Menakar Dampak Pendanaan Danantara untuk Proyek Hilirisasi Batubara dan DME

Pada Februari 2025, Presiden Prabowo Subianto meluncurkan Badan Pengelola Investasi (BPI) Daya Anagata Nusantara (Danantara). Dalam peluncuran tersebut, Prabowo mengungkapkan bahwa investasi Danantara senilai USD 20 miliar akan dialokasikan untuk puluhan proyek strategis nasional, salah satunya untuk pengembangan energi terbarukan. Hal ini membawa harapan tentatif bagi percepatan transisi hijau di Indonesia. Namun, harapan itu sirna seiring dengan semakin jelasnya langkah yang diambil pemerintah.
Dalam rapat terbatas dengan Satuan Tugas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional di Istana Merdeka awal Maret 2025, Presiden Prabowo memberikan instruksi untuk memulai kembali proyek gasifikasi batubara menjadi dimetil eter (DME)—dengan menggunakan modal Danantara.
Pendanaan Danantara untuk Hilirisasi Batubara: Solusi Palsu Transisi Energi
Rencana pendanaan Danantara untuk proyek DME sangat kontroversial karena beberapa alasan. Salah satunya karena produknya memiliki kendala ekonomi. Perusahaan Amerika Serikat (AS) telah menarik diri dari proyek DME di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, karena biaya investasi awal yang tinggi.
Alasan lainnya adalah dari segi ekologi. Gasifikasi batubara masih menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) yang mencemari atmosfer. Sebuah studi yang diterbitkan oleh organisasi lingkungan Action for Ecology & People’s Emancipation (AEER) mengungkapkan bahwa proyek DME akan menghasilkan emisi GRK lima kali lebih besar daripada gas minyak cair (LPG). Emisi tersebut berasal dari proses ekstraksi batubara sebagai bahan baku maupun hilir dari proses produksi DME.
Menurut perhitungan AEER, proyek DME dengan kapasitas 1,4 juta ton per tahun akan membutuhkan sekitar 6 juta ton batubara. Proses tersebut akan menghasilkan setara dengan 4,26 juta ton emisi CO2 per tahun. Singkatnya, pendanaan proyek DME merupakan jawaban palsu atas mimpi transisi energi Indonesia.
Dampak Lain Proyek Danantara dan DME Selain Emisi
Dengan pendanaan dari Danantara, pemerintah Indonesia berencana memulai kembali proyek gasifikasi batubara di tiga lokasi di Sumatera dan Kalimantan. Namun, hasil pemantauan Jaringan Advokasi Tambang (JATAM) Kalimantan Timur terhadap proyek gasifikasi batubara yang dilakukan di Kutai, Kalimantan Timur, mengkhawatirkan. Seperti yang dijelaskan oleh Kepala Divisi Kampanye JATAM Fachri Aziz dalam diskusi tentang Gasifikasi Batubara Bawah Tanah (Underground Coal Gasification/UCG), proyek tersebut telah memperparah polusi udara, mengurangi luas hutan, dan membuat masyarakat sekitar terusir.
Situasi serupa terjadi di Australia. Gasifikasi Batubara Bawah Tanah di Queensland menyebabkan polusi yang mengerikan. Sekitar 300 kilometer persegi lahan terkontaminasi oleh zat berbahaya yang bocor dari proses UCG. Kerusakan yang sangat parah membuat pemerintah negara bagian Queensland akhirnya melarang UCG.
Produsen dan Eksportir Batubara
Lantas, mengapa pemerintah menggunakan Danantara untuk mengabaikan isu lingkungan dan iklim? Jawabannya kemungkinan besar karena Indonesia merupakan produsen batubara. Menurut data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Indonesia memiliki cadangan batubara yang sangat besar, diperkirakan mencapai 91 miliar ton. Jika laju produksinya sekitar 200-300 juta ton per tahun, maka umur tambangnya bisa mencapai 100 tahun.
Tidak hanya sebagai produsen, Indonesia juga merupakan eksportir batubara. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mengungkapkan, ekspor batu bara Indonesia pada tahun 2022 saja mencapai 360 juta ton.
Dengan demikian, pemerintah tentu akan berdalih bahwa cadangan batubara Indonesia dan nilai ekspornya yang besar akan mendatangkan uang bagi negara. Pemerintah tampak begitu tergila-gila dengan keuntungan ekonomi jangka pendek sehingga melupakan dampak negatif lingkungan jangka panjang.
Menyelamatkan Industri Batubara yang Kotor
Pendanaan Danantara untuk hilirisasi batubara bukanlah upaya pertama pemerintah menyelamatkan industri batubara. Sebelumnya, pemerintah menyalurkan konsesi pertambangan batubara kepada ormas-ormas Islam dengan alasan pemerataan ekonomi. Namun, banyak pihak yang berspekulasi bahwa tujuan sebenarnya adalah untuk melindungi industri batubara dari kritik publik seiring meningkatnya kesadaran masyarakat tentang daya rusak batubara terhadap alam.
Keraguan terhadap komitmen pemerintah dalam transisi hijau terus meningkat jika menilik rekam jejak Presiden Prabowo yang relatif dekat dengan industri pertambangan batubara. Menurut JATAM, ia pernah menjadi pemegang saham sejumlah perusahaan batubara. Kemudian, pada Pilpres 2024, Prabowo mendapat dukungan dari salah satu petinggi perusahaan batubara terbesar di tanah air. Jajaran tim suksesnya pun meliputi mantan pengusaha migas dan batubara legendaris di Indonesia.
Saatnya Bersuara
Pada KTT Iklim (COP26) di Glasgow tahun 2021, 190 negara dan organisasi sepakat untuk menghentikan penggunaan batu bara. Greenpeace melaporkan bahwa pada tahun 2017, lebih dari seperempat perusahaan yang awalnya memiliki atau mengembangkan pembangkit listrik tenaga batubara telah sepenuhnya meninggalkan bisnis pembangkit listrik tenaga batubara. Semakin banyak pembangkit listrik tenaga batubara yang tutup, seiring dengan penghentian penggunaan batubara secara global.
Dengan demikian, rencana pendanaan Danantara untuk proyek DME menunjukkan tidak adanya visi ekonomi hijau dalam lembaga tersebut.
Publik—termasuk ilmuwan, pakar, praktisi, aktivis, mahasiswa, dan advokat keberlanjutan—harus bersuara untuk mencegah Danantara mendanai hilirisasi batubara. Kita tidak bisa menaruh harapan pada DPR yang seolah-olah menjadi “yes man” bagi Presiden seperti pada masa Orde Baru. Kini saatnya untuk bersuara. Jika publik bungkam, maka kesejahteraan lingkungan dan keselamatan mayoritas warga negara akan dikorbankan demi kepentingan segelintir orang super kaya, yang kebetulan dekat atau berada di pusat kekuasaan politik di Indonesia.
Editor: Nazalea Kusuma
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia

Terima kasih telah membaca!
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia. Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional sekaligus mendukung keberlanjutan finansial Green Network Asia untuk terus memproduksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.

Firdaus adalah pendiri Indonesia Climate Justice Literacy, sebuah organisasi yang mempromosikan wacana keadilan iklim di Indonesia, dan juga penasihat dewan organisasi pemuda Climate Rangers Indonesia. Ia aktif menulis seputar isu lingkungan di sejumlah media.