Eksploitasi Pekerja dan Kecelakaan Mematikan: Alarm Bahaya di Tengah Ambisi Hilirisasi Nikel

Ilustrasi: Irhan Prabasukma.
Sebagai pemilik cadangan nikel terbesar di dunia, Indonesia memegang peran strategis dalam transisi energi global, khususnya dalam penyediaan nikel sebagai komponen utama baterai kendaraan listrik (EV). Namun, ambisi Indonesia untuk menjadi pemimpin dalam rantai pasok nikel diliputi oleh pelanggaran hak-hak pekerja. Maraknya eksploitasi pekerja dan kecelakaan kerja membuat transisi hijau menjadi merah.
Kecelakaan Kerja yang Berulang
Salah satu kawasan industri nikel terbesar di Indonesia adalah Indonesia Morowali Industrial Park (IMIP), yang berada di Sulawesi Tengah. Kawasan ini menaungi lebih dari 50 perusahaan penyewa. Perusahaan-perusahaan tersebut terlibat dalam operasi yang berkaitan dengan fasilitas pemrosesan, seperti pabrik nikel, pabrik baja, pabrik ferokrom, pabrik ferosilikon, dan pabrik kokas. Saat ini, lebih dari 80.000 karyawan bekerja di kawasan IMIP.
Yang memprihatinkan, telah sering terjadi kecelakaan kerja mematikan di IMIP sejak beroperasi pada tahun 2015. Hingga tahun 2022, terjadi 18 kecelakaan kerja yang mengakibatkan 15 orang meninggal dunia dan 41 orang luka-luka. Kemudian pada tahun 2023, terjadi 10 insiden yang menewaskan 36 pekerja dan membuat 47 pekerja terluka, termasuk ledakan di tungku peleburan perusahaan baja tahan karat yang menewaskan 21 orang. Jumlah tersebut meningkat pada tahun berikutnya, dengan 18 kecelakaan kerja pada tahun 2024 saja.
Bentuk kecelakaan yang terjadi beragam, mulai dari alat berat yang jatuh menimpa pekerja hingga ledakan dan tanah longsor yang melibatkan limbah berbahaya. Meski kenyataan tersebut suram, belum ada perbaikan signifikan dalam tata kelola untuk mengatasi masalah ini. Rangkaian kecelakaan kerja yang fatal di kawasan IMIP terus terjadi pada tahun 2025.
Eksploitasi Pekerja dan Pelanggaran Hak Pekerja Lainnya
Selain kecelakaan kerja, pekerja di IMIP juga menghadapi berbagai masalah lain yang menunjukkan kurangnya tata kelola yang tepat dan memenuhi standar internasional. Salah satu masalah yang paling mencolok adalah tentang kesehatan pekerja. Pekerja IMIP menghadapi risiko kesehatan akibat paparan bahan kimia berbahaya seperti nikel, batu bara, sulfur, dan asbes. Parahnya, meski telah beroperasi selama 10 tahun, IMIP belum mencatat adanya kasus Penyakit Akibat Kerja—yang mana hal ini sangat tidak mungkin terjadi.
Masalah penting lainnya adalah tentang jam kerja yang panjang yang melampaui batas aman yang direkomendasikan oleh ILO dan WHO. Untuk mendapatkan upah yang layak, pekerja IMIP harus bekerja dalam banyak shift dan lembur. Beberapa pola kerja yang umum meliputi: 12 jam sehari, 2 shift, tiga tim dengan total 60 jam per minggu; 8 jam sehari, 3 shift, tiga tim dengan total 52 jam per minggu; dan 8 jam sehari tanpa shift dengan total 48 jam per minggu. Jam kerja yang panjang ini menyebabkan kelelahan kronis, stres, dan peningkatan risiko kecelakaan kerja.
Tidak mengherankan, eksploitasi tenaga kerja pun berjalan seiring dengan upah yang tidak layak. Pekerja dengan jadwal tetap hanya menerima upah lembur dari lembur wajib, yaitu satu jam tambahan per hari sehingga mereka dapat memperoleh penghasilan bulanan sekitar Rp 3,8 juta hingga 7 juta. Meskipun demikian, para pekerja mengeluhkan upah yang rendah karena tingginya biaya hidup di Morowali, termasuk biaya kebutuhan pokok, sewa rumah, dan bahan bakar untuk sepeda motor, karena sebagian besar pekerja menggunakan sepeda motor untuk bepergian.
Pekerja Perempuan dan Migran
Lebih lanjut, 6.481 pekerja perempuan di IMIP menghadapi risiko kekerasan berbasis gender yang tak kunjung teratasi. Masalah ini muncul karena kurangnya fasilitas seperti bus terpisah dan ruang tunggu yang mengutamakan keselamatan dan kenyamanan perempuan. Selain itu, tindakan pencegahan lain juga kurang, seperti kampanye antipelecehan di tempat kerja. Pekerja perempuan juga kesulitan untuk mendapatkan cuti menstruasi dan diharuskan bekerja shift malam bersama laki-laki.
Selain itu, masalah ketenagakerjaan di IMIP juga melibatkan pekerja migran. Sebuah laporan oleh China Labor Watch mengungkapkan bahwa pekerja asal Tiongkok sering mengalami pemotongan upah yang tidak transparan, kerja paksa, dan kondisi kerja yang berbahaya yang mengancam keselamatan mereka. Beberapa perusahaan yang bergerak dalam pengolahan nikel tidak stabil secara finansial, yang menyebabkan keterlambatan pembayaran upah dan menciptakan kondisi kehidupan yang buruk di asrama pekerja. Hal ini menunjukkan bahwa eksploitasi pekerja bersifat sistemik, terlepas dari asal pekerja.
Unjuk Rasa Buruh Menentang Eksploitasi Tenaga Kerja
Persoalan-persoalan tersebut, khususnya yang berkaitan dengan eksploitasi pekerja dan kecelakaan kerja, menekankan bahwa belum adanya tata kelola yang baik menurut standar internasional, khususnya terkait keselamatan dan kesehatan kerja, serta penghormatan terhadap hak-hak pekerja.
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengomunikasikan perlunya perubahan kepada manajemen IMIP melalui berbagai saluran, termasuk demonstrasi. Pada awal Maret 2025, terjadi kerusuhan dan penjarahan di IMIP akibat kebijakan transportasi perusahaan yang memberatkan pekerja. Kerusuhan tersebut mengakibatkan kerugian material yang signifikan bagi IMIP, dengan beberapa fasilitas industri rusak, kendaraan perusahaan dibakar, dan aset dijarah, sementara kegiatan produksi dihentikan sementara.
Lalu apakah kejadian ini dapat menjadi momentum untuk mereformasi tata kelola industri nikel untuk memastikan keadilan dan meningkatkan kesejahteraan semua pihak yang terlibat?
Mewujudkan Tata Kelola yang Adil dalam Industri Mineral Kritis
Pemerintah perlu menyeimbangkan ambisi hilirisasi nikel dengan kebijakan yang menjamin keadilan sosial, perlindungan lingkungan, dan hak-hak pekerja. Pemerintah harus memperketat regulasi dan pengawasan terhadap industri nikel, memastikan bahwa manfaat ekonomi dari penambangan dan pengolahan nikel didistribusikan secara merata.
Pada saat yang sama, perusahaan-perusahaan di kawasan IMIP harus meningkatkan kesejahteraan pekerja dengan menciptakan kondisi kerja yang aman dan sehat, dengan tujuan mencapai nol kecelakaan. Mereka harus memprioritaskan hak-hak pekerja, termasuk distribusi upah layak yang adil bagi pekerja lokal dan asing serta perlindungan bagi pekerja perempuan.
Selain itu, perusahaan harus membangun mekanisme pengaduan dalam operasi mereka. Hal ini perlu segera dilaksanakan karena tingginya frekuensi kecelakaan kerja, pelanggaran hak-hak pekerja, dan dampak sosial dan lingkungan lainnya. Sistem ini akan memungkinkan pekerja untuk menyuarakan keluhan secara efektif tanpa mengkhawatirkan pembalasan.
Transparansi dan akuntabilitas dalam operasi dan mekanisme pengaduan sangat penting, karena hal ini akan memungkinkan publik, pekerja, dan pemangku kepentingan lainnya untuk memantau dan mengevaluasi dampak dan bagaimana dampak tersebut ditangani.
Tanpa langkah konkret untuk memperbaiki tata kelola industri mineral kritis, akan muncul paradoks transisi energi, di mana produksi mineral untuk teknologi hijau mengakibatkan penderitaan sosial dan eksploitasi tenaga kerja. Saatnya memastikan bahwa transisi energi tidak hanya bersih dalam teknologi tetapi juga adil bagi pekerja dan masyarakat sekitar.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia

Terima kasih telah membaca!
Berlangganan Green Network Asia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia. Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional dengan pembaruan seputar kebijakan publik & regulasi, ringkasan hasil temuan riset & laporan yang mudah dipahami, dan cerita dampak dari berbagai organisasi di pemerintahan, bisnis, dan masyarakat sipil.

Lubendik saat ini adalah dosen di Departemen Hubungan Internasional Universitas Kristen Indonesia. Ia juga peneliti kebijakan energi dan lingkungan di Action for Ecology and People’s Emancipation (AEER), sebuah NGO advokasi penelitian yang berpusat di Jakarta.