Ananda Sukarlan, Memberikan Pendidikan Seni Musik Gratis untuk Anak-Anak Kurang Mampu
Setiap anak memiliki hak untuk memperoleh pendidikan dan mengembangkan diri. Pendidikan berkualitas dan seimbang adalah modal penting yang sangat menentukan kehidupan dan kesejahteraan mereka. Tetapi sayang, di Indonesia, tidak semua anak menikmati hak tersebut, bahkan ketika pemerintah telah mencanangkan Program Wajib Belajar 12 tahun.
Di mata Ananda Sukarlan, pianis dan komponis ternama dunia, masalah pendidikan di Indonesia cukup kompleks. Selain faktor ekonomi yang sering menjadi penghambat, sistem pendidikan dan metode pengajaran yang tidak inklusif dan kurang mendukung perkembangan daya kreasi dan bakat anak juga merupakan masalah serius yang mendesak.
Memberikan Pendidikan Seni Musik Gratis
Persoalan-persoalan itu membuat Ananda tergerak untuk memberikan pendidikan seni musik gratis kepada anak-anak kurang mampu dari berbagai latar belakang dan kondisi. Melalui Yayasan Musik Sastra Indonesia (YMSI) yang ia dirikan bersama teman-temannya–yakni Chendra Panatan, Dedi Panigoro, dan Pia Alisjahbana–ia telah mendidik ratusan anak lewat program Children in Harmony. Ia mengajari mereka cara memainkan berbagai instrumen musik, salah satunya bertempat di Ananda Sukarlan Center for Music and Dance di bilangan Cipete Utara, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan.
“Menurut saya semua anak mesti mendapatkan pendidikan seni gratis, entah itu seni musik, seni lukis, seni tari, dan sebagainya. Pendidikan di Indonesia sejauh saya lihat terlalu berfokus ke logika otak kiri. Itu sangat berbahaya karena akan membuat cara berpikir anak menjadi tidak seimbang. Anak-anak perlu berpikir kreatif dan itu bisa didapatkan lewat pendidikan seni, dimana semua elemen dicakupkan, tidak terbatas pada benar-salah atau hitam-putih,” kata Ananda.
Berdirinya YMSI tidak terlepas dari ingatan masa kecil Ananda yang terlahir dari keluarga kurang mampu. Dari pengalamannya, ia tidak ingin ada anak-anak yang tidak terfasilitasi untuk berkembang.
“Saya sebenarnya terinspirasi oleh pengalaman masa kecil saya sendiri. Dulu orang tua saya orang gak mampu. Saya kuliah musik dengan beasiswa dari pemerintah Belanda. Jadi saya berpikir, anak-anak harus punya akses ke pendidikan musik. Pendidikan musik bukan berarti kita mau membuat anak-anak itu menjadi musikus, tapi itu penting untuk mengaktifkan otak mereka dan menjadikan mereka lebih peka dan disiplin,” ungkap Ananda.
Musikus yang namanya masuk dalam buku “The 2000 Outstanding Musicians of the 20th Century” ini tak sekadar mengajarkan cara bermain musik lalu mempersilakan anak-anak pulang ketika selesai. Untuk mendukung anak-anak didiknya lebih leluasa dalam berlatih, ia sering meminjamkan alat musiknya untuk dibawa pulang.
“Mereka ada anak tukang bakso, supir bajaj, pelayan. Biasanya mereka rendah diri. Kalau mereka bisa memainkan satu instrumen musik, itu akan menaikkan kebanggaan dan rasa percaya diri mereka. Kepercayaan diri itu penting untuk perkembangan anak,” ujarnya.
Dalam mengajarkan musik kepada anak-anak, maestro piano lulusan Koninklijk Conservatorium Den Haag ini juga menyisipkan pendidikan karakter serta pelajaran sejarah dan Kebudayaan Nusantara. Menurutnya, dua elemen itu penting bagi upaya pengembangan kesenian dan pemajuan Kebudayaan. Misalnya, dalam mengajarkan keberagaman, ia selalu mengarahkan anak-anak didiknya untuk bekerja sama dengan musisi-musisi lain di dalam sebuah orkestra.
“Dengan demikian, anak-anak akan terbiasa dengan perbedaan,” tutur Ananda.
Menulis Rapsodia untuk Kelompok Difabel
Ananda juga memiliki perhatian khusus pada isu-isu kesetaraan dan keberagaman. Setiap kesempatan yang ada ia gunakan untuk menyuarakan isu-isu ini, termasuk saat menjadi pengarah artistik pada Orkestra G20 yang digelar pada puncak pertemuan Menteri Bidang Kebudayaan Negara-Negara anggota G20 di Borobudur pada September 2022.
“Musik adalah bahasa universal. Musik menyatukan perbedaan. Musik fungsinya bukan hanya untuk hiburan, tetapi juga sebagai dokumentasi yang tercermin dari programnya, menjadi satu bentuk diplomasi dan komunikasi. Bukan hanya antarnegara, tapi juga antarmanusia yang berbeda,” kata pria yang tinggal di Jakarta dan Cantabria, Spanyol, ini.
Ananda Sukarlan terkenal dengan magnum opus-nya ‘Rapsodia Nusantara’ yang sampai Agustus 2023 telah mencapai Nomor 40. Rapsodia Nusantara dikembangkan oleh Ananda berdasarkan lagu-lagu daerah dari setiap provinsi di Indonesia. Tidak hanya tentang karya seni musik untuk dinikmati, Rapsodia Nusantara juga menjadi jalan yang ditempuh pria kelahiran Jakarta, 10 Juni 1968 ini untuk menyuarakan dan mendukung hak-hak berbagai kelompok marjinal, terutama kaum difabel daksa.
Sebagai pengidap sindrom Asperger, Ananda telah menciptakan lebih dari 80 karya untuk berbagai kondisi tunadaksa, dengan level kompleksitas dan kesulitan yang beragam, termasuk Rapsodia Nomor 15 dan 39 yang khusus dimainkan dengan tangan kiri.
“Saya memang bekerja dengan anak-anak berkebutuhan khusus. Ada yang main pianonya hanya dengan beberapa jari saja atau satu tangan saja. Saya berpikir, jika anak-anak tersebut kelak menjadi pianis, mereka butuh karya yang bisa mereka mainkan sebagai karya yang luar biasa untuk konser mereka,” katanya.
“Sampai sekarang, Rapsodia Nomor 15 dan 39 itu baru hanya saya yang memainkan, karena memang sangat sulit. Teknik bermain dengan tangan kiri itu bukan hanya sekadar main dengan 5 jari, tapi tetap dimainkan dengan bunyi yang berkualitas tinggi. Jadi, misalnya, kalau orang mendengarnya dengan menutup mata, orang tidak lantas menolerir bunyinya yang gak bagus karena dimainkan dengan satu tangan saja. Bunyinya tetap harus bagus sebagai karya yang layak didengar,” sambung pianis yang telah menelurkan ratusan karya seni musik dan meraih berbagai penghargaan internasional ini.
Di Spanyol, Ananda bekerja sama dengan Yayasan Música Abierta, mengembangkan aplikasi pendidikan musik untuk anak-anak autis dan difabel.
“Saya mendidik beberapa guru musik dan memberi mereka insight tentang autisme dan Asperger’s Syndrome–saya kan pengidap Asperger Syndrome. Jadi, selain mereka mengajarkan musik, mereka juga mesti tahu bagaimana caranya berhubungan dan berkomunikasi dengan para pengidap autisme. Yang sering salah kaprah adalah anggapan bahwa anak-anak autis itu harus dimanja. Tidak. Pengidap autisme itu harus diperjelas bahwa mereka harus bisa mengerti dunia luar yang ‘normal’. Kalau dunia luar diminta untuk bisa mengerti mereka, mereka juga harus bisa mengerti dunia luar,” katanya.
Mengadaptasi Kebudayaan
Bagi Ananda, yang belajar bermain piano sejak usia 5 tahun dan telah menggelar konser di berbagai negara, kesenian mesti termanifestasikan ke dalam tindakan-tindakan konkret untuk kebermanfaatan sosial. Karena itu, ia mendukung penuh upaya pemerintah Indonesia yang menjadikan Kebudayaan sebagai investasi untuk membangun masa depan dan peradaban bangsa.
“UU Nomor 5 tahun 2017 itu bagi saya keren banget. UU seperti itu tidak ada di Spanyol—saya kan separuh tahun tinggal di Spanyol. UU [Pemajuan Kebudayaan] itu sangat penting. Ada elemen pengembangan dan pemanfaatan Kebudayaan, dimana sebuah karya seni ditransformasi menjadi karya seni yang lain,” katanya.
“Contohnya bisa kita lihat dalam kasus ‘Romeo and Juliet’ karya Shakespeare. Di Amerika, kita melihat versi filmnya yang diperankan Leonardo DiCaprio, dibawa ke zaman modern. Nah, saya pikir Kebudayaan bisa hidup kalau kita bisa mengadaptasinya ke masa kontemporer. Saya sendiri membuat Rapsodia Nusantara berdasarkan lagu-lagu daerah Indonesia yang bisa dimainkan oleh pianis-pianis di seluruh dunia karena saya tulis dalam bentuk partitur, itu bahasa universal, yang saya kembangkan menjadi musik piano yang virtuosic dan bisa dimainkan di dalam konser untuk menunjukkan kemampuan artistik mereka.”
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.