Upaya Bening Saguling Foundation Membersihkan dan Memberdayakan Masyarakat Sungai Citarum
Sungai Citarum merupakan sungai terpanjang di Jawa Barat dan memiliki Daerah Aliran Sungai (DAS) seluas 11.323 km persegi, mencakup 32% dari luas provinsi itu. Sungai Citarum menjadi penyangga hidup 18 juta penduduk yang digunakan untuk berbagai keperluan, mulai dari air minum untuk wilayah Jawa Barat dan Jakarta, irigasi, perikanan, perekonomian, hingga industri. Namun sayangnya, sungai ini mengalami pencemaran yang signifikan selama bertahun-tahun sehingga fungsi ekologisnya menurun dan berdampak pada kehidupan manusia dan keanekaragaman hayati yang bergantung padanya.
Pada bagian hulu DAS Citarum, terdapat lahan kritis yang kerap menyumbang masukan erosi tanah yang mengalir di sepanjang aliran dan mengendap. Sedimentasi yang menumpuk memicu bencana banjir ketika musim hujan datang. Keberadaan eceng gondok yang tumbuh subur di perairan yang tercemar limbah juga memperparah kondisi pendangkalan sungai. Kualitas air Sungai Citarum juga telah mengalami penurunan dan terpapar logam berat.
Sebagai upaya untuk mengatasi persoalan ini, yayasan nirlaba Bening Saguling Foundation (BSF) menawarkan solusi pengelolaan sampah Sungai Citarum dengan menghidupkan perekonomian warga setempat. Bagaimana perjalanan mereka sejak tahun 2014? Berikut wawancara Green Network Asia dengan Indra Darmawan, pendiri BSF.
Lahir dari Keresahan
Penurunan kualitas Sungai Citarum telah berlangsung selama puluhan tahun. Banyaknya kejadian erosi, penumpukan kotoran ternak dan pupuk dari kegiatan agrikultur, pencemaran sampah rumah tangga dan limbah pabrik yang masuk ke anak-anak sungai telah menyebabkan pendangkalan sungai. Keadaan semakin parah ketika Sungai Citarum dibendung dengan Waduk Saguling, dimana eceng gondok tumbuh tak terkendali pada kondisi eutrofikasi yang menyebabkan penurunan produksi ikan, penurunan kualitas air, serta menghambat saluran irigasi. Masih minimnya pemahaman akan lingkungan dan sikap apatis masyarakat kawasan DAS Citarum terhadap kondisi sungai dan sampah juga menjadi faktor yang memperburuk keadaan. Hal ini tidak terlepas dari rendahnya tingkat kesejahteraan masyarakat.
Masalah peningkatan jumlah sampah, jika tidak dikelola dengan baik, dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, kesehatan masyarakat, serta ekonomi lokal. Berangkat dari permasalahan yang cukup kompleks tersebut, Indra tergerak untuk membangun BSF. Fokus utama BSF adalah membenahi kerusakan lingkungan DAS Citarum akibat limbah domestik, eceng gondok, dan sedimentasi. Selain itu, yayasan ini juga berusaha untuk memperbaiki kondisi sosial ekonomi masyarakat agar tercipta masyarakat yang mandiri dan dapat hidup selaras dengan sungai. Masyarakat ditempatkan sebagai subjek sekaligus objek dalam pelestarian Sungai Citarum.
Menyulap Eceng Gondok Menjadi Barang Bernilai
BSF mendorong kemandirian masyarakat dengan mengolah eceng gondok menjadi sesuatu yang lebih bermanfaat dan bernilai. Sebagian eceng gondok diambil untuk disulap menjadi produk berpola zero waste. Sementara sebagian sisanya dibiarkan berkembang biak untuk menangkap polutan logam berat dalam air. Batangnya dijadikan kerajinan, akarnya dimanfaatkan sebagai media tanaman, dan bagian sisa lainnya diubah menjadi briket, dan pupuk organik cair. BSF memberdayakan para istri pemulung dan memberikan pelatihan pembuatan kerajinan, seperti tas, keranjang, gelang, sandal, wadah, tisu, hingga gazebo dari batang eceng gondok. Eceng gondok dijemur kurang lebih dua minggu kemudian dipipihkan menggunakan mesin. Setelah itu, lembaran eceng gondok bisa dipintal atau dianyam sesuai kebutuhan.
Pemanfaatan eceng gondok tidak hanya menciptakan nilai tambah ekonomi, tetapi juga membantu mengurangi sedimentasi di Sungai Citarum, sehingga memiliki dampak lingkungan yang signifikan. Dalam hal ini, BSF telah menggabungkan pendekatan lingkungan dan ekonomi dalam menciptakan produk UMKM Saung Eceng yang memiliki daya saing di pasar.
“Para perajin terus berinovasi menciptakan produk berkualitas hingga bisa merambah pasar internasional. Keberhasilan dalam merintis UMKM ini juga kami ajarkan dan tularkan sampai ke Danau Toba dan Danau Sentani. BSF ingin membangun kesadaran bahwa eceng gondok memiliki nilai ekonomi yang besar bagi masyarakat jika diolah dengan baik,” kata Indra.
Mereduksi Sampah
Selain mengolah eceng gondok, BSF juga berupaya mengurangi tumpukan sampah dengan biokonversi sampah organik dengan maggot, peternakan ayam petelur tinggi protein, Plastic Credit, dan pemilahan sampah di Sungai Citarum berbasis pemberdayaan masyarakat.
Biokonversi maggot (Hermetiaillucens linnaeus) merupakan langkah efektif dalam mendegradasi sampah organik menjadi biomassa untuk pakan ternak. Kemampuan dekomposisi oleh maggot lebih baik dibandingkan dengan mikroorganisme, selain itu teknologinya mudah diaplikasikan, mempunyai dampak ekonomi yang sangat baik, dan ramah lingkungan.
“Rumah maggot di yayasan kami berhasil mengurangi 1,5 ton sampah organik per hari yang berasal dari kawasan Cimahi dan Kabupaten Bandung Barat. Dengan melakukan pemilahan sampah dan biokonversi menggunakan maggot, kita bisa mengatasi masalah sampah di hulu sekaligus menjadi pakan ternak bagi 4.300 ayam petelur. Telur yang dihasilkan kaya kandungan albumin dan dimanfaatkan untuk menekan angka stunting di Jawa Barat. Dalam satu hari, telur yang dihasilkan bisa mencapai 200 kg. Dari setiap 1 butir telur yang diproduksi, kami telah mereduksi 2 kg sampah organik yang tidak diinginkan. Telur tersebut dijual kepada masyarakat dengan harga yang lebih terjangkau dibandingkan harga pasar. Siklus budidaya maggot dan telur ini menerapkan prinsip keberlanjutan pangan,” Indra menjelaskan.
Sementara dalam mengelola sampah anorganik, BSF menerapkan program Plastic Credit. Program ini memberikan ganjaran Rp750 per kilogram sampah plastik yang bernilai rendah, seperti kemasan kopi instan dan sampo. Plastik tersebut akan diolah menjadi plastic board sebagai bahan pembuatan meja, kursi, dan rak. Untuk plastik bernilai tinggi, seperti botol air mineral, dapat dijual secara langsung ke perusahaan daur ulang sampah di daerah tersebut dengan nilai jual Rp1.500 – Rp2.500 per kilogramnya.
Di samping itu, BSF juga menyediakan trash boom sepanjang 300 m dan solar powered trash conveyor yang mampu mengumpulkan 2.500 kg sampah per hari dan kapasitas daur ulang hingga 330.000 kg per tahun. Sampah permukaan di badan sungai akan dikumpulkan dan dibawa menuju tempat penyortiran sampah. Pengelolaan sampah ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas air, mengurangi risiko banjir, dan melindungi keanekaragaman hayati. Penyediaan alat tersebut mendapat dukungan dana pinjaman dari pemerintah Finlandia.
Sekolah Berbayar Sampah bagi Anak Pemulung
Pada awalnya, Indra bersama timnya hanya berkutat pada tujuan melestarikan Sungai Citarum dan memberdayakan masyarakat. Setelah mereka berdaya, Indra berpikir agar anak-anak para pemulung ini tidak jadi pemulung juga. Lantas BSF mencoba mendukung pendidikan mereka melalui Sekolah Alam Tunas Inspiratif. Setiap anak tidak perlu membayar pendidikan mereka, melainkan cukup menyetor sampah sebanyak 1 kilogram per minggu. Anak-anak yang terlibat kebanyakan merupakan anak pemulung, anak yatim piatu, anak fakir miskin, dan korban broken home yang terkendala masalah ekonomi. Mereka dibekali dengan kurikulum berbasis lingkungan dan diajarkan berbagai praktik baik yang telah dijalankan BSF. Life skill mereka juga diasah agar mereka terbiasa berinteraksi dengan kegiatan ekonomi, pertanian, dan lingkungan.
“Ada semacam kesenangan luar biasa karena mampu mendidik mereka dari kecil sampai SMA, bahkan beberapa ada yang berhasil mengecap pendidikan tinggi. Kami berharap mereka bisa menjadi penerus perjuangan kami,” kata Indra.
Tantangan Berulang
Dalam perjalanannya, BSF juga menemui berbagai tantangan. Keterbatasan dana dan sumber daya manusia yang timpang dengan jumlah sampah dan masalah yang harus ditangani adalah salah satunya. Tata kelola pemerintahan daerah yang cenderung berfokus pada pengangkutan sampah ke tempat pembuangan akhir dan sikap acuh tak acuh masyarakat terhadap pengelolaan sampah masih menjadi tantangan berat bagi BSF. Belum lagi, kebijakan pemerintah yang tak jarang kontradiktif dengan upaya pelestarian lingkungan, seperti larangan penggunaan plastik sekali pakai yang belum tegas ditegakkan.
“Setiap hari kami membersihkan sungai, tapi esok paginya yang kami dapati sungai itu sudah penuh kembali dengan sampah. Ini adalah pekerjaan yang tidak pernah berhenti,” kata Indra.
Pentingnya Dukungan dan Kolaborasi
Pengelolaan sampah tidak hanya menjadi solusi untuk masalah lingkungan, tetapi juga dapat menjadi motor penggerak ekonomi lokal. BSF berharap apa yang telah mereka lakukan di kawasan Sungai Citarum dapat menjadi model bagi daerah lain di Indonesia dalam mengelola sampah.
“Kami juga mengharapkan dukungan kolaboratif dari berbagai pihak agar program-program kami bisa lebih masif dan berdampak. Praktik pembersihan sampah di sungai seringkali tak serius dijalankan secara komprehensif. Diperlukan riset, dana, dan kebijakan politik yang mengarusutamakan keadilan lingkungan. Setiap individu juga harus menyadari bahwa bumi yang kita huni hanya satu dan merawatnya adalah tanggung jawab bersama,” tutur Indra.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Rachma adalah Intern Reporter di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Oseanografi dari Institut Teknologi Bandung. Ia memiliki ketertarikan pada dunia kepenulisan dengan topik lingkungan, sosial, dan pendidikan.