Rayakan Kelahiran Anak Perempuan, Desa Piplantri Tanam 111 Pohon
Pernahkah Anda mendengar tentang anak perempuan yang bersaudara dengan pohon? Di Desa Piplantri, Rajasthan, India, setiap ada satu bayi perempuan lahir, warga bergotong royong menanam 111 pohon untuk menyambutnya. Tak hanya itu, mereka juga mengumpulkan uang sampai Rs31.000 (sekitar Rp6.000.000) yang sepertiganya berasal dari orang tua si bayi, sebagai tabungan si anak hingga kelak usianya mencapai 18 tahun. Tabungan itu akan dapat dicairkan entah untuk keperluan studi lanjutan atau pernikahan si anak.
Dengan demikian, setiap orang tua bayi tersebut berjanji tidak akan menikahkan anak perempuannya hingga berusia 18 tahun dan sudah mendapat pendidikan yang layak. Pohon-pohon yang sudah ditanam juga menjadi tanggung jawab keluarga itu untuk memeliharanya dengan baik. Warga desa bahu membahu menjaga kelestarian pepohonan sebagaimana mereka menjaga anak-anak perempuan mereka sendiri.
Tradisi ini tak lepas dari peran kepemimpinan Kepala Desa Piplantri, Shyam Sunder Paliwal. Pada tahun 2005, Paliwal melihat kenyataan yang menyedihkan. Di dekat desa, ada sebuah pertambangan marmer yang menyebabkan perbukitan gundul, membuat tanah di sekitarnya kering dan pepohonan layu. Alhasil, asupan air pun terus berkurang.
Tahun 2007, Kiran, putri Paliwal yang baru berusia 17 tahun meninggal dunia akibat dehidrasi. Dengan sangat terpukul, Paliwal memutuskan untuk menanam pohon di dekat pintu masuk desa sebagai cara untuk mengenang putrinya. Sebagai kepala desa, ia kemudian mencetuskan ide agar aksinya ini menjadi program desa.
“Kalau kita bisa melakukannya atas nama satu anak perempuan. Kenapa tidak kita lakukan juga atas nama seluruh anak perempuan?” tutur Paliwal, sebagaimana dikutip BBC.
Pada saat itu, kelahiran anak perempuan dinilai tidak seberharga kelahiran anak laki-laki, sebab saat mereka dewasa, tenaga anak laki-laki akan lebih berguna untuk bekerja. Paliwal ingin menunjukkan bahwa keberadaan anak perempuan sama pentingnya.
Penduduk desa pun berkenan mengikuti jejaknya. Tradisi ini kemudian berkembang menjadi gerakan ekofeminisme yang lebih luas. Dengan banyaknya pepohonan yang ditanam setiap tahunnya, kondisi tanah yang rusak berangsur pulih, debit air terlestarikan, menurunnya kadar polusi, dan menyediakan lapangan kerja baru termasuk bagi para perempuan. Kini, lebih dari 350.000 pohon sudah tertanam mengelilingi desa, terdiri dari berbagai jenis tanaman pangan dan produktif seperti mangga, gooseberry, hingga secang.
Perbaikan lingkungan ini turut meningkatkan kualitas hidup warga desa. Fasilitas warga semakin membaik dengan adanya toilet, listrik, dan angka kriminalitas menurun. Desa ini kemudian menjadi simbol ikatan kuat antara pelestarian lingkungan dengan perubahan sosial. Hal ini tidak hanya menjadi langkah ampuh menjaga bumi, tetapi juga menjadi langkah sosial yang radikal dalam hal pembelaan hak-hak anak perempuan.
“Semakin kita melindungi lingkungan, maka lingkungan pun akan membalasnya. Orang yang mau bekerjasama dengan alam tak perlu khawatir. Alam memberi kami kekuatan, anak-anak perempuan kami memberi kami kekuatan, aksi ini juga memberi kami kekuatan,” ujar Paliwal. Hingga kini, anak-anak perempuan dengan pohon yang dilabeli nama mereka, akan datang setiap perayaan Raksha Bandhan untuk memasangkan gelang pada “pohon adik” mereka, sebagai simbol persaudaraan dan perlindungan yang kekal.
Editor: Inez Kriya
Sumber: Eternal Bhoomi dan USGBC
Kami harap konten ini bermanfaat bagi Anda.
Berlangganan Green Network Asia – Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia.
Zia adalah penulis kontributor untuk Green Network ID. Saat ini aktif menjadi Pendamping Belajar di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT).