Keuskupan Agung Jakarta Ajak Masyarakat Kurangi Sampah Makanan di Tengah Krisis Pangan

Kenampakan dari sisa makanan pelanggan yang tidak habis di sebuah warung makan. | Foto oleh Thomas Panji.
Saat negara di berbagai belahan dunia sedang dibayangi oleh krisis pangan dan kelaparan, sampah makanan justru menjadi masalah besar, termasuk di Indonesia. Indonesia bahkan menjadi salah satu negara penghasil sampah makanan terbesar di dunia, selain Amerika Serikat dan Arab Saudi.
Menurut kajian Bappenas, makanan yang terbuang di Indonesia kurun 2000-2019 mencapai 23-48 juta ton per tahun atau setara 115-184 kilogram/kapita/tahun. Ini berdampak pada kerugian ekonomi nasional sebesar Rp 213-551 triliun. Pada saat yang sama,tingkat kelaparan Indonesia bertengger di posisi 18 dunia dan kedua di kawasan Asia Tenggara.
Melihat keprihatinan ini, Keuskupan Agung Jakarta lewat Surat Gembala yang berjudul “Menghargai Pangan sebagai Wujud Penghormatan Martabat Manusia,” mengajak seluruh lapisan masyarakat di wilayah DKI Jakarta, Tangerang, dan Bekasi untuk berpartisipasi dalam mencegah makanan terbuang sia-sia.
Dua Rumusan Masalah
Pandemi COVID-19 dan konflik antarnegara yang berkepanjangan memperparah krisis pangan, membuat masyarakat dunia semakin kesulitan untuk mengakses makanan, termasuk di Indonesia.
Di sisi lain, salah satu fakta mengenai besarnya jumlah sampah makanan yang dibuang oleh masyarakat Indonesia dapat ditemukan dari data jenis dan jumlah sampah yang dibuang di Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) Bantargebang, di mana jenis sampah yang paling banyak dibuang adalah sampah sisa makanan, yakni sebesar 43% atau yang paling dominan.
Surat Gembala yang ditulis oleh Uskup Agung Jakarta Kardinal Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo itu mengemukakan dua rumusan masalah, yakni:
- Apa yang bisa dilakukan untuk membantu mereka yang tertinggal dalam mendapatkan hak atas pangan?
- Bagaimana cara agar mereka memiliki kesempatan untuk mendapatkan hak tersebut?
Tawaran Solusi
Keuskupan Agung Jakarta menegaskan bahwa membuang makanan adalah persoalan moral yang dapat menimbulkan gesekan sosial. Untuk itu, Keuskupan Agung Jakarta menawarkan empat solusi yang dapat diterapkan, yakni
- Mengupayakan pola makan yang sesuai dengan kebutuhan dan secukupnya, yang dapat mengubah perspektif dalam melihat pangan sebagai kebutuhan dasar manusia yang esensial.
- Mengadakan berbagai gerakan solidaritas, seperti berbagi bahan makanan sehat yang kaya kandungan gizi atau membagikan makanan siap santap kepada masyarakat kurang mampu.
- Mendorong dan mengajak para pelaku usaha kuliner secara sukarela untuk mengumpulkan makanan yang berlebih atau tidak terjual yang masih layak konsumsi untuk disalurkan kepada masyarakat yang kekurangan.
- Mengajak masyarakat untuk merekatkan tali silaturahmi dengan menanam tanaman pangan alternatif, seperti singkong, ubi jalar, kentang, jagung, dan sukun di lahan kosong yang dapat dimanfaatkan secara komunal atau bagi yang membutuhkan.
Ajakan Keuskupan Agung Jakarta dalam untuk mengurangi sampah makanan ini sesuai dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG’s). Ke depannya, diharapkan semakin banyak masyarakat yang mendapatkan haknya untuk mengakses pangan. Ini sekaligus menunjukkan bahwa saatnya lembaga agama ikut berperan dalam upaya mencapai tujuan itu.
Editor: Abul Muamar

Terima kasih telah membaca!
Berlangganan Green Network Asia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia. Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional dengan pembaruan seputar kebijakan publik & regulasi, ringkasan hasil temuan riset & laporan yang mudah dipahami, dan cerita dampak dari berbagai organisasi di pemerintahan, bisnis, dan masyarakat sipil.
Panji adalah Reporter di Green Network Asia. Ia belajar Ilmu Media Massa dan Komunikasi Digital di Universitas Atma Jaya Yogyakarta.