Depolitisasi Isu Air di Indonesia
Meningkatnya jumlah penduduk di berbagai belahan dunia telah membuat kebutuhan dan permintaan atas air bersih terus mengalami lonjakan. Dengan meningkatnya risiko iklim akibat kenaikan suhu rata-rata dunia, sumber-sumber air terus mengalami tekanan. Karenanya, implikasi isu kelangkaan air terhadap relasi sosial-politik menjadi salah satu fenomena yang menarik untuk dikaji.
Dalam platform pencari literatur akademik seperti Google Scholar, kajian mengenai isu air dengan perspektif politik telah banyak dilakukan oleh para ilmuwan di negara-negara di Eropa dan Amerika Serikat. Studi-studi ekonomi politik yang dilakukan oleh Erik Swyngedouw dan ekologi politik oleh Karen Bakker adalah segelintir contohnya.
Di Indonesia, penelitian tentang isu air sebenarnya telah cukup banyak dilakukan terutama oleh ilmuwan yang bergelut dengan isu kesehatan lingkungan maupun kesehatan masyarakat. Hanya saja, masih sedikit ilmuwan yang melakukan kajian terhadap isu air menggunakan perspektif politik. Adapun riset-riset terkait isu air dengan analisis politik yang telah ada hanya sebatas untuk kepentingan memenuhi kelulusan studi dan teronggok dalam repositori perguruan tinggi.
Air dan Dimensi Sosial-Politiknya
Bagi kehidupan manusia, air merupakan sumber daya yang tak bisa tergantikan, apalagi bila mengingat sekitar 70% tubuh manusia tersusun dari air. Air juga memiliki nilai materialitas yang berbeda bila dibandingkan dengan batu bara, minyak, emas, atau sumber daya mineral lainnya.
Sifat-sifat unik air menjadikannya penting dan spesial. Pertama, air memiliki siklusnya sendiri (siklus hidrologi). Air mengalir dari tempat tinggi ke tempat yang rendah, sehingga membuatnya tidak mudah untuk dikelola, diakumulasi dan dimiliki. Karena itu, aliran air seringkali tidak sejalan dengan logika ruang dan batas administrasi yang dibentuk manusia.
Kedua, ketersediaan air terdistribusikan secara tidak merata dan sangat bergantung pada situasi serta konteks geomorfologi dan geologi tertentu. Karenanya, usaha untuk mendapatkan, menyimpan, serta menjaga ketersediaannya memerlukan biaya yang tidak sedikit dan rentan menimbulkan perselisihan. Dalam hal ini, interaksi antara sifat alamiah air dengan konteks sosial, kultural, politik dan ekonomi membuat materialitas air menjadi kompleks. Pada titik ini, problem air tak lagi bisa dipandang semata-mata persoalan alam belaka, melainkan ada unsur sosio-politik di dalamnya.
Salah satu bentuk interaksi tersebut mewujud lewat debat panjang antara publik versus privat – yang bahkan kini belum usai – tentang siapa yang memiliki hak dan bagaimana air seharusnya dikelola. Karenanya, tidak mengherankan bila perebutan akses air disebut-sebut sebagai persoalan paling penting abad 21, yang berpotensi mengakibatkan peperangan meskipun belum terbukti dalam lintasan sejarah.
Selain itu, dari sudut pandang hubunganya dengan manusia, keberadaan dan keberlanjutan sumber air juga sangat bergantung pada aktivitas masyarakat yang ada di sekitarnya, baik perekonomian, agrikultur, hingga aktivitas sosial (termasuk di dalamnya aktivitas religiositas). Krisis air di Yogyakarta akibat masifnya pembangunan hotel menjadi contoh tepat untuk hal ini.
Dengan demikian, di tengah masyarakat yang semakin modern dan kompleks, serta faktor eksternal (perubahan iklim) yang tak bisa dielakkan, tidak bisa dimungkiri bahwa air memiliki dimensi yang luas, termasuk dimensi sosial dan politik.
Dominasi Kepakaran Ilmu Teknik dan Ilmu Alam
Adanya anggapan bahwa air tak memiliki dimensi politis secara tidak langsung dipengaruhi oleh dominasi kepakaran tertentu yang lebih dahulu mengkaji isu air, seperti ilmu-ilmu teknik dan ilmu alam. Harus diakui bahwa abad ke-20 menjadi periode puncak dominasi kepakaran teknik dan ilmu alam dalam pengelolaan air lewat hydraulic mission di berbagai belahan dunia. Periode ini menjadi tonggak bagaimana rekayasa manusia dalam mengontrol dan mengatur air (alam) masif dilakukan lewat pembangunan infrastruktur seperti bendungan dan saluran irigasi.
Karenanya, tidak mengherankan bila studi-studi tentang air lebih banyak berfokus pada topik kajian pengelolaan saluran irigasi dan pertanian. Selain itu, ada juga kajian dengan pendekatan manajerial-teknikal untuk mengontrol ketersediaan (kuantitas) dan kualitas air dengan mengelola secara terintegrasi bentuk-bentuk geomorfologi bumi (danau, daerah aliran sungai, dan cekungan air tanah), termasuk di antaranya studi yang mendiskusikan tentang pengelolaan air yang terintegrasi (Integrated Water Resources Management/IWRM).
Lebih jauh, dominasi cabang dan bidang ilmu teknik dan ilmu alam yang digunakan untuk mengelola air juga berkaitan erat dengan dominasi peran negara. Pengetahuan yang ada dikerahkan sedemikian rupa untuk memanfaatkan, mengontrol, dan mengatur tata air demi pembangunan serta peningkatan ekonomi.
Di Indonesia, pendekatan pengelolaan air yang didominasi oleh pendekatan manajerial-teknikal itu terepresentasi dalam kebijakan-kebijakan yang ada. Misalnya, kebijakan Presiden Joko Widodo yang menargetkan untuk membangun sebanyak 61 bendungan sampai akhir 2024.
Namun, pendekatan dan dominasi perspektif ilmu teknik dan ilmu alam dalam mengelola air tersebut belakangan dipertanyakan efektivitasnya. Kenyataannya, pengelolaan air yang ada saat ini membuat banyak orang kehilangan rumah, serta meningkatnya biaya pembangunan hingga perawatan.
Governance dan Depolitisasi Isu Air
Minimnya kajian air dari perspektif politik juga erat kaitanya dengan gelontoran dana lewat proyek-proyek lembaga donor yang berkaitan dengan isu air. Sebagian besar proyek berfokus pada penyediaan infrastruktur besar seperti tanggul, embung, dan juga infrastruktur sumber air minum untuk warga, yang mana sejalan dengan misi pembangunan lembaga donor untuk meningkatkan akses air.
Penelitian-penelitian yang ada juga seringkali dikombinasikan dengan pendekatan governance (tata kelola), seolah-olah pendekatan ini bisa menjadi panacea–solusi atas semua persoalan air. Pun demikian, dalam studi-studi air, konsep governance sendiri dimaknai secara beragam dan cenderung sangat cair sehingga belum ada kesepakatan di antara para ahli.
Dominasi-dominasi kajian yang ada (ilmu-ilmu teknik dan ilmu alam), dalam batas tertentu memberikan sumbangsih terhadap minimnya kajian air dengan perspektif politik, yakni tentang asymmetrical power relationship (ketimpangan relasi kuasa). Studi-studi yang ada justru menjadi semacam ‘apparatus’ yang menginduksikan pemahaman bahwa air dan fenomena yang melingkupinya cenderung tidak memiliki dimensi politik.
Meski demikian, bukan berarti kajian-kajian governance, dan studi yang terinspirasi atau didorong oleh bantuan lembaga donor tersebut tidak penting. Penelitian-penelitian yang ada di antaranya mampu memberikan perspektif alternatif dan memberikan solusi terhadap isu pembangunan yang berkaitan dengan akses air. Sayangnya, kajian-kajian tersebut seringkali abai untuk melihat struktur dan relasi kuasa yang timpang pada isu air.
Dua Strategi
Melihat situasi demikian, setidaknya ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mendorong perubahan di tengah situasi yang belum ideal seperti di atas.
Pertama, yang paling mendasar, yakni pada level pengetahuan, kita perlu mengubah cara pandang kita terhadap isu air. Di tengah kompleksitas kehidupan manusia beserta implikasi-implikasi yang tak terhindarkan atas dorongan modernisasi, isu atau problem air juga harus dilihat sebagai hal yang bersifat politis. Hal ini berarti problem air tidak bisa lagi dibatasi atau hanya dimaknai sebagai persoalan siklus alam serta dilepaskan begitu saja dari konteks sosial-politiknya. Singkatnya, dimensi ekonomi, sosial dan politik harus hadir secara inheren dalam jantung analisis dan perdebatan, bukan sekadar konteks semata dalam setiap perbincangan terkait isu atau problem atas air. Relasi keduanya menunjukkan pentingnya memahami relasi alam dengan manusia (human and environmental relationship) secara lebih setara. Keduanya mesti dipahami sebagai ‘pihak-pihak’ yang saling membentuk dan memengaruhi satu sama lain. Dengan kata lain, riset-riset interdisipliner, yang menggabungkan perspektif ilmu-ilmu sains dan ilmu-ilmu sosial-humaniora, mesti ditingkatkan untuk memahami dan mengatasi isu-isu terkait air secara komprehensif dan inklusif.
Kedua, mendorong perluasan kajian air baik dalam tingkat pendekatan yang digunakan dan perluasan cakupan publikasi dalam bentuk yang beragam dan lebih luwes. Artinya, penting untuk mendorong pembelajar, termasuk para peneliti, untuk mengkaji isu air dengan menggunakan pendekatan yang beragam, termasuk pendekatan/pisau analisis sosial-politik.
Saya sendiri berpendapat bahwa terbatasnya kajian air dalam perspektif sosial-politik bukan karena belum adanya kajian, melainkan karena berbagai topik penelitian tentang air yang telah ada teronggok di sudut-sudut sepi jutaan byte awan penyimpanan milik perguruan tinggi. Kajian-kajian air yang terendap itu lepas dari radar jangkauan keterbacaan publik lantaran terkendala perbedaan bahasa atau peliknya konsep kajian yang ada, sehingga tak menarik minat publik. Karena itu, isu mendesak lainnya adalah melakukan diversifikasi bentuk dan jenis kajian atas isu air supaya lebih mudah dipahami dan dikonsumsi oleh publik.
Editor: Abul Muamar
Publikasikan thought leadership dan wawasan Anda bersama Green Network Asia, pelajari Panduan Artikel Opini kami
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Dias Prasongko adalah peneliti junior pada the Research Centre for Politics and Government (PolGov), Universitas Gadjah Mada. Ia terlibat dalam banyak kegiatan riset dengan topik kajian tata kelola dan politik air, rights to water dan natural resource governance. Ia tertarik pada isu-isu terkait lingkungan, energi, dan air di kawasan urban.