Pendapat Hukum Mahkamah Internasional terkait Perubahan Iklim: Bermula dari Inisiatif Kaum Muda

Foto: Matthew TenBruggencate di Unsplash.
Krisis iklim yang semakin parah, yang didorong oleh emisi karbon yang terus meningkat, telah menimbulkan pertanyaan tentang tanggung jawab negara-negara dalam melindungi lingkungan. Pada Juli 2025, Mahkamah Internasional mengeluarkan pendapat hukum tentang kewajiban negara untuk mengatasi perubahan iklim.
Bermula dari Inisiatif Kaum Muda
Dampak perubahan iklim dirasakan di seluruh dunia; namun, beberapa negara terdampak lebih parah. Negara-negara Berkembang Pulau Kecil (SIDS), misalnya, telah mengalami kenaikan permukaan air laut ekstrem, dengan kenaikan antara 5–15 cm pada tahun 2023. Sebuah laporan dari Organisasi Meteorologi Dunia menyatakan bahwa 34 peristiwa bencana dilaporkan sepanjang tahun 2023, yang berdampak pada lebih dari 25 juta orang di kepulauan Pasifik.
Kondisi yang mengerikan ini membutuhkan dukungan dunia untuk ketahanan iklim, terutama di negara-negara berkembang dan SIDS seperti Negara-negara Kepulauan Pasifik. Pada tahun 2019, sebuah organisasi yang dipimpin oleh kaum muda bernama Pacific Island Students Fighting Climate Change memulai kampanye untuk membujuk para pemimpin Negara-negara Kepulauan Pasifik agar membawa masalah ini ke Mahkamah Internasional.
Inisiatif ini mendapat dukungan dari negara-negara Kepulauan Pasifik lainnya dan meraih pengakuan internasional pada tahun 2021, ketika Negara Kepulauan Pasifik, Vanuatu, membawa inisiatif tersebut ke Majelis Umum PBB (UNGA). Dua tahun kemudian, permintaan tersebut diformalkan dalam resolusi yang diadopsi oleh UNGA, yang menyerukan kepada Mahkamah Internasional agar mengeluarkan pendapat hukum tentang kewajiban negara menyangkut perubahan iklim.
Pendapat Hukum Mahkamah Internasional tentang Perubahan Iklim
Pada Juli 2025, Mahkamah Internasional akhirnya mengeluarkan pendapat hukum untuk menjawab dua pertanyaan: (1) Apa kewajiban Negara berdasarkan hukum internasional untuk menjamin perlindungan lingkungan? dan (2) Apa konsekuensi hukum bagi Negara berdasarkan kewajiban ini ketika mereka menyebabkan kerusakan lingkungan?
Dokumen tersebut menyatakan bahwa negara-negara yang telah menandatangani perjanjian perubahan iklim memiliki kewajiban yang mengikat untuk menjamin perlindungan lingkungan dari emisi gas rumah kaca yang dihasilkan oleh aktivitas manusia. Ini termasuk Konvensi Keanekaragaman Hayati, Protokol Kyoto, Perjanjian Paris, dan perjanjian-perjanjian lain yang diakui secara internasional. Mereka memiliki kewajiban untuk melakukan uji tuntas dan memanfaatkan semua cara yang ada untuk mencegah kerusakan lingkungan yang signifikan, termasuk bekerja sama dengan negara lain dengan itikad baik.
Pelanggaran terhadap kewajiban apa pun akan dianggap sebagai tindakan yang salah secara internasional dan akan mengakibatkan pemerintah negara bertanggung jawab untuk menghentikan tindakan yang salah, memastikan tindakan tersebut tidak terulang, dan memberikan ganti rugi penuh kepada negara-negara yang dirugikan. Meskipun tidak mengikat secara hukum, dokumen tersebut memiliki otoritas hukum dan moral yang signifikan dalam pengembangan hukum internasional.
Mengakui Tanggung Jawab
Di berbagai belahan dunia, negara-negara yang mengalami dampak krisis iklim yang tidak proporsional seringkali merupakan negara-negara yang paling rentan secara geografis dan ekonomi. Negara-negara berkembang ini juga berkontribusi jauh lebih kecil dalam menghasilkan emisi gas rumah kaca global dibandingkan negara-negara maju. Penerapan pendapat hukum Mahkamah Internasional tentang perubahan iklim membuka jalan menuju akuntabilitas internasional yang lebih besar terhadap kejahatan lingkungan.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia

Berlangganan Green Network Asia – Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Madina adalah Asisten Manajer Publikasi Digital di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Program Studi Sastra Inggris dari Universitas Indonesia. Madina memiliki 3 tahun pengalaman profesional dalam publikasi digital internasional, program, dan kemitraan GNA, khususnya dalam isu-isu sosial dan budaya.