Sakola Wanno Menjaga Alam dan Budaya Sumba
Indonesia sangat kaya dengan potensi sumber daya alam, juga berlimpah adat dan budaya. Dua kekayaan ini yang ingin dijaga dan dilestarikan oleh anak-anak yang belajar di Sakola Wanno.
Apa yang mereka lakukan untuk mewujudkannya? Berikut ini wawancara telepon Green Network pada Senin (11/10) dengan Kristopel Bili, seorang jagawana sekaligus pendiri dan pengelola Sakola Wanno, Kecamatan Tana Righu, Nusa Tenggara Timur.
Apa sebenarnya Arti Sakola Wanno?
Itu bahasa lokal di sini. “Sakola” artinya sekolah, tempat belajar begitu. Kalau “wanno” artinya kampung, tapi lebih berkesan pedalaman. Kampung dalam pemahaman masyarakat Sumba berupa kumpulan beberapa rumah tradisional dalam satu lokasi, yang biasanya berlokasi di atas bukit.
Bahkan kata “wanno” itu sering jadi ejekan orang kota, artinya semacam “kampungan”. Nah, nama Sakola Wanno ini sengaja dipilih untuk mengangkat martabat orang-orang “wanno” yang dianggap kampungan itu.
Apa yang memantik Anda membuat Sakola Wanno?
Dulu ketika menghadiri pemakaman tokoh adat di Sumba Timur, namanya Hendrik Pali, ada banner dengan kata-kata yang menyentuh hati saya. Di sana tertulis pesan Hendrik Pali, “Jangan biarkan anak-anak tercabut dari akar budayanya.”
Itu luar biasa, kata-kata sangat mempengaruhi diri saya. Sebagai orang sastra, saya percaya kepada kekuatan kata. Pesan Hendrik Pali itu mendorong saya untuk bergerak membuat Sakola Wanno pada tahun 2017.
Saya mulai menyadari bahwa pada kenyataannya kita sudah jauh tercerabut dari adat dan budaya kita sendiri. Mohon maaf, perkembangan di kota Sumba ini tidak begitu pesat seperti di kota-kota besar lain. Tapi anehnya, kemerosotan budayanya tidak beda jauh dengan kota-kota besar. Ini yang membuat saya resah.
Contoh kemerosotan adat dan budaya yang bagaimana?
Orang Sumba punya Marapu. Itu nilai-nilai adat, budaya, atau kepercayaan orang asli Sumba sini. Budaya Marapu sangat menghargai alam dan sangat menjaga hak-hak hubungan sosial. Kalau memang orang Sumba masih berpegang teguh pada Marapu, tentu saja seharusnya tidak ada pembalakan hutan atau perilaku korupsi. Tapi kenyataannya ‘kan sebaliknya. Itu berarti budaya kita sudah merosot, ‘kan?
Apa saja kegiatan di Sakola Wanno?
Ya, kegiatan-kegiatan sederhana seperti belajar membaca dan menulis. Ada juga pelatihan wirausaha, kegiatan menanam pohon. Saya juga menjembatani teman-teman yang rumahnya masih belum layak huni, agar bisa mendapatkan jatah program bantuan-bantuan pembangunan rumah layak huni. Di sini kami juga belajar berpuisi, ya sastra begitu. Selain membuat Sakola Wanno, saya juga mendirikan kelompok Seni Sastra Budaya Sumba (SSBS).
Bagaimana seorang penjaga hutan bisa bersentuhan dengan sastra?
Tahun 2000 saya mulai kuliah di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Yogyakarta. Lalu tahun 2009 baru lulus dan pulang kampung, kemudian resmi diangkat menjadi jagawana tahun 2011. Ada kisah menarik sebelum saya pulang kampung yang membuat saya bergaul dengan sastra.
Saya mendapat pesan dari Umbu Landu Paranggi, seorang sastrawan hebat asal Sumba yang dijuluki ‘Presiden Malioboro’. Saya tidak bertemu langsung dengannya, tapi dia menitipkan pesan melalui anaknya kepada saya. Entah bagaimana dia bisa tahu tentang saya. Intinya, isi pesan itu:
“Kirimkanlah karya anak-anakku padaku, bentuklah komunitas kecil sastra dan puisikanlah Sumba. Jangan mencariku, aku akan mendatangi kalian untuk satu kerinduan yang tak bertepi.”
Saat itu saya tidak paham, apalagi saya memang tidak pernah membuat puisi atau karya sastra apapun. Tapi dia meyakinkan saya bahwa sastra adalah tentang kesetiaan. Dan katanya saya memenuhi syarat itu. Kemudian saya mulai membuat puisi. Sampai hari ini aktif di dunia sastra dengan mendirikan SSBS di sini. Sakola Wanno pun saya anggap sebagai suatu bentuk puisi.
Siapa saja yang ikut belajar di Sakola Wanno?
Awalnya hanya anak-anak di daerah sini, Wano Kasa, kecamatan Tana Righu. Kemudian saya buka cabang lain di wilayah kota karena ternyata ada juga yang tertarik. Di sini ada kelas khusus dan kelas umum.
Kelas khusus berisi anak-anak kelas 3 SD ke bawah, mereka belajar membaca, menulis, dan berhitung. Juga belajar bahasa Inggris dasar. Tapi yang diutamakan adalah mengasah mental mereka sebagai anak-anak kampung agar berani tampil. Kelas khusus juga berisi anak-anak usia SMP dan SMA. Mereka belajar berpuisi dan membaca karya-karya sastra. Ketika kami mencintai sastra, kami jadi lebih bisa mengenal diri sendiri, juga mengenal budaya kami, mengenal negeri kami.
Kelas umum berisi para pemuda dan orang-orang tua. Kegiatannya pendidikan dan pelatihan wirausaha. Seperti mengolah kopi dan teh menjadi produk. Ini sangat penting karena menurut saya pendidikan tidak boleh lepas dari semangat kemandirian. Untuk apa kita mengajari anak-anak itu bermimpi jadi ini, jadi itu, tapi ekonomi keluarga mereka hancur?
Maka kami mulai dari hal kecil ini. Bagaimana agar para pemuda bisa menggali potensi daerahnya, bisa mandiri secara ekonomi dengan sumber daya yang ada. Di sinilah pentingnya peran pendidikan itu sangat dibutuhkan.
Bagaimana dengan pembiayaan Sakola Wanno?
Ada uang pribadi, juga uang hasil penjualan produk-produk yang kami buat. Itu yang kami gunakan untuk operasional di sini. Termasuk untuk honor teman-teman yang mau mengajar di sini. Ada uang terima kasih sebesar Rp75.000,- (tujuh puluh lima ribu rupiah) perbulan.
Tapi kami juga terbuka dengan donasi. Pernah ada juga bantuan dari orang luar negeri, tapi kemudian saya putuskan hubungan. Karena ternyata kegiatan kami di sini jadi jualan dia pribadi. Saya tidak mau itu. Kalau mau menyumbang atau kerja sama ya harus transparan. Kami juga mendapatkan bantuan dari Kementerian Tenaga Kerja untuk permodalan industri kreatif.
Apa upaya yang dilakukan Sakola Wanno untuk menjaga alam dan budaya di sana?
Setiap tahun kami mengadakan penanaman pohon, tepatnya di musim hujan. Tahun lalu (2020) kami menanam 200-300 pohon kayu bersama anak-anak. Kami tidak menanam banyak-banyak. Prinsip kami yang penting menanam walaupun sedikit. Daripada banyak sampai puluhan ribu pohon tapi hanya angka di atas kertas, nyatanya tidak ada apa-apa. Saya orang kehutanan, jadi saya tahu betul hal-hal semacam itu.
Tahun ini (2021) kami rencanakan penanaman bulan November besok. Ada tiga titik yang akan kami tanami, masing-masing 5.000 pohon buah. Tahun ini lebih banyak karena masyarakat akan terlibat, tidak hanya anak-anak. Bahkan mereka ada yang menawarkan menyiapkan makanan dan minuman secara sukarela.
Dalam hal budaya, kami melestarikan dongeng-dongeng khas daerah sini yang penuh kearifan untuk dipelajari anak-anak. Saya juga sedang berupaya mengangkat budaya lama “Rotu” atau sumpah adat khas Sumba. Semacam forum adat di mana orang-orang bersepakat atas aturan-aturan tak tertulis dan sanksi sosial yang harus dilakoni saat melanggarnya. Dulu pernah saya hidupkan bersama orang-orang dari desa-desa pinggiran, tapi saat itu belum ada Sakola Wanno.
Apa pesan Anda untuk para pegiat pendidikan masyarakat?
Boleh saja kita peduli pendidikan. Tapi tolong jangan lupakan budaya di mana kita berada. Kita boleh berwawasan global tapi jangan tinggalkan jati diri, adat asal muasal kita. Kita juga boleh mengagumi orang-orang besar di luar sana, tapi tolong angkat juga tokoh-tokoh kecil dari daerah sendiri.
Editor: Marlis Afridah
Kegiatan Sakola Wanno bisa diikuti melalui akun media sosial Facebook.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Zia adalah penulis kontributor untuk Green Network ID. Saat ini aktif menjadi Pendamping Belajar di Komunitas Belajar Qaryah Thayyibah (KBQT).