Mengatasi Risiko Konsumsi Minuman Berpemanis dalam Kemasan
Foto: Limingming di Unsplash.
Kehidupan modern telah mempengaruhi gaya hidup masyarakat secara umum, termasuk kebiasaan mengonsumsi minuman berpemanis dalam kemasan. Ketersediaannya yang melimpah dengan harga yang relatif terjangkau membuat kebiasaan tersebut semakin sulit dihindari. Sebagai akibatnya, berbagai risiko penyakit meningkat seiring tingkat konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan yang semakin tinggi. Lantas, langkah apa yang perlu diambil untuk mengatasi isu ini?
Konsumsi Minuman Berpemanis dalam Kemasan dan Risiko Penyakit
Minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) merujuk pada minuman yang mengandung gula dalam jumlah yang sangat tinggi hingga 10 sendok teh untuk satu kaleng ukuran standar. Secara umum, produk MBDK dapat berupa susu cair, susu kental manis, kopi instan, air teh, minuman bersoda, sari buah kemasan, minuman “berenergi”, dan lain sebagainya.
Pada tahun 2024, terdapat sekitar 63,7 juta (sekitar 68,1 persen) rumah tangga di Indonesia yang mengonsumsi MBDK. Berdasarkan data survei tahun 2023 yang dilakukan di 10 kota besar dengan 800 responden, ditemukan bahwa 1 dari 4 anak usia di bawah 17 tahun mengonsumsi MBDK setiap hari, bahkan 1 dari 3 anak mengonsumsi MBDK 2-6 kali dalam sepekan.
Kondisi tersebut sangat mengkhawatirkan karena konsumsi MBDK menjadi faktor utama obesitas dan berbagai Penyakit Tidak Menular (PTM) seperti penyakit kardiovaskular, diabetes, kanker, karies gigi, dan lain sebagainya. Berdasarkan data International Diabetes Federation (IDF) pada tahun 2024, Indonesia berada dalam urutan kelima jumlah penderita diabetes usia dewasa terbanyak, yakni 20,4 juta kasus. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa konsumsi minuman berpemanis berkontribusi signifikan terhadap peningkatan kasus diabetes tipe 2. Pada tahun 2020, secara global diperkirakan terdapat sekitar 2,2 juta kasus baru diabetes tipe 2 yang disebabkan oleh konsumsi minuman berpemanis, yang menyebabkan 70 ribu – 80 ribu kasus kematian.
Solusi Potensial Penerapan Cukai Makanan Berpemanis dalam Kemasan
Dengan kondisi demikian, menurunkan tingkat konsumsi MBDK perlu menjadi perhatian khusus. Dalam hal ini, penerapan cukai dapat menjadi salah satu kuncinya. Wacana penerapan cukai terhadap produk MBDK telah bergulir sejak tahun 2016. Pada tahun 2024, pemerintah menegaskan bahwa MBDK akan menjadi Barang Kena Cukai (BKC) untuk menekan pembelian dan konsumsi berlebih demi menjaga kesehatan masyarakat dan hal tersebut akan diterapkan pada semester kedua tahun 2025. Namun, penerapannya terus ditunda dengan alasan ketidakpastian ekonomi.
Sebuah riset menyoroti bahwa kenaikan harga MBDK dapat menurunkan permintaan produk. Riset tersebut menghitung estimasi elastisitas menggunakan data Survei Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) tahun 2024 dengan pendekatan elastisitas harga (own-price elasticity) dan elastisitas silang (cross-price elasticity/efek substitusi). Hasil elastisitas harga menunjukkan bahwa secara umum, produk MBDK sensitif terhadap perubahan harga dengan rata-rata -1,3, yang berarti bahwa kenaikan 10 persen harga produk akan menurunkan permintaan sebesar 13 persen (tanpa memperhitungkan efek substitusi).
Selanjutnya, hasil analisis elastisitas silang (efek substitusi) menunjukkan bahwa jika terjadi kenaikan harga produk MBDK, air mineral berpotensi menjadi alternatif utama. Peningkatan harga MBDK sebesar 10 persen akan meningkatkan permintaan terhadap air mineral sebesar 7,7 persen. Oleh sebab itu, air mineral bersifat substitusi (pengganti) MBDK. Air mineral dapat menjadi alternatif minuman pengganti jika produk MBDK mengalami peningkatan harga.
Dengan mempertimbangkan analisis tersebut, diperkirakan akan terjadi perubahan pola konsumsi MBDK di masyarakat jika harga produk MBDK meningkat sebesar 20 persen. Kondisi tersebut berpotensi menurunkan sebesar 18 persen permintaan terhadap MBDK.
Pentingnya Edukasi dan Kebijakan yang Lebih Komprehensif
Riset tersebut memberikan rekomendasi untuk mengatasi persoalan konsumsi berlebih MBDK dengan mendorong pemberlakuan cukai MBDK untuk menekan konsumsinya. Selain mengatasi risiko penyakit, pengurangan konsumsi MBDK dinilai dapat menekan beban finansial BPJS Kesehatan, hingga mengurangi potensi pencemaran lingkungan dari kemasan plastik maupun kaleng. Cukai MBDK yang diterapkan perlu meningkatkan harga jual produk minimal 20 persen sesuai rekomendasi WHO. Selain itu, perlu diberlakukan kebijakan yang lebih komprehensif seperti penerapan label peringatan pada kemasan; pembatasan pemasaran produk tinggi gula, garam, dan lemak (GGL); serta penerapan cukai untuk produk tinggi natrium.
Penerapan pola makan sehat perlu menjadi perhatian kita semua, dari level pengambil kebijakan hingga keluarga. Edukasi pola makan sehat perlu terus ditingkatkan agar masyarakat bisa lebih memahami risiko kesehatan dari konsumsi produk makanan dan minuman yang tinggi GGL dan terdorong untuk menjalani pola makan yang lebih sehat. Tentunya, ini semua membutuhkan kebijakan tata kelola gizi yang lebih menyeluruh dan berorientasi pada kesehatan publik, serta mendukung pangan lokal yang lebih sehat dan aman.
Editor: Abul Muamar
Join Membership Green Network Asia – Indonesia
Jika Anda menilai konten ini bermanfaat, dukung gerakan Green Network Asia untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia. Dapatkan manfaat khusus untuk pengembangan pribadi dan profesional Anda.
Jadi Member Sekarang
Bagaimana Insentif Positif dapat Hentikan Penurunan Keanekaragaman Hayati
Mengatasi Deprivasi Hak Anak Multidimensi untuk Dukung Kesejahteraan Anak
Langkah Singapura dalam Melindungi Korban Kekerasan Siber
Melihat Kemajuan Proyek Great Green Wall dengan Merangkul Pengelolaan Lahan Adat
Superkapasitor dari Limbah Sawit sebagai Potensi Energi Baru
Pentingnya Pengembangan AI yang Sadar Karbon