pola hidup sehat bagi anak.
Laporan tersebut didasarkan pada sampel dari 268 sekolah dasar yang berada di Jawa Tengah, Sulawesi Selatan, dan Papua. Penilaian dilakukan dengan menggunakan alat Nutrition Environment Assessment Tool for Schools (NEAT-S), yang mencakup penilaian terhadap makanan, minuman, edukasi terkait gizi, dan aktivitas fisik. Hasilnya, hanya 5,2 persen sekolah yang menyediakan pilihan makanan sehat seperti buah, sayur, maupun biji-bijian utuh, serta tidak menyajikan makanan dan minuman manis, makanan tinggi garam, dan makanan yang digoreng. Mayoritas sekolah masih membiarkan para pedagang menyajikan makanan-makanan tidak sehat dan minim nutrisi, seperti cilok, sosis bakar, gorengan, minuman boba, dan banyak lagi. Kondisi tersebut tergambar dari kecilnya proporsi sekolah yang tidak menjual minuman berpemanis (1,5 persen) dan makanan manis, asin, atau digoreng (2,2 persen).
Laporan tersebut juga mengungkap bahwa kebijakan terkait makanan sehat atau lingkungan aktivitas fisik di sekolah seringkali hanya berupa kesepakatan lisan, bukan aturan tertulis. Meskipun banyak sekolah yang terbebas dari pemasaran dan sponsor makanan tidak sehat, produk-produk tidak sehat tetap beredar luas di banyak sekolah, dan hanya sebagian kecil sekolah yang membatasi penyebarannya. Selain itu, hanya 26,5 persen sekolah yang melaksanakan aktivitas fisik yang mencukupi bagi siswa, yakni 60 menit per hari atau 300 menit per minggu sesuai standar World Health Organization (WHO). Kondisi tersebut diakibatkan oleh kurangnya penyediaan ruang dan waktu yang memadai untuk mendukung aktivitas fisik anak di sebagian besar sekolah. Selain itu, meningkatnya penggunaan perangkat elektronik atau screen time, kurangnya tempat yang aman dan mudah diakses untuk beraktivitas fisik, dan adanya norma budaya dan sosial di Indonesia yang memprioritaskan prestasi akademik dibanding aktivitas fisik juga berkontribusi pada minimnya aktivitas fisik siswa.
Memperkuat Regulasi dan Intervensi
Perbaikan lingkungan gizi di sekolah perlu dimulai dari penguatan regulasi dan intervensi seperti penataan kantin, peningkatan kapasitas guru terkait gizi, aturan penjualan produk makanan di lingkungan sekolah, serta pelibatan orang tua secara aktif. Sejalan dengan hal tersebut, UNICEF memberikan sejumlah rekomendasi untuk mewujudkan lingkungan gizi sekolah yang lebih sehat:
- Meningkatkan kebijakan terkait lingkungan pangan, termasuk langkah-langkah spesifik untuk menciptakan lingkungan gizi sekolah yang lebih sehat, yang mencakup pedoman nasional kantin sekolah, regulasi mengenai penjualan dan pemasaran makanan tidak sehat di dalam dan sekitar sekolah, skema pelabelan gizi pada bagian depan kemasan, dan kebijakan fiskal untuk membuat makanan tidak sehat menjadi lebih mahal.
- Memperluas cakupan dan kualitas layanan gizi esensial di sekolah melalui rencana aksi yang meningkatkan jangkauan dan efektivitas program. Hal ini mencakup penguatan peran petugas kesehatan, sekolah, dan orang tua, dengan langkah-langkah kunci seperti mengalokasikan anggaran khusus, membangun sistem pemantauan kepatuhan konsumsi suplemen, dan mengadakan kampanye edukasi untuk meningkatkan kesadaran siswa dan orang tua.
- Meningkatkan edukasi gizi dan aktivitas fisik, antara lain dengan meningkatkan kapasitas guru untuk menyampaikan pendidikan gizi dan menyediakan ruang yang memadai dan waktu yang cukup untuk aktivitas fisik sebagai bagian dari kurikulum sekolah.
- Meningkatkan kesadaran dan penguatan kapasitas di lingkungan sekolah yang lebih luas, termasuk pekerja kantin sekolah, pedagang makanan, orang tua, serta tenaga di pusat layanan kesehatan masyarakat.
- Memperkuat sistem untuk deteksi dini dan rujukan anak yang mengalami atau berisiko mengalami malnutrisi (termasuk stunting dan obesitas) dan membangun mekanisme tindak lanjut dan umpan balik yang andal bagi anak yang terdampak malnutrisi.
- Memperbaiki tata kelola, antara lain dengan meningkatkan koordinasi antarpemangku kepentingan dan lintas sektor dengan memastikan bahwa seluruh pihak terkait di tingkat daerah dilibatkan dalam perancangan dan pelaksanaan intervensi gizi sekolah, mengintegrasikan intervensi gizi sekolah ke dalam anggaran nasional, serta memperkuat koordinasi lintas sektor.
Editor: Abul Muamar