Memperkuat Ketahanan Masyarakat di Era Disrupsi
Foto: Dimodifikasi dari cover laporan Global Talent Competitiveness Index 2025.
Dunia selalu diwarnai perubahan, tetapi dekade terakhir telah menunjukkan betapa cepatnya perubahan terjadi. Kita telah dan masih berjibaku dengan berbagai masalah yang terus berlanjut dan terkadang tumpang tindih, seperti pandemi COVID-19, perubahan iklim, ketidakstabilan geopolitik dan ekonomi, serta memburuknya keadilan sosial. Semua disrupsi ini menimbulkan dampak yang begitu besar terhadap kehidupan kita, di semua level. Oleh karena itu, memperkuat faktor-faktor kunci yang menentukan kelangsungan hidup dan kesejahteraan kolektif kita sangatlah penting. Salah satunya adalah ketahanan masyarakat.
Membangun Resilience Thinking
Kita saat ini hidup di era disrupsi. Dalam beberapa tahun terakhir, ketahanan telah menjadi kata kunci yang mendasari banyak rencana pembangunan. Pemerintah, organisasi, dan komunitas di seluruh dunia menggaungkan istilah tersebut dalam konteks kelangsungan hidup saat ini dan harapan untuk masa depan. Namun, apa artinya ketahanan?
Ketahanan dapat didefinisikan sebagai kapasitas untuk mengantisipasi, mengatasi, dan pulih dari guncangan. Namun, laporan Global Talent Competitiveness Index (GTCI) 2025 mengungkapkan, “Sebagian besar industri dan literatur ketahanan yang luas dan penting dibangun di atas premis bahwa ketahanan hanyalah tentang bangkit kembali. Kenyataannya, sistem yang dianggap tangguh seringkali terbukti rapuh ketika dihadapkan dengan guncangan yang keras atau kumulatif.”
GTCI menilai 135 negara, yang mewakili lebih dari 97% PDB global dan 93% populasi dunia, mengenai kapasitas masing-masing dalam mengembangkan, menarik, dan memberdayakan talenta serta sumber daya manusia demi produktivitas dan kesejahteraan. Laporan tersebut juga mengeksplorasi arti ketahanan saat ini.
Laporan tersebut menyoroti aspek adaptif dari ketahanan. Ketahanan dianggap “bukan hanya kemampuan untuk pulih dari guncangan tertentu saat berlangsung, tetapi juga kemampuan untuk beradaptasi dengan perubahan lanskap risiko agar guncangan tersebut lebih kecil kemungkinannya atau lebih tidak berbahaya di masa mendatang.”
Dengan demikian, laporan tersebut berpendapat bahwa yang kita butuhkan adalah resilience thinking (pendekatan ketahanan). Lebih dari sekadar mampu menghadapi guncangan, Resilience Thinking menekankan kapasitas untuk beradaptasi, menata ulang, dan bertransformasi dalam menghadapi perubahan. Oleh karena itu, ketahanan bukan hanya tentang bangkit, melainkan tentang melangkah maju. Ia adalah tentang memanfaatkan kesulitan sebagai batu loncatan untuk inovasi dan pengembangan kapasitas.
Arti Ketahanan Masyarakat
Laporan tersebut mengkaji ketahanan pada tiga tingkat yang saling terkait: individu/rumah tangga, organisasi, dan masyarakat. Di tingkat masyarakat, ketahanan bergantung pada kapasitas lembaga dan pemerintah untuk secara efektif menjaga kohesi dan beradaptasi di bawah tekanan. Dengan konteks sejarah, budaya, sosial-ekonomi, dan geopolitik yang berbeda, ketahanan masyarakat sangat bervariasi di seluruh dunia.
Menurut GTCI, negara-negara Nordik—Swedia, Norwegia, Denmark, Finlandia, dan Islandia—bersama Singapura dan Swiss merupakan negara-negara dengan kinerja terbaik dalam ketahanan masyarakat. Hal ini berkat kepercayaan kelembagaan yang kuat, tata kelola yang inklusif, dan sistem kesejahteraan yang komprehensif.
Pada akhirnya, ketahanan masyarakat bukan hanya tentang memiliki sumber daya. Ketahanan masyarakat juga tentang kepercayaan dan keyakinan masyarakat terhadap bagaimana lembaga mengelola sumber daya tersebut serta daya tanggap dan keadilannya.
Penggerak Utama Ketahanan Masyarakat
Laporan tersebut mengidentifikasi lima kapabilitas penggerak utama untuk memperkuat ketahanan masyarakat. Salah satunya adalah kapasitas antisipatif. Ini adalah kemampuan untuk menilai risiko, merasakan dan mendeteksi sinyal, menafsirkan ancaman yang akan datang, dan memobilisasi respons tepat waktu. Contohnya termasuk sistem peringatan dini dan komunikasi risiko dalam manajemen risiko bencana.
Selanjutnya, harus ada infrastruktur negara yang andal. Ini mencakup kemampuan pemerintah untuk secara kohesif mempertahankan layanan esensial dan mengadaptasi lembaga di tengah kondisi yang berubah. Misalnya, negara-negara dengan sistem yang rapuh dan terpecah-pecah akan sulit menyediakan layanan penting bagi ketahanan masyarakat seperti kesehatan, komunikasi, pendidikan, dan ketenagakerjaan.
Penggerak utama lainnya adalah tentang kepercayaan dan inklusivitas. Tidak meninggalkan seorang pun adalah prinsip inti pembangunan berkelanjutan. Tanpa inklusi sosial yang menjamin pertumbuhan yang memberikan manfaat untuk semua, keresahan dan pemberontakan sosial akan muncul. Selain itu, laporan tersebut mencatat bahwa kepercayaan lebih sulit dipupuk dalam masyarakat yang sangat beragam.
Penggerak berikutnya adalah keterlibatan warga dengan kepemimpinan yang suportif. Pembangunan seringkali bertumpu pada pendekatan dari atas ke bawah, tetapi ketahanan masyarakat juga membutuhkan keterlibatan warga negara dari bawah ke atas. Ketika terjadi disrupsi, respons adaptif seringkali dimulai dari warga. Warga bergerak untuk saling membantu, memobilisasi dan berimprovisasi secara lokal. Namun, strategi ini tetap tak bisa menggantikan intervensi sistemik. Masyarakat yang tangguh membutuhkan kepemimpinan yang suportif yang mengakui, memberdayakan, dan meningkatkan upaya akar rumput.
Kemudian, yang terakhir ini mungkin yang paling penting: koordinasi sistemik. Sayangnya, sebagian besar pemerintahan tersusun dengan cara yang menghambat kolaborasi. Mereka berjibaku dengan fragmentasi kelembagaan, mandat yang tumpang tindih, dan mekanisme yang lemah untuk berbagi informasi.
Sebaliknya, masyarakat dengan lembaga lintas fungsi, gugus tugas antarkementerian, atau pendekatan seluruh pemerintahan akan lebih mudah menghadapi guncangan dan mencapai pemulihan jangka panjang yang adil serta pengembangan ke depan. Strategi ini termasuk membawa sektor swasta, lembaga akademik, dan masyarakat sipil ke dalam kerangka koordinasi.
Mewujudkan Generasi Tangguh
Ketahanan bukan hanya soal bertahan di masa-masa sulit. Di era yang diliputi oleh disrupsi, transformasi digital, dan perubahan yang terus menerus dalam lanskap ekonomi, laporan tersebut menyoroti bagaimana Keterampilan Adaptif Generalis muncul sebagai salah satu penentu terkuat daya saing talenta nasional. Keterampilan ini mencakup kapabilitas multidimensi: fleksibilitas kognitif dan sosio-emosional, adaptabilitas teknologi, dan ouput yang didorong oleh inovasi.
Lily Fang, Kepala Riset dan Inovasi di INSEAD, mengatakan, “Barangkali tidak mengherankan bahwa salah satu temuan utama laporan ini adalah pentingnya keterampilan generalis adaptif dalam mendorong inovasi di tengah disrupsi untuk dapat menavigasi proses transformasi ini.”
Laporan tersebut menggarisbawahi bahwa negara-negara yang memberdayakan masyarakatnya untuk beradaptasi, fasih digital, dan fleksibel secara kognitif dengan keterampilan memecahkan masalah interdisipliner akan lebih siap daripada kebanyakan negara lain untuk berkembang dalam lanskap dunia yang terus berubah—baik karena pembangunan maupun disrupsi. Intinya, negara-negara yang kuat dan tangguh adalah negara-negara yang berinvestasi dalam dukungan sistemik bagi individu, organisasi, dan seluruh masyarakat.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Join Membership Green Network Asia – Indonesia
Jika Anda menilai konten ini bermanfaat, dukung gerakan Green Network Asia untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia. Dapatkan manfaat khusus untuk pengembangan pribadi dan profesional.
Jadi Member Sekarang
Merawat Harmoni di Tengah Keberagaman: Cerita Kehidupan dan Dinamika Sosial Masyarakat Desa Kandangan, Lumajang
Memperkuat Tata Kelola Mitigasi Risiko Bencana: Pelajaran dari Bencana Hidrometeorologi di Sumatera
Obat Manjur bagi Kegelisahan Para CEO
Membangun Pendekatan Strategis untuk Dukung Kesehatan Perkotaan
Memahami dan Mendorong Transformasi Keberlanjutan Perusahaan: Belajar dari Makalah Nurani, dkk (2025)
Memahami dan Mengatasi Deprivasi Anak Multidimensi