Kemajuan dan Kesenjangan Energi Terbarukan Dunia sebagai Sumber Listrik
Foto: Andreas Gücklhorn di Unsplash.
Dunia terus berjibaku dengan meningkatnya ancaman perubahan iklim. Sementara itu, produksi bahan bakar fosil tetap tinggi, meningkatkan emisi karbon dan memperburuk pemanasan global. Namun, di tengah tantangan ini, sebuah peralihan yang penuh harapan sedang berlangsung. Beberapa negara tengah memperluas penggunaan energi terbarukan secara pesat, membuka pintu menuju era baru yang ditenagai oleh tenaga surya dan angin.
Energi Terbarukan Lampaui Batubara
Untuk pertama kalinya, energi terbarukan menyalip batubara sebagai sumber listrik utama dunia pada paruh pertama tahun 2025. Menurut laporan Ember, permintaan listrik global tumbuh sebesar 2,6%, dan peningkatan ini seluruhnya dipenuhi oleh peningkatan produksi tenaga surya dan angin. Peningkatan ini mendorong pangsa energi terbarukan dari 32,7% menjadi 34,4%. Sementara itu, pembangkitan batubara turun dari 34,2% menjadi 33,1%.
Penurunan penggunaan batubara khususnya tercatat di China dan India. China meningkatkan pembangkitan tenaga surya sebesar 43% (168 TWh) dan angin sebesar 16% (79 TWh), dan mengurangi listrik berbasis bahan bakar fosil sebesar 2% (56 TWh). Sementara itu, India meningkatkan produksi tenaga surya sebesar 25% (17 TWh) dan angin sebesar 29% (11 TWh), yang mendorong penurunan sekitar 3,1% (22 TWh) dalam pembangkitan batubara.
Kesenjangan Regional
Meskipun energi terbarukan global terus tumbuh, laju transisi berbeda di setiap kawasan. Di Amerika Serikat, permintaan listrik meningkat lebih cepat daripada output energi terbarukan, yang menyebabkan peningkatan pembangkitan batubara sebesar 17% pada paruh pertama 2025. Badan Energi Internasional (IEA) juga telah memangkas proyeksi pertumbuhan energi terbarukan negara tersebut pada dekade ini dari 500 GW menjadi 250 GW pada tahun 2030, mencerminkan kemajuan yang lebih lambat akibat perubahan kebijakan dan penundaan proyek.
Di Eropa, kemajuan energi terbarukan melambat karena kinerja tenaga angin dan air yang melemah memaksa ketergantungan yang lebih besar pada bahan bakar fosil. Pembangkitan gas meningkat sebesar 14% dan batubara sebesar 1,1%, meskipun tenaga surya terus tumbuh. Fluktuasi ini menyoroti kerentanan kawasan tersebut terhadap pola cuaca dan kebutuhan akan ketahanan jaringan dan kapasitas penyimpanan yang lebih kuat.
Menjembatani Kesenjangan Energi Terbarukan Dunia
Meskipun pertumbuhan kapasitas energi terbarukan mencatatkan rekor, kesenjangan regional yang signifikan menekankan kebutuhan mendesak akan perluasan yang merata untuk mencapai tujuan nol bersih global. Lebih dari 70% kapasitas energi terbarukan baru muncul di Asia, dipimpin oleh China, sementara Afrika dan sebagian Amerika Latin tertinggal karena hambatan finansial, infrastruktur, dan kebijakan.
Menjembatani kesenjangan ini membutuhkan peningkatan akses ke pendanaan, penguatan kerangka kebijakan lokal, dan peningkatan transfer teknologi. Inisiatif untuk memobilisasi modal dan mendukung pengembangan kapasitas di seluruh wilayah rentan harus diperkuat dan diimplementasikan dengan prinsip transisi yang adil sebagai intinya. Dengan perkembangan yang lebih kuat, lebih cepat, dan merata, dunia dapat bergerak lebih dekat menuju masa depan nol bersih yang didukung oleh energi bersih dan terjangkau.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Dukung gerakan Green Network Asia untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Jadi Member Sekarang
Menilik Potensi dan Tantangan Pengembangan Biofuel dari Limbah Pertanian
Bagaimana Kampung Nelayan Merah Putih dapat Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir?
Menurunnya Kadar Oksigen Sungai-Sungai di Dunia
(Bukan Sekadar Kisah) Miliarder yang Mewakafkan Seluruh Hartanya bagi Bumi
Bagaimana Sains Warga dapat Bantu Atasi Polusi Plastik
COP30: Momen Genting untuk Mengadopsi Indikator Adaptasi Iklim