Kehidupan Para Pendulang Emas Tradisional di Jayapura: di Antara Ancaman Longsor dan Himpitan Ekonomi

Ibu-ibu mendulang emas di Kelurahan Ardipura, Jayapura Selatan, Kota Jayapura, Papua. | Foto: Tiffany Mnumumes.
Saat berbicara tentang sumber penghidupan masyarakat Kota Jayapura, apa yang terlintas di benak Anda? Peramu sagu? Pengrajin noken? Atau mungkin, nelayan atau pemandu wisata? Ya, Anda tidak salah. Tapi, ada satu bentuk mata pencaharian orang-orang Jayapura, khususnya di Jayapura Selatan, yang mungkin tidak banyak diketahui, yakni sebagai pendulang emas tradisional.
Mulanya, pekerjaan ini memang menjadi sumber pendapatan yang menjanjikan. Akan tetapi, semakin ke sini, para pendulang emas di kota ini semakin terancam oleh risiko bencana longsor yang dapat terjadi sewaktu-waktu. Hal ini menciptakan ironi tatkala mereka harus tetap melakoni pekerjaan ini karena himpitan ekonomi.
Pendulang Emas Tradisional di Jayapura
Jayapura adalah sebuah kota yang terletak di wilayah paling timur Indonesia dan merupakan ibu kota Provinsi Papua, yang berbatasan langsung dengan Papua Nugini.
Di Jayapura Selatan, tepatnya di Kelurahan Ardipura, RT 002 dan RT 003 (RW 004), tidak jauh dari tempat tinggal saya saat ini, terdapat lokasi penambangan emas tradisional. Warga setempat sering menggunakan istilah ‘dulang emas’, yang sudah berlangsung sejak tahun 1990-an. Robert Inuri (60 tahun), seorang warga yang bekerja sebagai pendulang emas tradisional yang saya temui, bercerita bahwa lokasi pendulangan emas tersebut dulunya merupakan anak sungai dan kebun warga yang ditanami beberapa jenis tanaman seperti singkong, ubi jalar, cabe rawit, pepaya, dan pinang. Namun sejak warga mengetahui keberadaan kandungan emas di tanah, lokasi tersebut beralih fungsi.
Robert juga bercerita, dahulu dalam sehari warga bisa memperoleh hingga 10 gram emas. Namun dua tahun terakhir, hasil yang didapat seringkali jauh lebih sedikit, dan tak jarang mereka hanya bisa memperoleh 0,5 gram per hari. Menurutnya, emas yang terkandung di tanah Ardipura adalah kualitas baik, yaitu 24 karat. Ia mengetahui hal ini dari para pembeli emas yang biasanya juga memiliki toko emas di pusat kota Jayapura.

Rawan Longsor
Namun, berdampingan dengan kekayaan alam berupa kandungan mineral emas, Distrik Jayapura Selatan juga rawan terhadap bencana alam longsor. Hal ini bahkan telah termaktub dalam Perda Nomor 5 tahun 2008 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Jayapura. Perda tersebut menyatakan bahwa Distrik Jayapura Selatan masuk ke dalam kawasan peruntukan pertambangan bersamaan dengan dua distrik lainnya, namun juga menjadi kawasan resapan air dan rawan bencana alam pergeseran tanah atau longsor. Bagi kami warga lokal, longsor telah menjadi hal yang umum dan sering kami alami.
Markus Sumbari, Ketua RT 003, mengatakan bahwa “aktivitas dulang emas ini berdampak serius terhadap rumah warga. Banyak rumah warga yang rusak karena longsor dan saat ini ada beberapa warga yang khawatir karena halaman rumahnya hilang akibat longsor”.
Masalah longsor ini sebenarnya sudah lama mendapat perhatian dari Pemerintah Kelurahan, Dinas Lingkungan Hidup, hingga Wali Kota Jayapura. Himbauan dan larangan telah disampaikan pemerintah secara langsung kepada warga sekitar untuk menghentikan aktivitas penambangan karena struktur tanah yang rapuh dan rawan longsor. Namun, hal tersebut tidak ditanggapi serius oleh warga dan karena desakan ekonomi yang memaksa mereka tetap melanjutkan pekerjaan sebagai pendulang emas.
“Teknik pendulangan emas secara tradisional (menggunakan wajan atau ayakan dan air) sebenarnya tidak berpengaruh cepat terhadap kerusakan tanah. Namun, banyak warga sudah menggunakan mesin pompa air untuk mempercepat proses pemisahan emas dari tanah sehingga aktivitas penggalian tanah pun lebih intens,” kata Markus, yang sudah menjabat sebagai Ketua RT 003 sejak 2017.
Sebuah Ironi
Saat menyempatkan diri untuk melihat langsung lokasi pendulangan emas, saya menjumpai ibu-ibu yang sedang beristirahat menikmati bekal makan siang sebelum melanjutkan kembali pekerjaan mereka. Setelah menyapa dan meminta izin, kami pun bercerita tentang keseharian mereka sebagai ibu rumah tangga yang mendukung pekerjaan suami mereka sebagai pendulang emas karena kebutuhan makan yang selalu kurang.

Di tengah kelelahan fisik dan gigitan nyamuk yang menghujani badan mereka selama bekerja, semuanya terbayar ketika ada sebutir emas yang berhasil mereka peroleh. Menurut mereka, hasil dari menjual emas belakangan ini hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan makan sehari sehingga mereka harus bekerja setiap hari dan mulai sejak pagi (biasanya pukul 08.00 sampai 16.00 WIT). Bahkan ketika tidak memperoleh hasil hingga sore hari, terkadang mereka terus bekerja hingga tengah malam sebelum akhirnya mengalah karena kelelahan fisik dan pulang tanpa membawa hasil.
Jalan menuju lokasi pendulangan emas pun tidaklah mudah. Struktur tanah yang rapuh mengharuskan para pendulang untuk selalu berhati-hati. Di kiri kanan jalan setapak terlihat tanah yang longsor, pepohonan yang tumbang dan beberapa rumah warga yang sudah tidak berpenghuni karena rusak. Di antara pemandangan suram itu, terdengar bunyi mesin penyemprot air yang tiada habisnya, diselingi suara candaan para pendulang emas tradisional yang menghibur diri di tengah kelelahan fisik di sore hari itu.
Tuntutan kehidupan di daerah perkotaan memang tidaklah mudah. Menurut BPS Kota Jayapura, persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan pada tahun 2024 adalah 10,72% dan menjadi penyumbang terbesar dari persentase di tingkat Provinsi Papua yaitu 17,26%. Kurangnya akses terhadap pendidikan, minimnya keterampilan kerja, hingga lapangan pekerjaan yang terbatas, ditambah arus urbanisasi dan transmigrasi yang terus meningkat di Kota Jayapura, menjadi tantangan tersendiri bagi pemerintah daerah dalam menyelesaikan permasalahan ketimpangan sosial yang ada.
Di sisi lain, dampak aktivitas penambangan emas terhadap kerusakan lingkungan hingga risiko bencana alam akan terus membayangi kehidupan warga Ardipura. Sungguh sebuah ironi: demi sesuap nasi untuk sehari, warga mengabaikan risiko keselamatan diri dan keamanan rumah yang dibangun dengan susah payah.
Editor: Abul Muamar

Berlangganan GNA Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.

Tiffany adalah Sarjana Biologi dari Universitas Cenderawasih, Jayapura. Ia berpengalaman di bidang konservasi selama tiga tahun dan memiliki semangat untuk mengangkat nilai-nilai kearifan lokal dalam pengelolaan sumber daya alam di Papua. Ia memiliki minat dalam riset, analisis data, dan menulis.