Temuan Madani Berkelanjutan dan Pantau Gambut terkait Faktor Penyebab Karhutla 2025

Foto: Dirk Erasmus di Unsplash.
Pantau Gambut dan Madani Berkelanjutan menemukan masifnya aktivitas perkebunan monokultur skala besar sebagai salah satu faktor utama penyebab kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sepanjang tahun 2025. Temuan ini membantah klaim Menteri Kehutanan yang menyebut cuaca panas sebagai faktor penyebab karhutla.
Karhutla 2025
Pada periode Januari–Agustus 2025, Madani Berkelanjutan mencatat Area Indikatif Terbakar (AIT) seluas 89.330 hektare yang tersebar di konsesi Hak Guna Usaha (HGU) sawit, migas, minerba, dan Perizinan Berusaha Pemanfaatan Hutan (PBPH) di seluruh Indonesia. Selain itu, kondisi yang sama juga terjadi pada ekosistem gambut pada periode yang sama, dengan 9.336 titik api di area HGU dan PBPH menurut Pantau Gambut.

Lebih lanjut, Madani Berkelanjutan mencatat 99.099 hektare hutan terbakar pada Juli 2025, hampir 2 kali lipat dibanding Juli 2023 (53.973 hektare). Selain itu, Pantau Gambut menemukan 3.157 titik panas di Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) pada Juli 2023, yang kemudian melonjak hingga 4 kali lipat atau setara 13.608 titik panas pada Juli 2025.
Kalimantan Barat menjadi provinsi dengan lonjakan angka karhutla tertinggi pada periode Juli–Agustus 2025. Dalam waktu dua bulan saja, AIT di Kalimantan Barat naik dari 1.300 hektare pada Juni menjadi 40 ribu hektare pada Agustus 2025. Pada periode yang sama, tren kenaikan juga ditemukan pada area KHG yang naik dari 327 titik panas menjadi 7.483 titik panas.
“Pernyataan Menteri Kehutanan tentang cuaca ekstrem yang menjadi penyebab terjadinya karhutla merupakan ungkapan keliru. Pernyataan ini seakan membenarkan praktik salah yang dilakukan oleh korporasi atas aktivitas mereka yang berada di area KHG,” ujar Putra Saptian, Juru Kampanye Pantau Gambut.
Putra menambahkan, “Seharusnya, pemerintah lebih fokus dalam melakukan upaya perlindungan ekosistem gambut dan tidak tebang pilih dalam penegakan hukum. Ini mengingat banyak perusahaan yang telah mengonversi lahan gambut yang mendorong terjadinya karhutla. Mengkambinghitamkan cuaca sebagai sumber karhutla sama saja dengan melepas tanggung jawab dalam mencegah karhutla agar tidak kembali terjadi.”
Lima Besar Provinsi dengan Titik Panas Terbanyak


Sadam Richwanudin, Legal Specialist Madani Berkelanjutan, menyesalkan karhutla di kawasan lindung dan tutupan gambut. Ia mengatakan, “Tingginya karhutla pada periode Juli-Agustus sebetulnya sudah dapat diprediksi. Artinya, pengambil kebijakan seharusnya sudah dapat mengambil langkah mitigasi agar angkanya tidak sebesar itu. Kalimantan Selatan sudah menetapkan status siaga karhutla, kebijakan ini harus diikuti oleh provinsi lain yang memiliki potensi karhutla yang besar. Kami juga menyayangkan bahwa karhutla tahun ini turut menyambar kawasan gambut dan lindung, kawasan yang seharusnya dijaga ekosistemnya.”
“Terkait karhutla di lahan berizin, kami mendorong penegak hukum terus menindak para perusahaan yang di areanya terdapat karhutla. Apalagi kita telah memiliki prinsip strict liability yang mengharuskan perusahaan bertanggung jawab pada area konsesinya,” Sadam menambahkan.
Menjadikan cuaca sebagai satu-satunya alasan di balik masifnya karhutla adalah narasi yang berbahaya. Argumen ini tidak hanya mengabaikan fakta-fakta di lapangan yang menunjukkan dominasi aktivitas eksploitatif, tetapi juga menjadi dalih untuk melepaskan tanggung jawab. Solusi untuk karhutla sudah jelas terpampang di depan mata: pengawasan ketat dan penegakan hukum yang serius terhadap pihak-pihak yang terus mengulang kesalahan yang sama.
Editor: Abul Muamar

Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan Langganan GNA Indonesia.
Jika konten ini bermanfaat, harap pertimbangkan Langganan GNA Indonesia untuk mendapatkan akses digital ke wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Pilih Paket Langganan Anda