Sadar Dampak, Sadar Arah: Cara Sederhana Memahami Keberlanjutan

Ilustrasi: Irhan Prabasukma.
Ketika berbicara soal keberlanjutan, seseorang terkadang merasa bahwa itu adalah urusan para ahli lingkungan, perusahaan besar, atau bahkan negara. Padahal, kenyataannya keberlanjutan dimulai dari cara kita memandang hidup sehari-hari.
Keberlanjutan dapat diartikan sebagai kemampuan suatu sistem (alam, sosial, ekonomi) untuk bertahan dalam jangka panjang tanpa merusak dasar pendukungnya. Tapi di tengah kompleksitas istilah seperti ESG, SDGs, atau istilah lainnya, kita justru membutuhkan pendekatan yang lebih membumi agar semua orang merasa bisa terlibat dalam menangani isu-isu keberlanjutan.
Salah satu cara efektif untuk membumikan keberlanjutan adalah dengan mulai bertanya. Setidaknya ada tiga pertanyaan sederhana yang bisa menjadi kompas awal bagi kita, baik sebagai individu maupun bagian dari entitas pemerintah atau swasta yang ingin turut mewujudkan keberlanjutan.
1. Apa dampak dari aktivitas saya?
Setiap aktivitas kita, sekecil apapun, meninggalkan jejak. Saat seseorang misal saya membeli ayam goreng kemudian dibungkus lalu dibawa pulang, itu bukan hanya soal makanan. Ada kantong plastik, minyak sawit, gas elpiji, dan jejak karbon dari transportasi logistik dalam prosesnya sehingga saya bisa menikmati ayam goreng tersebut. Ini yang disebut sebagai life cycle thinking — berpikir dari hulu ke hilir, dari bahan mentah, proses produksi, penggunaan, hingga pembuangan (sisa/limbahnya).
Di tingkat perusahaan, hal ini diukur lewat Life Cycle Assessment (LCA). Namun bagi masyarakat biasa, kesadaran ini cukup diwujudkan dalam bentuk pertanyaan: Apakah ada cara lain yang lebih ramah lingkungan untuk melakukan ini?
Contoh sederhana: alih-alih selalu membeli air mineral kemasan, membawa botol minum sendiri dapat mengurangi konsumsi plastik harian yang bisa mencapai 1–2 botol per orang. Jika 10 juta orang Indonesia melakukannya, dampaknya tentu akan signifikan.
2. Bagaimana saya bisa menguranginya atau mengubahnya?
Kita tidak harus sempurna, tapi kita bisa mulai dengan perubahan kecil yang konsisten. Inilah prinsip 5R yang sering digunakan dalam pendekatan keberlanjutan: Reduce, Reuse, Recycle, Replace, Rethink.
Di kota-kota seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung, gaya hidup reuse mulai jadi kebiasaan baru sebagian orang. Ini juga didorong oleh kebijakan pemerintah yang membatasi penggunaan kantong plastik sekali pakai. Sekarang, pemandangan orang bawa tas belanja sendiri atau kotak makan ke warung telah menjadi hal yang lumrah.
Contoh lain, di beberapa daerah di Bali, ada program kompos skala rumah tangga, di mana sisa dapur dan sampah rumah tangga diolah menjadi pupuk. Program ini mendukung target SDG Nomor 12 (konsumsi dan produksi berkelanjutan) serta sejalan dengan strategi pengelolaan sampah nasional.
3. Siapa yang Terdampak oleh Keputusan Saya?
Keberlanjutan tidak hanya bicara soal lingkungan, tapi juga soal keadilan sosial dan etika. Ketika kita memilih suatu produk, apakah kita tahu siapa yang membuatnya? Apakah mereka dibayar layak? Apakah perusahaan memperhatikan aspek keselamatan dan kesehatan kerja karyawannya?
Di dunia kerja, misalnya, banyak kantor kini mulai memikirkan untuk bekerjasama dengan vendor lokal, atau memilih katering dari UMKM sekitar untuk kegiatan internal. Ini sejalan dengan prinsip stakeholder thinking dalam framework ESG — bahwa keberlanjutan juga tentang menciptakan nilai untuk semua pihak yang terlibat, bukan hanya pemegang saham.
Contoh keseharian lainnya: ketika masyarakat memilih untuk membeli sayur langsung dari petani atau pasar tani, mereka bukan hanya mendapat sayur yang lebih segar, tapi juga memotong rantai distribusi yang panjang dan memberi nilai lebih bagi petani lokal.
Pada skala korporasi, praktik ini bisa terlihat dari kebijakan sourcing yang bertanggung jawab (responsible sourcing)—misalnya, perusahaan makanan dan minuman yang hanya mengambil bahan baku dari petani binaan yang menerapkan pertanian berkelanjutan. Contoh lainnya, di sektor manufaktur, beberapa perusahaan besar kini mewajibkan mitra pemasok mereka untuk memiliki sertifikasi K3 (Keselamatan dan Kesehatan Kerja) serta bebas dari praktik kerja paksa dan pekerja anak.
Dari Kesadaran Pribadi ke Perubahan Sistemik
Tiga pertanyaan tadi mungkin terdengar sederhana. Namun justru dari kesederhanaan itu, kita bisa membentuk pola pikir kritis dan berempati, yang menjadi fondasi lahirnya budaya keberlanjutan.
Sebagai bangsa, Indonesia memiliki kekayaan nilai kultural seperti gotong royong, rasa cukup, dan kedekatan dengan alam. Dalam kerangka ESG, nilai-nilai ini sesungguhnya sangat relevan, hanya saja perlu dikontekstualisasikan ulang agar sejalan dengan dinamika zaman dan kebutuhan sistemik.
Namun penting untuk digarisbawahi bahwa kesadaran individu saja tidak cukup. Kita butuh transformasi struktural, mulai dari regulasi, insentif pasar, hingga penguatan infrastruktur. Di sinilah pentingnya membangun pusat-pusat pembelajaran ESG di kampus-kampus, memperluas literasi keberlanjutan sejak dini, dan mengembangkan kapasitas lokal untuk merespons isu-isu global dengan solusi yang adaptif dan kontekstual.
Upaya pemerintah dalam mendorong transisi menuju net zero emission, penguatan regulasi konservasi energi, serta kehadiran standar pelaporan ESG oleh BEI merupakan langkah signifikan. Namun kerjasama lintas sektor tetap menjadi kunci. Karena keberlanjutan bukan sekadar tren atau tuntutan global, melainkan investasi sosial-ekologis jangka panjang.
Editor: Abul Muamar

Terima kasih telah membaca!
Berlangganan GNA Indonesia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Pendi adalah seorang manajer sustainability dengan pengalaman lebih dari 10 tahun di perusahaan swasta. Ia menangani proyek-proyek yang berkaitan dengan energy management, community development, safety management, dan environment management.