Ekonomi Restoratif: Jalan Tengah Pertumbuhan Ekonomi dan Kelestarian Lingkungan
Kerusakan lingkungan yang terjadi saat ini menjadi bukti bahwa jika pertumbuhan ekonomi terus berlanjut dengan kegiatan destruktif dan ekstraktif, Bumi akan semakin tidak layak huni dalam beberapa tahun mendatang. Kenyataan ini disertai dengan kesadaran bahwa model ekonomi saat ini harus diubah, dan kerusakan alam harus diperbaiki dan dipulihkan. Pemahaman ini menjadi fondasi awal munculnya pendekatan ekonomi restoratif.
Dampak Business as Usual
Sistem ekonomi saat ini menilai pertumbuhan ekonomi melalui peningkatan Produk Domestik Bruto (PDB) dari tahun ke tahun. Akan tetapi, pendekatan ini sudah tidak lagi relevan karena dua alasan krusial.
Pertama, PDB tidak mencerminkan kesejahteraan masyarakat dan distribusi pendapatan. Artinya, meski PDB tumbuh, namun jika hanya segelintir orang yang memperoleh manfaat, ketimpangan justru akan semakin melebar. Kedua, pengukuran PDB tidak lagi selaras dengan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan yang hanya mengutamakan output (luaran) ekonomi dan tidak memperhitungkan pelestarian lingkungan. Alhasil, kegiatan ekonomi yang dijalankan meninggalkan luka pada alam dan lingkungan meski membawa manfaat bagi manusia.
Data menunjukkan bahwa dunia telah kehilangan 178 juta hektare hutan akibat eksploitasi besar-besaran sejak tahun 1990. Yang lebih memprihatinkan, pada tahun 2022, lebih dari 2,3 miliar orang menghadapi kelangkaan air, termasuk 160 juta anak-anak yang mengalami kekeringan ekstrem. Sementara itu, kegiatan pertambangan global menghasilkan antara 1,9 hingga 5,1 gigaton emisi karbon setiap tahunnya.
Sayangnya, Bank Dunia menyatakan bahwa “tidak ada negara yang beralih ke status berpendapatan tinggi sekaligus mengurangi emisi mereka”. Hal ini menyiratkan bahwa pertumbuhan ekonomi sering kali bertentangan dengan keberlanjutan, padahal keduanya penting bagi eksistensi manusia.
Beralih ke Ekonomi Restoratif
Kenyataan ini telah mengarahkan para ekonom abad ke-21 pada pendekatan ekonomi restoratif. Salah satu tokoh yang mempopulerkan gagasan restorasi dalam bidang ekonomi dan bisnis adalah Paul Hawken pada tahun 1993 melalui bukunya “The Ecology of Commerce”. Hawken mendefinisikan restorasi sebagai upaya untuk mengembalikan sesuatu, dalam hal ini alam, menjadi lebih baik. Ia berpendapat bahwa praktik bisnis harus ikut bertanggung jawab terhadap kerusakan alam yang dihasilkan.
Gagasan ini memengaruhi perkembangan konsep Ekonomi Donat, yang diperkenalkan oleh ekonom Oxford Kate Raworth pada tahun 2012. Salah satu prinsip utama dari konsep ini adalah peralihan fokus dari pertumbuhan PDB tanpa henti menjadi memprioritaskan kebutuhan setiap orang sekaligus tetap berada dalam batas-batas alami bumi.
Di Indonesia, Center of Economic and Law Studies (CELIOS) mendasarkan konsep ekonomi restoratif pada tiga aspek inti: (1) orientasi pada pemulihan alam, dengan memulihkan ekosistem dan memperbaiki kondisi, (2) pengarusutamaan aksi kolektif, dengan penekanan pada komunitas lokal mengelola sumber daya secara bertanggung jawab, dan (3) transformasi hubungan manusia dengan alam untuk mengentaskan kemiskinan, kesenjangan, dan menjamin perdamaian dan keamanan.
Secara keseluruhan, ekonomi restoratif pada dasarnya merupakan antitesis dari pertumbuhan ekonomi yang hanya mementingkan peningkatan PDB tanpa mempertimbangkan dampak seluruhnya terhadap keberlanjutan lingkungan dan sosial. Namun sampai saat ini, pengertian dan dasar utama ekonomi restoratif secara teoretis masih menjadi perdebatan hangat di kalangan para akademisi.
Potensi Manfaat
Sebagai sebuah pendekatan baru, ekonomi restoratif sesungguhnya bukan inisiatif atau jargon keberlanjutan belaka. Penelitian menunjukkan bahwa program pemulihan dan perlindungan lingkungan dapat memberikan timbal balik finansial dan sosial dalam jangka panjang.
Sebagai contoh, Cambridge Econometrics memperkirakan untuk setiap Rp20.000 yang dihabiskan untuk penghijauan, rata-rata Rp57.000 akan kembali dalam bentuk manfaat ekonomis dan sosial. Upaya ini juga dapat membawa manfaat lain, seperti meningkatkan kualitas air, mencegah banjir, hingga meningkatkan keanekaragaman hayati.
Upaya restorasi juga menawarkan pengembalian investasi yang menjanjikan. Studi Cambridge tersebut melaporkan bahwa setiap 100 hektare lahan yang kembali ditanami pohon dapat menghasilkan sekitar £1,2 juta atau setara Rp24,5 miliar. Upaya ini diprediksi juga dapat menciptakan sekitar 25 juta lapangan kerja sementara yang bermanfaat bagi masyarakat.
Menuju Implementasi
Sayangnya, Indonesia belum mengenal nomenklatur ekonomi restoratif dalam kerangka kebijakan maupun fiskal. Inisiatif ini sering kali hanya diakomodasi dengan pendanaan yang minim dan pendekatan yang tidak komprehensif. Sebagai contoh, rancangan anggaran belanja Indonesia pada tahun 2025 hanya mengalokasikan Rp11,33 triliun atau tidak sampai 0,5% dari total anggaran untuk perlindungan lingkungan hidup. Hal ini mempertegas lemahnya komitmen pemerintah Indonesia terhadap keberlanjutan alam dan lingkungan.
Namun, ada perkembangan positif. Indonesia telah memasukkan pendekatan ekonomi biru dan bioekonomi, yang memiliki tujuan serupa dengan ekonomi restoratif, dalam Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional 2025-2045. Berdasarkan RPJPN, Maluku Utara ditetapkan sebagai pusat perikanan berkelanjutan. Langkah ini merupakan awal yang patut dihargai, menandakan peralihan menuju strategi ekonomi yang lebih sadar lingkungan.
Intinya, apabila tetap berpedoman pada PDB sebagai ukuran pertumbuhan ekonomi, pemerintah harus melakukannya dengan dengan cara-cara yang bertanggung jawab terhadap lingkungan dan sosial. Ekonomi restoratif dapat mencapai keseimbangan ini, namun keberhasilannya bergantung pada komitmen pemerintah terhadap implementasi yang lebih luas dan terukur serta kerja sama kolaboratif seluruh pemangku kepentingan yang terlibat.
Editor: Nazalea Kusuma
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia
Publikasikan thought leadership dan wawasan Anda bersama Green Network Asia, pelajari Panduan Artikel Opini kami
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Hanif adalah peneliti di Center of Economic and Law Studies (CELIOS), yang berfokus pada interaksi antara kebijakan publik, masalah energi-iklim, dan dinamika ekonomi.