Sarjana Berlimpah, Cari Kerja Susah: Mengulik Isu Pengangguran Sarjana di Negara Berkembang

Foto: Joshua Hoehne di Unsplash.
Jumlah pemuda yang menyelesaikan pendidikan tinggi meningkat pesat, menandakan kemajuan dalam akses pendidikan. Namun, meraih gelar pendidikan tinggi ternyata bukan lagi jaminan untuk memperoleh pekerjaan. Di negara-negara berkembang, banyak lulusan pendidikan tinggi yang kesulitan memperoleh pekerjaan yang sesuai dengan kualifikasi mereka, karena pasar tenaga kerja menawarkan peluang yang sangat terbatas di tengah meningkatnya jumlah pencari kerja terdidik. Meningkatnya pengangguran sarjana memunculkan pertanyaan tentang nilai sebenarnya dari pendidikan tinggi.
Pengangguran Sarjana di Negara Berkembang
Pengangguran sarjana (merujuk pada lulusan pendidikan tinggi seperti D4, S1, S2, dan S3) telah menjadi isu yang terus mencuat di banyak negara berkembang. Isu ini diperparah dengan semakin banyaknya lulusan pendidikan tinggi yang memasuki pasar tenaga kerja yang tidak terserap oleh terbatasnya lowongan kerja. Di Indonesia, BPS mencatat sebanyak 842.378 pengangguran lulusan universitas dan 170.527 pengangguran lulusan akademi/diploma—angka ini meningkat dua kali lipat selama satu dekade terakhir. Di Afrika Selatan, tingkat pengangguran sarjana meningkat dari 8,7% pada tahun 2024 menjadi 11,7% pada kuartal pertama tahun 2025, yang menyoroti meningkatnya kekhawatiran tentang kesenjangan antara pendidikan dan kebutuhan pasar tenaga kerja.
Bahkan Tiongkok, dengan jumlah lulusan terbanyak sepanjang sejarah, menghadapi pengangguran di kalangan muda, dengan hampir 21% penduduk berusia 16 hingga 24 tahun menganggur pada tahun 2023. Semua ini menunjukkan tantangan nyata bagi lulusan sarjana yang memasuki pasar kerja yang sangat kompetitif.
Menilik Akar Penyebab
Ada beragam faktor yang menyebabkan peningkatan pengangguran sarjana di negara-negara berkembang. Dua di antaranya yang paling menonjol adalah sistem pendidikan dan pasar tenaga kerja.
Penelitian menyoroti bahwa sistem pendidikan di negara-negara berkembang seringkali gagal membekali kaum muda dengan keterampilan yang dibutuhkan oleh pemberi kerja, sehingga mengakibatkan ketidaksesuaian keterampilan yang mencolok. Selain itu, kurangnya akses terhadap pendidikan berkualitas, kurikulum yang ketinggalan zaman, dan hambatan gender membatasi kemampuan sarjana untuk bersaing di pasar tenaga kerja yang berkembang pesat dan membutuhkan keahlian teknis dan vokasional. Kesenjangan ini terus membuat banyak orang bergelar kurang siap untuk bekerja, sehingga memperburuk krisis pengangguran sarjana.
Pada saat yang sama, hambatan ekonomi dan struktural semakin memperparah keadaan. Pertumbuhan ekonomi yang lambat dan ekspansi sektor formal yang tidak memadai di banyak negara berkembang telah membatasi penciptaan lapangan kerja berkualitas yang sesuai dengan keterampilan sarjana. Peraturan pasar tenaga kerja yang kaku dan tata kelola yang lemah juga menyebabkan terbatasnya peluang untuk pekerjaan layak, terutama bagi kaum muda. Tanpa reformasi terkoordinasi dalam sistem pendidikan dan pasar tenaga kerja, kesenjangan berlarut-larut antara jumlah lulusan sarjana dengan lapangan kerja yang tersedia akan terus berlanjut.
Konsekuensi Serius
Meningkatnya pengangguran di kalangan kaum muda, terutama di kalangan lulusan pendidikan tinggi, membawa konsekuensi ekonomi dan sosial yang serius bagi individu dan masyarakat secara keseluruhan. Secara ekonomi, kurangnya pemanfaatan talenta muda menyebabkan penurunan produktivitas yang signifikan, yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi nasional. Misalnya, Afrika Selatan, dengan tingkat pengangguran di kalangan kaum muda melampaui 11,7%, menghadapi potensi ekonomi yang berkurang.
Secara sosial, pengangguran berkepanjangan di kalangan kaum muda dapat meningkatkan kemiskinan, menyebabkan masalah kesehatan mental, dan memicu keresahan sosial, dan gelombang protes mencuat di berbagai negara karena kurangnya peluang bagi kaum muda. Untuk menyambung hidup, banyak orang terpaksa menempuh pekerjaan informal berbasis gig, dengan upah minimum, jam kerja yang panjang, dan minim peraturan serta mekanisme perlindungan.
Selain itu, dalam skala besar, dampaknya terhadap masyarakat mencakup fenomena “brain drain“, di mana orang-orang terampil memilih “kabur” ke luar negeri untuk mencari peluang yang lebih baik, yang mengakibatkan hilangnya talenta di negara asal. Migrasi ini dapat melemahkan upaya membangun ekonomi lokal yang kuat dan memperburuk ketimpangan antarnegara. Secara keseluruhan, pengangguran sarjana dapat mengancam stabilitas sosial dan kemajuan ekonomi saat ini dan di masa depan di negara-negara berkembang.
Penyelarasan & Upaya Kolaboratif yang Lebih Baik
Untuk mengatasi pengangguran sarjana secara efektif di negara-negara berkembang, diperlukan perubahan sistemik dalam kebijakan pendidikan dan pasar tenaga kerja. Sistem pendidikan harus menyeimbangkan kurikulum tradisional dan berbasis teori dengan pelatihan yang lebih praktis dan berbasis keterampilan yang selaras dengan tuntutan pasar. Selain itu, kolaborasi yang lebih kuat antara lembaga pendidikan dan industri sangat penting untuk memastikan kurikulum tetap relevan dan lulusan lebih siap untuk bekerja di dunia nyata. Hal ini sangat penting karena dunia saat ini membutuhkan sistem pendidikan dan dunia kerja yang mendukung peralihan menuju praktik berkelanjutan bagi manusia dan planet Bumi.
Di sisi pasar tenaga kerja, menciptakan lingkungan yang kondusif untuk merangsang pertumbuhan sektor formal sangatlah penting. Pemerintah harus mereformasi peraturan ketenagakerjaan untuk mendorong kewirausahaan dan investasi swasta, terutama di sektor-sektor yang dapat menyerap kaum muda terdidik. Meningkatkan akses terhadap informasi pasar tenaga kerja yang akurat dan panduan karier dapat membantu para sarjana membuat keputusan yang tepat dan mengurangi ketidaksesuaian. Terakhir, kemitraan multi-pemangku kepentingan yang melibatkan pemerintah, lembaga pendidikan, sektor swasta, dan kaum muda itu sendiri merupakan kunci untuk mengembangkan strategi ketenagakerjaan yang komprehensif yang mendorong pertumbuhan lapangan kerja yang inklusif dan berkelanjutan bagi para sarjana.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.

Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan Langganan GNA Indonesia.
Jika konten ini bermanfaat, harap pertimbangkan Langganan GNA Indonesia untuk mendapatkan akses eksklusif ke wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia. Langganan Anda juga akan mendukung kapasitas finansial Green Network Asia untuk terus menerbitkan konten yang didedikasikan untuk pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder.
Pilih Paket Langganan Anda