Indonesia Butuh Lebih Banyak Climate Realist
Bayangkan Anda adalah pemimpin generasi penerus Indonesia yang cerdas, muda, dan gilang gemilang—yang ingin menjadi pahlawan dunia. Anda belajar bahwa perubahan iklim adalah masalah utama yang generasi Anda hadapi. Anda menyaksikan berita tentang hancurnya rumah dan mata pencaharian banyak orang akibat banjir, kenaikan permukaan air laut, kebakaran hutan, dan sebagainya—yang semuanya disebabkan oleh perubahan iklim. Namun, meskipun ambisi dan urgensi untuk menyelesaikan permasalahan iklim sangat tinggi, kita telah belajar dari pengalaman bahwa dalam menghadapi perubahan iklim, penting bagi kita untuk menjadi seorang climate realist.
Ambisi untuk Memecahkan Masalah Iklim
Setelah membaca berita, Anda jadi tahu kalau perekonomian Indonesia didorong oleh bahan bakar fosil, dimana hampir dua pertiga bauran energi Indonesia didominasi oleh batu bara. Dampak buruk bahan bakar fosil terhadap lingkungan mungkin akan mendorong Anda untuk berteriak lantang, ‘Tutup pembangkit listrik tenaga batu bara sekarang!’ atau ‘Hentikan produksi minyak sekarang juga!’
Namun tunggu dulu. Apakah desakan Anda itu bijaksana? Sekilas, desakan untuk segera menutup pembangkit-pembangkit tersebut dan mengurangi produksinya mungkin tampak menarik untuk menyelesaikan tantangan dekarbonisasi di Indonesia. Namun, tanpa rencana dan prosedur yang tepat, langkah-langkah tersebut dapat mengganggu keberlangsungan industri, sehingga dapat menyebabkan peningkatan pengangguran, ketidakstabilan ekonomi, dan kerusuhan sosial.
Kita lalu menyadari bahwa penyelesaian masalah dekarbonisasi di Indonesia pada kenyataannya jauh lebih rumit dari itu. Permasalahan ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana mencapai keseimbangan yang tepat antara kelestarian lingkungan dan pertumbuhan ekonomi.
Sebagai aktivis iklim, kita berharap dapat berkontribusi untuk mencapai emisi nol bersih Indonesia. Namun, kita harus melihat dilema kompleks ini dengan realisme iklim sebagai penangkal upaya dekarbonisasi yang buta dan ekstrem. Tanpa paradigma ini, kita berisiko mempertaruhkan perekonomian dan agenda sosial penting lainnya.
Aspek Dilematis dari Dekarbonisasi
Menjadi seorang climate realist berarti kita perlu melihat berbagai aspek dekarbonisasi. Indonesia bercita-cita menjadi negara sejahtera pada pertengahan abad ini. Namun, PDB per kapita negara ini masih sangat kecil dibandingkan negara-negara yang sudah sejahtera. Untuk mengejar ketertinggalan tersebut, Indonesia perlu menyelesaikan krisis-krisis mendesak seperti kemiskinan, kesenjangan ekonomi, dan kesenjangan pendidikan.
Selain semua permasalahan tersebut, Indonesia juga perlu menyelesaikan permasalahan perubahan iklim. Menteri Keuangan melaporkan bahwa biaya untuk mencapai emisi nol bersih berkisar antara 1-3 triliun dolar AS. Jumlah ini setara dengan keseluruhan PDB tahunan Indonesia dan belanja tahunan selama 15-20 tahun. Dekarbonisasi akan berdampak pada keseimbangan fiskal negara, terutama defisit dan rasio utang terhadap PDB, yang mengharuskan investor swasta mengalokasikan lebih banyak dana untuk dekarbonisasi.
Menteri juga sangat merekomendasikan pemotongan subsidi bahan bakar untuk mempromosikan sumber energi yang lebih berkelanjutan. Selain itu, peningkatan bauran energi terbarukan akan menyebabkan kenaikan harga listrik. Jika kita, sebagai suatu bangsa, memutuskan untuk melakukan transisi secara tiba-tiba, tanpa transisi dan perencanaan yang tepat, diperlukan modal awal dan oleh karena itu, inflasi dapat terjadi.
Di sisi lain, kita harus mempertimbangkan keadilan iklim, dengan menekankan konsep ilmiah “emisi kumulatif global dan historis”. Negara-negara maju, yang mengeluarkan emisi sejak Revolusi Industri, bertanggung jawab atas ~80% emisi dunia. Sekalipun negara-negara berkembang seperti Indonesia telah mencapai dekarbonisasi, perubahan iklim tidak akan berhenti karena secara historis kita bukanlah kontributor emisi yang besar.
Pada saat yang sama, bahaya perubahan iklim juga harus dipertimbangkan. Indonesia termasuk negara dengan indeks kerentanan iklim tertinggi. Perkiraan biaya yang harus ditanggung oleh generasi masa depan Indonesia terlalu besar untuk diabaikan.
Bagaimana menjadi Climate Realist?
Sekarang, kita tahu bahwa dekarbonisasi tidaklah mudah. Lalu, gagasan apa yang bisa memadukan urgensi tantangan iklim tanpa mengorbankan pembangunan dan kebutuhan sosial Indonesia yang unik?
Jawabannya terletak pada cara pandang yang melihat dekarbonisasi bukan sebagai beban, melainkan peluang. Memprioritaskan inisiatif mitigasi iklim dengan mempertimbangkan industrialisasi dapat menghasilkan manfaat ekonomi dan sosial yang positif.
Misalnya, kita membangun panel surya lokal dan fasilitas manufaktur baterai. Dunia, termasuk Indonesia, akan membutuhkan banyak panel surya dan baterai untuk memenuhi target dekarbonisasi. Ketika kita dapat memproduksi panel dan baterai secara mandiri, kita dapat memperoleh pendapatan ekspor dan menghemat banyak pengeluaran impor. Berinvestasi pada industri ramah lingkungan lokal juga dapat meningkatkan sumbangsih manufaktur terhadap PDB, yang telah menurun selama 20 tahun terakhir. Lapangan kerja berkualitas tinggi akan tercipta dan pengganda ekonomi akan mulai berlaku. Hal ini telah terjadi di China dalam dekade terakhir; dan industri ini telah berkembang pesat.
Jawaban lainnya adalah mendorong solusi iklim melimpah yang berasal dari karakteristik bio-regional kita yang unik. Indonesia diberkati dengan tiga pilar penting untuk transisi energi: sumber daya energi rendah karbon yang melimpah (~3.868 GW kapasitas energi terbarukan), mineral penting yang dapat dialirkan menjadi produk ramah lingkungan (seperti nikel dan kobalt), serta alam yang luas dan solusi berbasis biologis (misalnya biomassa dan nature capture). Dengan memanfaatkan anugerah ini, ditambah dengan fokus industrialisasi, Indonesia dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang kuat sekaligus mencapai tujuan keberlanjutan.
Peluang tersebut tentunya tidak bisa diwujudkan hanya oleh segelintir orang. Kita memerlukan keterlibatan dari semua ‘climate realist’ yang terbaik dan paling cemerlang di luar sana. Jadi, kembali kepada Anda, para pemimpin generasi penerus bangsa yang cerdas, muda, dan menjanjikan: apa yang bisa Anda lakukan?
Jika memungkinkan, pelajari teknologi iklim di luar negeri dan bawa pulang keahlian tersebut ke Indonesia untuk dikembangkan menjadi industri. Terlibatlah dalam dialog kebijakan publik berkelanjutan yang konstruktif, bukan destruktif, yang dapat diwujudkan menjadi tindakan nyata. Dan yang terakhir, sebarkan kesadaran untuk menarik lebih banyak ‘climate realist’. Gunakan platform Anda, seperti media sosial, untuk mengkomunikasikan urgensi aksi iklim dan yang paling penting, sampaikan cerita mengenai banyaknya peluang menarik dari dekarbonisasi ini.
Masa depan apakah Indonesia dapat mencapai emisi nol bersih sekaligus keluar dari “middle income trap” dan mewujudkan Indonesia Emas 2045 kini berada di tangan kita.
Editor: Kresentia Madina
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.