Langkah Mundur dalam Mengakhiri Pekerja Anak
Apa yang Anda bayangkan saat bicara tentang anak-anak? Mereka yang berlarian ke sana kemari sambil tertawa riang dan bermain di halaman sekolah saat waktu istirahat? Ya, idealnya memang begitu. Namun kenyataannya, banyak anak yang berjuang melawan kelaparan, kemiskinan, hidup dalam krisis kemanusiaan, hingga menjadi pekerja anak.
Mengakhiri pekerja anak telah menjadi salah satu tujuan prioritas dalam upaya global untuk melindungi anak-anak dan memenuhi hak-hak mereka. Namun sedihnya, 160 juta anak di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, masih menjadi pekerja anak.
Memahami Pekerja Anak
Tidak semua anak yang bekerja serta merta dianggap sebagai pekerja anak. Pekerja anak dapat dilihat dari usia, jenis pekerjaan, jam kerja, dan kondisi yang dijalani. Misalnya, membantu bisnis keluarga atau mendapatkan uang jajan di luar jam sekolah adalah hal baik yang penting bagi tumbuh kembang anak.
Organisasi Buruh Internasional (ILO) mendefinisikan pekerja anak sebagai sesuatu yang “berbahaya dan membahayakan anak-anak secara mental, fisik, sosial, dan/atau moral”. Seorang anak dapat dikatakan sebagai pekerja anak jika menjalani pekerjaan yang mengganggu pendidikan mereka dengan memaksa mereka berhenti bersekolah atau mengurangi jam sekolah dan belajar mereka dengan “pekerjaan yang terlalu lama dan berat”. Hal ini termasuk melakukan pekerjaan rumah tangga yang secara tidak proporsional banyak dialami oleh anak-anak perempuan.
Langkah Mundur
Sejak tahun 2000-an, terdapat kemajuan yang menjanjikan dalam mengakhiri pekerja anak. Namun, kemajuan tersebut terhenti dan bahkan melangkah mundur dalam beberapa tahun terakhir. Menurut laporan ILO yang bertajuk “Pekerja Anak: Estimasi Global 2020: Tren dan Jalan ke Depan”, jumlah pekerja anak bertambah sebanyak delapan juta lebih dibandingkan tahun 2016.
Laporan tersebut juga menyebut bahwa dengan 160 juta anak yang menjadi pekerja anak, sekitar satu dari sepuluh anak di seluruh dunia merupakan korban. Pekerja anak paling banyak ada di Afrika Sub-Sahara, dengan jumlah 86,6 juta pekerja anak, disusul Asia Tengah dan Asia Selatan (26,3 juta) serta Asia Timur dan Asia Tenggara (24 juta).
Dari jumlah tersebut, sebanyak 89 juta adalah anak-anak berusia lima hingga sebelas tahun. Sektor pertanian dan rumah tangga merupakan tempat yang paling banyak melibatkan pekerja anak, seperti dalam pertanian keluarga dan usaha mikro keluarga lainnya.
Di Indonesia sendiri, pekerja anak masih banyak ditemukan di hampir setiap daerah, termasuk di kawasan pariwisata seperti KEK Mandalika. Banyak dari mereka yang menjadi pedagang asongan di sekitar Pantai Mandalika, menawarkan beragam suvenir seperti gelang, dompet khas Lombok, gantungan kunci, dan lainnya.
Di tengah krisis ekonomi, krisis pendidikan, dan ancaman yang terus menerus terhadap kehidupan anak-anak seperti yang terjadi di Gaza, Palestina, semakin banyak anak yang berisiko menjadi pekerja anak. Bahkan, industri yang dianggap ‘hijau’ seperti energi terbarukan pun tidak bersih dari keberadaan pekerja anak dan perbudakan modern.
Mengakhiri Pekerja Anak
Target 8.7 Tujuan Pembangunan Berkelanjutan mencakup komitmen untuk mengakhiri pekerja anak dalam segala bentuk pada tahun 2025. Penting untuk diingat bahwa penghapusan pekerja anak memerlukan penanganan permasalahan lain dalam pembangunan berkelanjutan. Mengatasi kemiskinan, memperluas perlindungan sosial, dan memastikan pendidikan dasar dan menengah gratis dan berkualitas bagi semua adalah beberapa strategi yang sangat berkaitan dengan upaya penghapusan pekerja anak.
Pada Pertemuan Regional Asia-Pasifik tentang Pekerja Anak dan Kerja Paksa yang digelar pada Maret 2024, para delegasi yang hadir menekankan perlunya pendekatan terintegrasi dan berbasis hak. Bagaimanapun, keterlibatan antarpemangku kepentingan dan sektor sangat penting dalam upaya global untuk mengakhiri pekerja anak dan menjaga kesejahteraan anak-anak—kini dan esok.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Naz adalah Manajer Editorial Internasional di Green Network Asia. Ia pernah belajar Ilmu Perencanaan Wilayah dan Kota dan tinggal di beberapa kota di Asia Tenggara. Pengalaman pribadi ini memperkaya persepektifnya akan masyarakat dan budaya yang beragam. Naz memiliki sekitar satu dekade pengalaman profesional sebagai penulis, editor, penerjemah, dan desainer kreatif.