Pengalaman sebagai Jurnalis Lingkungan: dari Jalan Sunyi ke Harapan untuk Masa Depan Bumi
Dengan semakin tingginya kekhawatiran terhadap dampak perubahan iklim, minat kalangan jurnalis untuk berfokus pada isu lingkungan kini menjadi semakin tinggi. Namun, sekitar dua puluh tahun yang lalu, jurnalis yang meminati isu lingkungan belum banyak. Menjadi jurnalis lingkungan berarti menempuh jalan sunyi, dan saya adalah satu dari segelintir jurnalis yang menempuh jalan itu.
Sekitar tahun 2000, saya bekerja di sebuah media daring yang berada di bawah naungan sebuah Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Pimpinan saya berniat menerbitkan majalah pariwisata bulanan bernama Krakatau, tetapi juga mengangkat isu lingkungan dan budaya. Konsepnya merujuk pada National Geographic.
Di majalah tersebut, saya bertugas di desk lingkungan. Waktu itu, saya sadar bahwa jurnalis lingkungan bukan sekadar meliput, tetapi juga membutuhkan perangkat pengetahuan tambahan. Sebagai orang yang berlatar belakang pendidikan sejarah, saya mempelajari banyak hal baru dari nol saat itu.
Oleh pimpinan redaksi, saya dikirim mengikuti pelatihan yang digelar oleh Konsorsium Nasional untuk Pelestarian Hutan dan Alam (Konphalindo), lembaga nirlaba yang bergerak di bidang lingkungan hidup dan pembangunan berkelanjutan di Indonesia dengan fokus pada pelestarian hutan. Dari pelatihan itu, saya baru tahu bahwa aktivis lingkungan hidup bukan hanya paham soal pencemaran, tetapi juga mesti punya filosofi hidup.
Hira Jhamtani, salah seorang pimpinan Konphalindo pada waktu itu, mencontohkan bagaimana dia tidak mau memakai perangkat yang terbuat dari kayu pinus atau yang bertentangan dengan pelestarian hutan.
Saat pelatihan berlangsung, ada hal yang membuat saya bertanya-tanya, mengapa dari sekitar 20 peserta pelatihan, hanya ada dua yang berusia di atas 30 tahun waktu itu, yakni saya dan seorang lagi dari Suara Pembaruan. Selebihnya berasal dari media-media komunitas, dan ada pula yang mahasiswa.
Sayangnya, hasil pelatihan tersebut tidak teraplikasikan dengan optimal karena majalah Krakatau lebih berfokus pada isu wisata dan budaya. Aspirasi saya yang meluap untuk menulis soal lingkungan hidup baru tersalurkan justru ketika saya bekerja di media yang fokusnya jauh dari bidang itu.
Persoalan Lingkungan dalam Lingkup Kecil
Ada beberapa tulisan saya tentang isu lingkungan dalam lingkup kecil yang saya kira cukup berdampak. Beberapa di antaranya saya tulis ketika menjadi jurnalis di Info Kelapa Gading sekitar 2000-an awal. Waktu itu saya menulis soal teror ulat yang membuat warga Kelapa Gading panik. Ulat-ulat ini merupakan larva kumbang yang berkembang biak pesat karena pemangsanya berkurang, Pemangsanya adalah burung-burung yang menghilang karena ruang terbuka hijau merosot akibat pesatnya pembangunan komersial.
Selain itu, saya juga menulis tentang Retno Listyarti sewaktu masih menjadi guru di SMAN 13 Jakarta yang mengajarkan murid-muridnya untuk memanfaatkan sampah kemasan kopi dan deterjen sachet menjadi jas hujan, serta membuat kebun dengan lahan terbatas. Menurut saya, SMAN 13 Jakarta termasuk salah satu sekolah perintis gerakan pemilahan sampah, jauh sebelum kampanye pemilahan sampah menjadi tren di sejumlah kota. Berapa tahun belakangan, Retno dikenal karena aktivitasnya di KPAI serta sebagai pemerhati pendidikan anak.
Jadi, saya ingin mengatakan menulis soal lingkungan tidak harus dalam skala luas (nasional atau global). Dalam skala kecamatan pun terdapat masalah lingkungan yang serius.
Komitmen sebagai Jurnalis Lingkungan
Sejak pertengahan tahun 2022, saya memutuskan untuk tetap konsisten menulis tentang isu lingkungan. Saya memahami bahwa jurnalis lingkungan tidaklah netral, melainkan memihak mengikuti panggilan hati.
Saya menulis bukan saja soal isu lingkungan yang negatif seperti pencemaran, pelanggaran lingkungan, perubahan iklim, kepunahan spesies flora/fauna hingga degradasi lingkungan, tetapi juga mengungkapkan hal-hal positif semisal inisiatif komunitas akar rumput untuk mengatasi masalah lingkungan, energi terbarukan dan daur ulang sampah plastik menjadi produk ramah lingkungan.
Selama rentang waktu tersebut, saya menyadari bahwa jurnalis mesti berkontribusi dalam mewujudkan kesetaraan spesies–bahwa seluruh spesies memiliki hak ruang hidup. Jurnalis lingkungan harus menulis dari hati, dan berpihak pada Bumi dan masa depan manusia.
Saat ini, isu lingkungan menjadi bidang yang paling berat bagi jurnalis menurut saya. Namun, dengan menyelaminya, pengetahuan kita akan terus bertambah dan hal itu akan membuat kita semakin menghargai kehidupan setiap makhluk. Kepada teman-teman jurnalis muda yang berfokus pada isu lingkungan, percayalah bahwa apa yang Anda tulis bermanfaat bagi seluruh umat manusia dan makhluk hidup di Bumi.
Sebagai jurnalis lingkungan, saya pun berupaya untuk menerapkan pengetahuan yang saya bagikan lewat tulisan-tulisan saya, seperti tidak menyisakan makanan, membawa tumbler minuman saat bepergian, dan memilah sampah rumah tangga. Saya, dan semua jurnalis lingkungan di mana pun berada, punya harapan dan kesempatan untuk menjaga masa depan Bumi dan mencegah kerusakan lebih lanjut.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Irvan Sjafari adalah jurnalis yang menaruh minat pada isu lingkungan, pariwisata, dan budaya. Ia adalah alumnus Program Studi Sejarah Universitas Indonesia. Di waktu senggang, ia melakukan solo hiking, membaca di perpustakaan, dan menonton film. Saat ini sedang melakukan riset terkait dampak perubahan iklim pada perkebunan apel di Kota Batu, Jawa Timur.