Katingan Mentaya: Inisiatif Pengurangan Emisi melalui Perdagangan Karbon

Foto: Rimba Makmur Utama.
Perdagangan karbon menjadi penting seiring dengan bertambahnya jumlah emisi gas rumah kaca seperti karbon dioksida dan metana yang merupakan penyebab utama rusaknya atmosfer Bumi. Emisi gas rumah kaca membuat Bumi semakin panas dan menyebabkan bahaya krisis iklim. Di Indonesia, emisi karbon terus mengalami peningkatan, mencapai 619,28 juta ton CO2e pada 2021.
Perdagangan karbon melalui jual-beli kredit karbon merupakan salah satu upaya dalam mengurangi emisi gas rumah kaca yang disepakati dalam Perjanjian Paris 2015. Di Kalimantan Tengah, terdapat proyek perdagangan karbon dalam bentuk carbon offset bernama Katingan Mentaya yang didirikan dan dikelola oleh PT. Rimba Makmur Utama (RMU).
Model Perdagangan Karbon Katingan Mentaya
Katingan Mentaya Project (KMP) berfokus pada konservasi hutan yang dijalankan dalam bentuk usaha jasa lingkungan dengan memanfaatkan mekanisme pasar karbon.
Dalam pasar karbon sendiri terdapat dua skema/mekanisme yang dijalankan, yakni trading (perdagangan) dan crediting (kredit).
Sistem trading dikenal dengan istilah emission trading system (sistem perdagangan emisi) dengan nama lain cap-and-trade. Dalam sistem ini, setiap peserta pasar (dapat berupa organisasi, perusahaan, dan negara) wajib mengurangi atau membatasi produksi emisi karbon yang disebut cap. Jumlah cap kemudian akan dinilai oleh lembaga yang ditentukan. Jika peserta pasar melewati cap-nya, maka ia dapat membeli tambahan unit kuota dari pihak lain yang kuotanya tidak terpakai.
Adapun dalam skema crediting (bernama lengkap baseline-and-crediting), komoditi yang diperdagangkan adalah sertifikasi penurunan emisi berdasarkan persyaratan dan ketentuan yang berlaku di pasar yang telah disepakati. Satu unit kredit karbon biasanya setara dengan penurunan emisi satu ton karbon dioksida.
Dalam model bisnisnya, KMP menjalankan carbon offset sebagai salah satu mekanisme kredit karbon. Secara sederhana, carbon offset berarti menyeimbangkan karbon positif dan karbon negatif. Dengan kata lain, carbon offset adalah upaya mengurangi karbon di satu tempat untuk mengimbangi produksi emisi karbon yang berlebih di tempat yang lain. Carbon offset merupakan bentuk kompensasi dari penghasil emisi gas rumah kaca dengan cara melakukan aksi mitigasi untuk menurunkan emisi di tempat lain.
Dalam hal ini, proyek Katingan Mentaya berjalan melalui konservasi lahan gambut yang dapat menyimpan karbon dalam jumlah besar. Lebih dari 90% karbon tersimpan di kawasan hutan KMP dan terperangkap di dalam lahan gambut. Proyek ini menyelamatkan hutan gambut di wilayah Katingan dari pengembangan perkebunan akasia industri. Jenis perkebunan tersebut berpotensi melepaskan 450 juta ton karbon dioksida dalam 60 tahun ke depan.
Berdasarkan perhitungan karbon standar Verified Carbon Standard (VCS) dan Community and Biodiversity Standards (CCB), kawasan hutan KMP menyimpan karbon rata-rata 7,5 juta ton CO2 per tahun selama 60 tahun masa konsesi atau setara dengan menghilangkan emisi 2 juta mobil per tahun. Karbon yang tersimpan ini kemudian dijual melalui mekanisme kredit karbon. Dengan pemasukan dari penjualan kredit karbon ini, PT Rimba Makmur Utama mampu melakukan perlindungan terhadap ekosistem kawasan dan memenuhi biaya operasional perusahaan.
Proyek Katingan Mentaya berhasil melindungi satu kawasan hutan rawa gambut utuh seluas 149,800 hektare, yang disebut-sebut terbesar di Asia Tenggara. Ini adalah kawasan kunci keanekaragaman hayati yang menjadi rumah bagi orangutan Borneo (Pongo pygmaeus), owa Borneo Selatan (Hylobates albibarbis), dan bekantan Borneo (Nasalis larvatus).
“Saat mitra bisnis saya, Rezal Kusumaatmadja, dan saya mendirikan RMU pada tahun 2007, kami punya mimpi besar untuk membangun bisnis yang agenda utamanya adalah menjaga planet kita dan ekosistem di dalamnya. Pada waktu itu, konsep Nature-Based Solution Enterprise merupakan hal yang relatif masih asing di Indonesia, dan hal tersebut membuat perjalanan kami tidak mudah,” kata CEO Rimba Makmur Utama, Dharsono Hartono.
Memastikan Tujuan Awal Perdagangan Karbon
Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan sejumlah regulasi terkait perdagangan karbon. Sejumlah mekanisme perdagangan karbon juga telah tersedia, seperti Clean Development Mechanism (Mekanisme Pembangunan Bersih) dan Joint Credit Mechanism (JCM). Namun, perdagangan karbon masih terbilang sepi.
Pada 2021, perdagangan karbon di Indonesia masih terbatas pada sektor pembangkit tenaga listrik uap (PLTU) batu bara, dengan emisi yang diperdagangkan sebanyak 42.255,2 ton karbon dioksida (senilai Rp1,2 miliar).
Untuk itu, diperlukan kolaborasi dan diskusi antar-pemangku kepentingan yang lebih luas, utamanya dari perusahaan sebagai pelaku utama perdagangan karbon dan pemerintah sebagai regulator.
Pada prinsipnya, perdagangan karbon memiliki potensi positif, baik dari segi sosial-ekonomi maupun keberlanjutan lingkungan. Potensi perdagangan karbon di Indonesia didukung oleh luasnya hutan hujan tropis, hutan mangrove, dan lahan gambut yang dapat menyerap karbon dalam jumlah besar. Namun, pemerintah perlu membuat kajian dan memetakan peluang pasar perdagangan karbon secara komprehensif dan terukur. Hal ini penting untuk memastikan bahwa perdagangan karbon dapat benar-benar mencapai tujuan awal, yakni menurunkan emisi gas rumah kaca untuk menyelamatkan Bumi.
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat artikel ini bermanfaat, berlangganan Newsletter Mingguan kami untuk mengikuti kabar dan cerita seputar pembangunan berkelanjutan dari komunitas multistakeholder di Indonesia dan dunia.
Maulina adalah Editor & Peneliti untuk Green Network ID. Dia meliput Indonesia bagian barat, tengah, dan timur.