Memperkuat Pelindungan Anak di Ruang Digital
Foto: Alicia Christin Gerald di Unsplash.
Teknologi komunikasi dan informasi telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan orang-orang hari ini, termasuk anak-anak. Pada era digital, banyak anak yang telah terhubung ke internet untuk berbagai urusan, mulai dari belajar hingga bersosialisasi dan bermain. Namun, meski memberi berbagai manfaat dan kemudahan, ruang-ruang digital juga kerap menjadi arena yang membahayakan bagi anak-anak. Mulai dari perundungan, kejahatan siber (cybercrime) hingga eksploitasi dan kekerasan berbasis gender online, kekerasan terhadap anak di ruang digital telah sering muncul sebagai kabar yang memprihatinkan.
Kekerasan terhadap Anak di Ruang Digital
Kekerasan terhadap anak di ruang digital telah menjadi isu yang terus meningkat seiring perkembangan teknologi informasi dan peningkatan penggunaan perangkat digital di kalangan anak-anak. Studi UNICEF pada tahun 2023 menunjukkan bahwa rata-rata anak-anak Indonesia mengakses internet lebih dari 5,4 jam per hari, dan hampir setengah dari anak-anak yang terlibat dalam penelitian tersebut menyatakan pernah mengalami beberapa bentuk perundungan dan ancaman kekerasan di ranah daring. Sayangnya, banyak dari mereka yang tidak tahu cara melapor atau mencari bantuan.
Kondisi serupa juga ditunjukkan oleh hasil Survei Nasional Pengalaman Hidup Anak dan Remaja (SNPHAR) 2024. Menurut survei tersebut, 14,49% anak laki-laki dan 13,78% anak perempuan usia 13–17 tahun pernah mengalami cyberbullying, sementara empat dari setiap 100 anak pernah menjadi korban kekerasan seksual non-kontak.
Penting juga untuk digarisbawahi bahwa bahaya di ruang digital bagi anak-anak tidak hanya sebatas apa yang telah disebutkan di atas. Ancaman-ancaman yang tampak “pasif” seperti paparan konten-konten kekerasan, pornografi, misinformasi dan informasi, ujaran kebencian atau hasutan, hingga pemasaran makanan berbahaya dan kecanduan berselancar di media sosial juga tidak kalah buruknya. Oleh karena itu, urgensi untuk memperkuat pelindungan anak di ruang digital semakin meningkat. Dalam hal ini, penguatan regulasi dan strategi mitigasi dan penanganan menjadi sangat penting.
Peta Jalan Pelindungan Anak di Ruang Digital
Terkait hal ini, pemerintah telah menerbitkan Peta Jalan Pelindungan Anak di Ranah Dalam Jaringan melalui Perpres Nomor 87 Tahun 2025. Peta jalan ini bertujuan untuk memenuhi dan melindungi hak anak di ruang digital melalui dua aspek. Pertama, penguatan kapasitas anak, keluarga, dan masyarakat untuk kemandirian dan ketahanan diri anak. Kedua, penguatan jejaring kerja sama dan sinergitas dalam meningkatkan pencegahan dan penanganan dalam pelindungan anak di ruang digital.
Perpres peta jalan tersebut memuat tiga strategi pelindungan, yakni pencegahan, penanganan, dan kolaborasi peran pemangku kepentingan. Strategi pencegahan berfokus pada pengendalian risiko dan pengurangan kerentanan, sementara strategi penanganan berfokus pada penguatan penanganan atas penyalahgunaan teknologi informasi dan komunikasi serta penguatan layanan bagi anak yang menjadi korban. Sedangkan fokus strategi kolaborasi mencakup pengembangan kemitraan dan kerja sama internasional.
“Regulasi ini secara tegas menyoroti sejumlah tantangan yang selama ini dihadapi, seperti masih lemahnya mitigasi terhadap percepatan transformasi digital, terbatasnya kemitraan strategis antar pemangku kepentingan, serta adanya fragmentasi kebijakan yang menghambat efektivitas pelaksanaan program. Di samping itu, pemanfaatan sumber daya dan pengelolaan data pelindungan anak masih perlu diperkuat agar kebijakan dapat lebih tepat sasaran dan berkelanjutan,” ujar Arifah Fauzi, Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
Pelindungan yang Lebih Bermakna
Peta jalan ini melengkapi PP TUNAS yang telah lebih dahulu terbit pada Maret 2025. Adanya peraturan-peraturan ini diharapkan dapat memberikan pelindungan yang bermakna bagi anak-anak di ruang digital. Namun, itu semua sangat bergantung pada dukungan dan kolaborasi seluruh pihak, terutama namun tidak terbatas pada orang tua, guru, penyelenggara platform digital, dan masyarakat secara luas untuk mewujudkan ekosistem digital yang aman dan ramah anak.
“Setiap anak memiliki hak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi, termasuk secara digital. Namun hak tersebut harus dibarengi dengan pelindungan yang kuat agar mereka tidak terjerumus dalam bahaya dunia maya. Anak-anak kini rentan terhadap berbagai bentuk ancaman seperti cyberbullying, eksploitasi seksual daring, grooming, dan kecanduan gawai.
Karena itu, pelindungan anak di ranah digital harus menjadi bagian integral dari kebijakan nasional. Dengan kolaborasi yang kuat, kita pastikan ruang digital menjadi tempat yang aman dan berpihak pada kepentingan terbaik anak,” imbuh Arifah.
Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Dukung gerakan Green Network Asia untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia. Dapatkan manfaat khusus untuk pengembangan pribadi dan profesional Anda.
Jadi Member SekarangAmar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah alumnus Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor untuk beberapa media tingkat nasional di Indonesia. Ia juga adalah penulis, editor, dan penerjemah, dengan minat khusus pada isu-isu sosial-ekonomi dan lingkungan.

Memahami Hubungan antara Perubahan Iklim dan Kemiskinan
Menilik Risiko Pembangunan Pembangkit Panas Bumi di Kawasan Konservasi
Menerapkan Gift Economy: Bagaimana Kita Dapat Memupuk Ikatan dengan Berbagi
Aktivisme Iklim Kaum Muda Tak Boleh Abai Soal Kolonialisme
Mengulik Akar Masalah Konflik Harimau Sumatera dengan Manusia di Lampung
Mengubah Limbah Pertanian Menjadi Biomaterial