Memastikan Keadilan dalam Implementasi Skema Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup

Foto: Wikimedia Commons.
Perubahan iklim dan degradasi lingkungan telah menimbulkan berbagai dampak yang dirasakan oleh setiap orang dengan derajat yang berbeda-beda. Sayangnya, mereka yang paling minim dalam menyebabkan kerusakan lingkungan dan mereka yang paling berjasa dalam melestarikan alam, seringkali justru menjadi pihak yang terdampak paling parah. Terkait hal ini, pemerintah menerbitkan skema Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup (PJLH) sebagai instrumen untuk mentransformasikan aktivitas konservasi, dari yang sebelumnya hanya dianggap sebagai aktivitas sukarela menjadi sistem berbasis insentif.
Lalu, apa itu Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup dan bagaimana skema ini dapat menjawab kebutuhan akan kelestarian lingkungan sekaligus menciptakan keadilan dan kesejahteraan masyarakat lokal?
Mengenal Skema Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup
Di banyak tempat, pelestarian alam oleh masyarakat lokal seringkali didasarkan pada relasi antara manusia dengan alam yang terbentuk secara kultural, alih-alih digerakkan oleh program ataupun kebijakan pemerintah. Masyarakat yang hidup di sekitar dan di dalam kawasan hutan, sungai, dan wilayah tangkapan air, misalnya, kerap menjaga kelestarian lingkungan dengan praktik kearifan lokal secara turun-temurun, mulai dari pertanian ramah lingkungan hingga pengelolaan air bersih berbasis komunitas.
Namun ironisnya, mereka yang paling berjasa dalam upaya pelestarian alam dan berkontribusi paling sedikit dalam menciptakan kerusakan lingkungan, seperti masyarakat adat dan komunitas lokal, seringkali menjadi pihak yang paling terdampak oleh kerusakan lingkungan. Hal ini menciptakan ketidakadilan lingkungan dan memperparah ketimpangan dalam aspek sosial-ekonomi. Untuk mengatasi persoalan itu, sejumlah negara mulai mengembangkan pendekatan insentif untuk mengapresiasi peran-peran tersebut. Salah satunya adalah skema pembayaran jasa lingkungan hidup (Payments for Environmental Services/PES), di mana individu atau kelompok menerima kompensasi atas kontribusinya dalam menjaga kelestarian lingkungan dan fungsi ekologis tertentu.
Sederhananya, pembayaran jasa lingkungan hidup adalah skema pemberian imbalan kepada penghasil jasa lingkungan untuk peningkatan kualitas dan kuantitas jasanya. Skema ini melihat kerja-kerja konservasi lingkungan sebagai pekerjaan yang juga mesti mendapatkan nilai dan apresiasi.
Skema Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup di Indonesia
Di Indonesia, skema Pembayaran Jasa Lingkungan Hidup (PJLH) diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup nomor 2 tahun 2025. Skema ini dirancang sebagai sistem nasional yang mengintegrasikan upaya konservasi ke dalam perencanaan pembangunan nasional. Selain itu, sistem ini juga dianggap sebagai kerangka ekonomi alternatif yang menyatukan kelestarian lingkungan dengan kesejahteraan masyarakat.
Menurut peraturan tersebut, penyedia jasa yang dimaksud dapat berupa orang perseorangan, sekelompok orang, dan atau badan usaha dengan beberapa kriteria. Kriteria yang dimaksud antara lain memiliki bukti kepemilikan, penguasaan, atau pengelolaan lahan yang sah sesuai peraturan perundang undangan; kewenangan pengelolaan objek jasa lingkungan; legalitas kelembagaan kelompok; komitmen dalam menjaga dan meningkatkan kualitas dan kuantitas jasa lingkungan hidup; dan komitmen dalam menerima dan menjalankan mekanisme penyelenggaraan PJLH.
“Masyarakat adat, petani hutan, serta komunitas penjaga alam yang selama ini bekerja tanpa pamrih kini dapat menerima kompensasi berdasarkan hasil kerja mereka menjaga ekosistem” kata Menteri Lingkungan Hidup Hanif Faisol Nurofiq.
Tantangan
Meskipun dapat membuka peluang keterlibatan berbagai aktor dalam upaya pelestarian lingkungan, kriteria yang diatur dalam skema PJLH ini dapat menjadi kendala serius bagi kelompok-kelompok yang kehidupannya paling dekat dengan alam tetapi jauh dari sistem formal. Sejumlah syarat administratif yang menekankan pada aspek legal formal berpotensi mempersulit kelompok masyarakat adat hingga petani kecil yang seringkali tidak memiliki sertifikat kepemilikan lahan.
Selain persoalan administratif, tantangan lain dari aturan ini terletak pada mekanisme penetapan nilai pembayaran. Di dalam peraturan tersebut, tidak ada patokan minimal dalam penentuan nilai jasa yang adil, melainkan sekadar ditentukan melalui negosiasi antarpihak dengan pendekatan ekologi, sosial-ekonomi, dan budaya. Hal ini berpotensi menempatkan penyedia jasa lingkungan, khususnya masyarakat adat dan komunitas lokal, dalam posisi tawar yang lemah jika berhadapan dengan perusahaan ataupun organisasi yang lebih besar. Pada gilirannya, hal ini dapat menciptakan penentuan imbalan yang tidak setara dengan jasa pengelolaan lingkungan yang telah dilakukan.
Tantangan-tantangan demikian sudah berlangsung di beberapa negara. Di Kosta Rika, misalnya, skema PJLH lebih mudah diakses oleh pemilik lahan besar yang memiliki dokumen legal dan kapasitas untuk melengkapi persyaratan-persyaratan administratif seperti rencana pengelolaan hutan berkelanjutan, rencana pencegahan kerusakan hutan hingga pemantauan, serta informasi topografi, iklim, dan drainase. Sementara, kelompok miskin dan petani kecil menghadapi kesulitan administratif dan pendanaan untuk mengikuti skema tersebut. Di Meksiko, skema serupa lebih berfokus kepada kelompok-kelompok yang telah menjalankan praktik konservasi dan cenderung mengabaikan pihak-pihak yang menimbulkan deforestasi.
Memastikan Keadilan
Setiap upaya pelestarian lingkungan harus dilakukan dengan prinsip-prinsip keadilan. Skema PJLH juga harus demikian. Oleh karena itu, dalam implementasi skema PJLH, pemerintah harus meminimalisir hambatan struktural bagi para aktor lokal, memastikan nilai insentif yang adil dan tepat sasaran, memitigasi potensi-potensi konflik horizontal di lapangan, serta memaksimalkan pengawasan dan evaluasi. Selain itu, pelaksanaan skema PJLH juga harus beriringan dengan kebijakan yang mendukung pengakuan terhadap hak kelola masyarakat adat dan komunitas lokal, serta dukungan pengembangan kapasitas masyarakat dalam melakukan konservasi. Pelibatan kelompok masyarakat sipil dalam proses pengawasan juga sangat penting untuk memastikan pelaksanaan skema ini lebih partisipatif.
Editor: Abul Muamar

Berlangganan GNA Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia, akselerasi dampak positif Anda untuk masyarakat (people) dan lingkungan (the planet).