Bahan Bakar Hidrogen untuk Upaya Dekarbonisasi & Pembangunan di Malaysia

Foto oleh RephiLe water di Unsplash.
Prinsip keberlanjutan menempatkan aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan pada derajat kepentingan yang sama. Dalam hal ini, tidak ada aspek pembangunan yang boleh dilakukan dengan mengorbankan aspek yang lain. Namun, kenyataannya seringkali tidak demikian.
Misalnya, urbanisasi dan industrialisasi merupakan faktor penting dalam pengentasan kemiskinan. Namun, dua hal tersebut sering berkelindan dengan masalah tenaga kerja dan emisi karbon yang tinggi karena penggunaan bahan bakar fosil.
Untuk itu, kebutuhan akan bahan bakar yang berkelanjutan semakin nyata. Dalam hal ini, tim peneliti yang dipimpin oleh Profesor Chong Meng Nan dari Monash University Malaysia sedang bekerja untuk menghasilkan bahan bakar hidrogen alternatif yang lebih berkelanjutan.
Bahan Bakar Fosil versus Bahan Bakar Hidrogen
Bahan bakar fosil masih menjadi sumber energi utama di berbagai industri dan infrastruktur. Pada tahun 2014, karbon dioksida menyumbang 65% dari emisi gas rumah kaca global; sebagian besar adalah produk sampingan dari bahan bakar fosil. Oleh karena itu, mengembangkan bahan bakar terbarukan sangat penting untuk memisahkan industrialisasi global dari emisi karbon.
Dr. Chong dan timnya sedang mengembangkan sistem nanoteknologi canggih untuk menghasilkan bahan bakar hidrogen (H2) solar hijau dan bahan kimia C1-C4 yang bernilai. Bahan bakar H2 akan menghasilkan energi dan air ketika dibakar, yang lebih baik bagi lingkungan dibanding CO2 yang dihasilkan oleh pembakaran bahan bakar fosil. Pengembangan bahan bakar H2 akan memungkinkan industrialisasi dan dekarbonisasi berjalan beriringan.
“Sayangnya, konsep pemisahan ini hampir tidak mungkin tercapai sepenuhnya dalam jangka pendek hingga menengah kecuali jika kita memiliki sistem dan infrastruktur energi berkelanjutan dan terbarukan siap-pasang yang dapat memenuhi tujuan skala besar,” kata Dr.Chong.
Produksi Berkelanjutan yang Lebih Ramah Lingkungan
Dalam mengembangkan teknologi, Dr. Chong percaya akan pentingnya mengadopsi metode rekayasa baru untuk menciptakan produksi energi yang berkelanjutan. Ini mencakup meninggalkan sepenuhnya bahan bakar fosil dalam produksi bahan bakar hidrogen. “Akan menjadi kontra-intuitif kalau kita menghasilkan bahan bakar H2 menggunakan bahan bakar fosil, yang masih berkontribusi pada emisi karbon dalam siklus produk, dan tidak mendukung dari segi ekonomi,” tambahnya.
Dengan mengadopsi keseluruhan desain sistem, tim peneliti memastikan bahwa sistem rekayasa yang paling layak, hemat biaya, dan ramah lingkungan dirancang dan diimplementasikan dengan keberlanjutan sebagai inti sistem. Meningkatkan siklus produksi bahan bakar hidrogen secara menyeluruh dan mengembangkan penggunaan penyimpanan, transportasi, dan bahan bakar diharapkan dapat mendorong transisi ke energi yang berkelanjutan dan terbarukan.
“Dengan bekerja sama dengan industri, kami mengantisipasi translasi dan adopsi cepat teknologi kami dalam membangun Malaysia sebagai pemasok yang kompetitif secara global dalam mengekspor bahan bakar H2 hijau secepatnya pada 2027. Sebaliknya, ini akan membawa dampak dan perubahan sosial seiring terciptanya perubahan paradigma penting menuju masyarakat energi bebas karbon,” kata Dr. Chong.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan kami untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Madina adalah Reporter & Peneliti In-House untuk Green Network Asia. Dia meliput Global, Asia Tenggara, Asia Timur, dan Australasia.