BJ Homemade: Perjuangan Difabel Berdayakan Sesama Lewat Bisnis Kacamata Berbahan Limbah Kayu
Aziz Abdullah Bajasud (seorang difabel pemilik usaha kacamata berbahan limbah kayu) menghentikan laju motornya ketika tiba di depan kantor BPN Kanwil Jawa Tengah, Jalan Ki Mangunsarkoro, Kota Semarang. “Saya sudah di depan kantor BPN. Jenengan di sebelah mana?” katanya, melalui telepon.
Saya, yang telah menunggunya di pos satpam kantor BPN dan menangkap sosoknya di pinggir jalan, langsung menghampirinya. Motornya tak seperti motor pada umumnya; motornya dimodifikasi dengan tiga roda agar dirinya yang seorang difabel daksa dapat mengemudi dengan leluasa. Dengan dua kruk ketiak, ia turun dari motornya dengan lincah. Tangannya yang gesit menjabat erat tangan saya dengan penuh keakraban.
Hari itu, Rabu, 24 Mei 2023, kami sepakat bertemu di situ. Karena tak enak mengobrol di pinggir jalan, kami memilih duduk di sebuah warung kecil dan memesan es teh dua gelas. Aziz begitu bersemangat membagikan cerita tentang bagaimana ia menjalankan usahanya. BJ Homemade, begitu ia memberi nama usaha yang ia rintis sejak 2017.
Belum sempat saya bertanya apa pun, Aziz langsung mengabarkan bahwa bisnisnya baru saja terpilih sebagai salah satu peserta dalam program UMKM Kreatif UNESCO, sebuah pencapaian baru setelah sebelumnya usahanya menjadi mitra binaan Jasa Raharja, dan masuk 10 besar Program Astra Difabisa. Selain itu, produk kacamata kayu BJ Homemade juga pernah tampil di pameran G20, dijual di ajang MotoGP Mandalika, serta masuk dalam katalog Indonesian Contemporary Art & Design (ICAD). Dengan wajah berseri-seri, ayah dua anak itu menceritakan bahwa semua itu tidak terlepas dari komitmennya untuk selalu menggunakan limbah kayu sebagai bahan baku produknya.
Namun, menggunakan limbah tak berarti mengabaikan kualitas. Aziz tetap selektif menggunakan limbah kayu yang akan digunakan, terutama untuk bingkai kaca mata kayu yang merupakan produk unggulannya. “Jenis kayu yang saya pakai itu terutama kayu sonokeling dan kayu jati. Selain itu, untuk produk yang lain kita pakai kayu glugu dan kayu nangka,” katanya.
Baru mengobrol sekitar 5 menit, kami langsung bergegas menuju rumah produksi BJ Homemade di Pasar Banjardowo Baru, Kecamatan Genuk, Semarang. Menempuh perjalanan sekitar 30 menit dari kantor BPN, kami akhirnya tiba di sebuah lapak dagang berukuran 3×4 meter persegi, tempat Aziz dan teman-teman difabelnya membuat produk-produk BJ Homemade yang mulai dikenal luas. Selama hampir dua jam, kami melanjutkan obrolan kami tentang bisnis yang ditekuni Aziz, mulai dari bagaimana proses produksinya hingga kendala-kendala yang ia hadapi.
Awal Merintis Bisnis Kacamata Berbahan Limbah Kayu
Aziz memulai usahanya dengan niat untuk membantu menyejahterakan teman-temannya sesama difabel, yang tergabung dalam Komunitas Difabel Mandiri (KDM). Melalui bisnis kecilnya, pria kelahiran 3 Mei 1979 ini ingin membuktikan bahwa difabel juga dapat berkarya dan mandiri, sekaligus berupaya untuk memberdayakan masyarakat.
“Niat saya membangun usaha ini hanya agar saya bisa membantu mensejahterakan teman-teman sesama difabel. Ya, saling menguatkan lah. Apalagi kan difabel ini berat kalau mau kerja di perusahaan. Syaratnya banyak, harus punya ijazah dan lain sebagainya, dan seringkali teman-teman difabel tidak memenuhi syarat yang diminta. Di sini, saya meniadakan syarat-syarat itu. Saya pekerjakan teman-teman difabel tanpa ijazah, tanpa memandang lulusan apa. Semua atas dasar persaudaraan saja. Yang penting punya attitude yang baik,” kata Aziz.
Aziz merupakan pribadi yang ulet dan pekerja keras. Sejak muda, ia telah mencoba membantu meringankan beban orang tuanya dengan melakoni berbagai pekerjaan. Menjadi difabel baginya hanyalah tentang perbedaan cara menjalani hidup.
Sebelum mendirikan bisnis kacamata berbahan limbah kayu, Aziz telah membuka bisnis kacamata konvensional. Sampai pada suatu hari tahun 2017, temannya yang seorang seniman dari Yogyakarta, menyarankannya untuk memproduksi kacamata berbingkai kayu. Aziz yang saat itu sama sekali tidak tahu bagaimana cara membuat bingkai kacamata dengan bahan kayu, gigih belajar dari nol. Setelah mampu memproduksi kacamata kayu sendiri, ia pun memantapkan diri untuk memproduksi dalam skala yang lebih besar, lalu memberi merek pada produk buatannya.
Membuat Produk dari Limbah Kayu
Selain bingkai kaca mata kayu yang menjadi produk andalan, BJ Homemade juga memproduksi sandal, tempat tisu, celengan, cangkir, sendok, miniatur sepeda, dan jam meja, yang semuanya berbahan limbah kayu. Aziz juga sedang berinovasi menciptakan produk-produk lainnya, namun belum bisa ia pasarkan karena masih tahap uji coba.
Untuk bingkai kacamata kayu sendiri, Aziz membanderolnya di rentang harga Rp300-350 ribu. Untuk bingkai kacamata yang telah dilengkapi dengan kaca dan lensa, harganya bisa mencapai Rp500 ribu tergantung jenis kayunya. Sedangkan produk-produk lainnya, rentang harganya berkisar antara Rp25 hingga Rp100 ribu.
Dalam menjual produknya, Aziz berprinsip bahwa kualitas dan kepuasan pembeli merupakan hal yang utama. Karena itu, ia menerapkan garansi seumur hidup untuk semua produknya. Jika ada produk yang rusak, misal bingkai kacamata patah, pembeli bisa mengembalikannya ke toko BJ Homemade dan akan diperbaiki tanpa biaya.
Prinsip itu pula yang membuat produknya dipercaya dan telah banyak diperkenalkan oleh figur-figur terkenal, sebut saja Menteri Koperasi dan UKM Teten Masduki, Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo, dan Presiden Joko Widodo.
Berjuang Memberdayakan Difabel
Sejauh ini, Aziz memang belum bisa merekrut karyawan secara permanen. Pesanan dan penjualan produk kacamata berbahan limbah kayu yang belum stabil menjadi kendala utama. Namun, setiap kali ada pesanan, ia akan memberdayakan teman-temannya sesama difabel, terutama mereka yang tidak memiliki pekerjaan.
“Kalau ada orderan banyak, saya ajak teman-teman difabel, terutama yang tidak memiliki ijazah, yang tidak punya pekerjaan. Saya berharap saya bisa lebih mensejahterakan mereka lebih dari sekarang. Sejauh ini saya belum bisa untuk terus memberi mereka pekerjaan tetap. Masih sebatas kalau ada orderan saja. Kami sangat bergantung pada orderan yang kontinu. Dengan begitu pemberdayaan difabel ini bisa terus berjalan,” kata Aziz.
Masalah Utama yang Dihadapi UMKM Difabel
Sektor UMKM berkontribusi signifikan terhadap ekonomi nasional, terutama pada masa pemulihan pascapandemi COVID-19. UMKM menyumbang sekitar 60,5% PDB dan menyerap 96,9% dari total penyerapan tenaga kerja nasional. Hal ini menjadikan UMKM sebagai sektor yang banyak mendapat perhatian. Pemerintah, misalnya, meningkatkan akses pembiayaan bagi pelaku UMKM sebagai strategi pengembangan UMKM.
Namun, menurut Aziz, gegap gempita UMKM tidak seindah yang dibayangkan. Dalam hal ini, perkembangan dan kontribusi besar UMKM bagi ekonomi negara tidak lantas membuat para pelaku UMKM di tingkat akar rumput menjadi sejahtera. Permodalan hingga kapasitas dalam pemanfaatan teknologi masih menjadi kendala utama yang sering dihadapi para pelaku UMKM.
“UMKM ini lagi seksi ya, apalagi UMKM difabel. Tapi sering kali, UMKM ini hanya ‘dimanfaatkan’. UMKM banyak dilirik sana-sini. Banyak pihak yang menyatakan ingin membantu UMKM, mengatasnamakan kepedulian terhadap UMKM, bla bla bla. Tapi, sering kali yang diuntungkan hanya sepihak, hanya untuk membangun branding personal mereka saja menurut saya,” kata Aziz.
“Kalau ditanya bersyukur atau tidak difasilitasi, ya tentu saja saya bersyukur. Kami jadi terbantu dalam pemasaran, dijadikan binaan, dan sebagainya, tetapi ending-nya apa? Tidak jelas. Seperti kemarin lalu pas ada pameran, saya dapat kabar kalau produk BJ Homemade mau dibantu ekspor. Sempat ada tulisan bahwa produk kami mau diekspor ke Australia senilai 100 ribu USD. Tapi belum jelas sampai sekarang,” katanya melanjutkan.
Sebagai seorang difabel, Aziz menyadari bahwa menjalankan sebuah UMKM bukanlah hal yang mudah. Bisa bertahan saja, dalam arti tidak sampai tumbang, sudah sangat ia syukuri. Kesulitan utama yang ia hadapi bukan di proses produksi, melainkan di pemasaran dan memastikan keberlangsungan bisnisnya.
“Saya sebenarnya gak terlalu mengharapkan produk saya diekspor. Terjual di Indonesia ini saja cukup. Gak perlu muluk-muluk ke luar negeri. UMKM gak perlu dipolitisasi. Kami sebagai pelaku gak butuh itu. Yang penting bagi kami: kami bikin produk, laku. Sebagai produsen, kami butuh pasar yang menjamin kontinuitas pendapatan, agar kami bisa membayar upah teman-teman, agar bisa bertahan,” katanya.
“Saya sempat menyampaikan kritik di salah satu grup pembinaan UMKM oleh BUMN di Semarang, tapi mungkin karena saya terlalu kritis, saya dikeluarkan dari grup itu. Sekali lagi, menurut saya, pembinaan UMKM itu sering kali hanya untuk mem-branding personal-personal tertentu, misalnya—maaf—dirutnya, biar dikira kerjanya bagus di mata Menteri,” ia melanjutkan.
Perlu Keseriusan dalam Pengembangan UMKM
Menurut Aziz, perlu ada upaya, kebijakan, dan tindakan yang lebih serius untuk memajukan UMKM di Indonesia, termasuk UMKM yang dijalankan oleh kelompok difabel. Apa yang banyak dilakukan sejauh ini, seperti pembinaan dan event-event bazar, belum benar-benar berjalan efektif, terutama bagi upaya untuk mewujudkan kesejahteraan untuk semua.
Aziz mengatakan, “Dibantu di pemasaran, difasilitasi, diajak pameran, dan semacamnya, itu memang baik. Tapi setelah itu apa? UMKM kan tidak bisa hidup hanya dengan tampil di pameran. Tampil di pameran itu tidak menjamin keberlangsungan UMKM. Banyak kok UMKM yang berjatuhan walaupun sudah pernah ikut pameran. Selama ini banyak produk UMKM yang hanya dibantu dijualkan dengan sistem konsinyasi, sistemnya titip jual. Bukan sistem tempo (dibeli tunai). Kalau produknya tidak laku dikembalikan. Masalahnya kalau produk UMKM-nya kuliner, kan bonyok si pengusahanya karena basi gak bisa dijual lagi.”
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.