Klub Rumah Dara: Memperkuat Suara Perempuan melalui Diskusi Film

Foto: Dina Oktaferia.
Seni, termasuk film, tidak hadir dalam ruang hampa. Identitas, pengalaman hidup, dan perspektif—seperti gender, seksualitas, dan pandangan politik—dari para kreator dan penonton mewarnai setiap sudut pandang seni. Pengalaman para sineas perempuan, misalnya, berbeda dari sineas laki-laki dan dapat menentukan pesan yang mereka sisipkan ke dalam karya mereka serta bagaimana pesan tersebut diterima oleh audiens. Dengan latar industri dan masyarakat patriarki, Klub Rumah Dara hadir sebagai ruang aman untuk menikmati dan mendiskusikan film melalui lensa feminis
Klub Rumah Dara dan Kurasinya
Klub Rumah Dara adalah sebuah klub film yang anggotanya hanya terdiri dari perempuan dan non-biner. Klub ini dibentuk oleh Yoan pada Februari 2025. Sejak terbentuk, klub ini terus mendorong para anggotanya yang antusias untuk berpartisipasi dalam diskusi sinematik melalui penugasan dan pertemuan nobar mingguan. Diskusi dapat dilakukan secara langsung maupun daring karena klub ini berbasis di Jakarta, dan juga digelar secara online.
Sebagai seorang penggemar film, menjadi bagian dari Klub Rumah Dara setelah mendapat undangan dari seorang teman sungguh memberdayakan buat saya. Di balik pengalaman ini terdapat kurasi yang luar biasa dan diskusi yang mendalam di dalamnya. Saya berkesempatan berbincang dengan Yoan tentang proses ini dan perspektifnya dalam menciptakan ruang komunitas bagi para perempuan pencinta film.
“Film-film yang kami kurasi umumnya disutradarai oleh perempuan atau bercerita tentang perempuan,” ujar Yoan.
Dalam tema feminisme, Klub Rumah Dara merangkul disiplin ilmu interseksional melalui pilihan film mereka. “The Gleaners and I” (2000) yang disutradarai oleh Agnès Varda menjadi pintu gerbang mereka untuk mengeksplorasi isu-isu lingkungan. Pada Juni 2025, mereka mengadakan pemutaran secara offline untuk film queer, “But I’m a Cheerleader” (1999) yang disutradarai oleh Jamie Babbit, untuk merayakan Pride Month.
Membahas Industri Perfilman
Tentu saja, film bukan hanya soal pembuatnya. Dalam apresiasi film, diskusi yang dibawakan oleh anggota Klub Rumah Dara pada dasarnya berpusat pada tiga entitas perempuan: pekerja, karakter, dan penonton.
Sepanjang percakapan kami, Yoan membahas kesenjangan gender dalam industri perfilman, yang kurang memberikan ruang dan apresiasi bagi sutradara perempuan. Alih-alih memberikan kesempatan yang setara kepada perempuan, topik feminisme seringkali dikomodifikasi secara dangkal hanya untuk menenangkan publik.
Diskusi juga mencakup isu hak-hak pekerja dalam industri perfilman. Salah satunya adalah bagaimana industri kreatif bergulat dengan integrasi Kecerdasan Buatan (AI) dan apa dampaknya bagi pekerja. Selain itu, isu-isu hak-hak pekerja secara tidak proporsional berdampak pada perempuan dan identitas interseksional yang mereka miliki.
Karakter dan Representasi
Sementara itu, ketika membahas tentang karakter dalam film, persoalan representasi sering mengemuka. Dalam “Killers of the Flower Moon” (2023), misalnya, Martin Scorsese mencoba menceritakan kisah yang berkaitan dengan sejarah penduduk asli Amerika, khususnya Suku Osage. Pembahasannya berkisar pada apakah upaya Scorsese untuk menyajikan materi sumber dengan setia dan penuh hormat tercermin melalui penampilan memukau Lily Gladstone sebagai Mollie Kyle, penyintas pembunuhan suku Osage.
Selain itu, representasi penting untuk memberikan harapan kepada penonton, terutama kelompok minoritas. Melihat karakter dengan ciri fisik, identitas, dan keunikan yang serupa dengan mereka dapat membantu orang-orang menjalani hidup mereka dalam menemukan rasa memiliki, sebagaimana halnya Klub Rumah Dara selalu membuka pintu bagi para anggotanya yang beragam.
Penonton dan Komunitas
Meningkatnya jumlah resensi film perempuan dapat berkontribusi pada perkembangan industri perfilman secara progresif, khususnya di Indonesia. Wawasan yang didapat dari penonton perempuan dapat digunakan untuk memprediksi permintaan kreatif di masa depan. Bagaimanapun, keseimbangan opini yang beragam dari semua gender di ruang publik akan menjadi langkah penting dalam mewujudkan kesetaraan gender dalam industri perfilman.
Selain itu, Yoan percaya bahwa film dapat menjadi media yang tepat untuk memantik diskusi tentang berbagai topik, termasuk kehidupan pribadi anggota Klub Rumah Dara. Oleh karena itu, sebagai pengelola komunitas, ia berupaya menjadikan klub ini seaman dan seinklusif mungkin bagi para anggotanya.
Saya telah menyaksikan semangat para anggota klub ini untuk menyuarakan persepsi mereka sendiri tentang film dan kesadaran mereka akan benang merah yang menghubungkan fiksi dengan keadaan mereka. Seperti yang telah saya katakan sebelumnya, bergabung dengan klub ini adalah pengalaman yang memberdayakan. Perjuangan yang diungkapkan para anggota Klub Rumah Dara membuat saya percaya bahwa sebuah komunitas, bahkan ketika pembentukannya hanya berangkat dari hobi, tidak hanya berfungsi sebagai platform untuk membangun jaringan, tetapi juga dapat menjadi pelopor perubahan.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.

Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan Langganan GNA Indonesia.
Jika konten ini bermanfaat, harap pertimbangkan Langganan GNA Indonesia untuk mendapatkan akses digital ke wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Pilih Paket Langganan Anda
Dina adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, yang memiliki minat dalam community engagement. Ia memiliki minat khusus di bidang ketenagakerjaan, studi tentang gender dan kelas sosial, serta jurnalisme.