Investasi Hijau Menuju Indonesia Emas 2045 dari Perspektif Pengambilan Kebijakan
Meningkatkan kesadaran akan perubahan iklim dan keberlanjutan di Indonesia merupakan perjuangan yang berat, namun ada beberapa kemajuan. Pada Debat Wakil Presiden pemilu 2024, disebutkan beberapa istilah seperti ‘greenflation’, penyimpanan karbon, dan konversi ekologi. Hal ini seharusnya memberikan petunjuk arah pertumbuhan Indonesia, dengan menekankan pembangunan berkelanjutan, transisi yang adil, dan investasi hijau, namun apakah kita siap?
Harapan vs Kenyataan
Fakta yang menjadi permasalahan adalah saat ini, pemerintah belum memahami arah yang benar-benar berkelanjutan. Pengabaian negara ini terhadap perubahan iklim diperkirakan akan menimbulkan dampak negatif. Pada tahun 2022, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas memperkirakan potensi kerugian ekonomi akibat perubahan iklim mencapai Rp544 triliun selama periode 2020-2024.
Kerusakan lingkungan dan sosial yang diakibatkan oleh investasi di Morowali merupakan salah satu bukti sahih kurangnya perhatian terhadap prinsip keberlanjutan dalam rencana pembangunan kita. Meskipun pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut telah mencapai dua digit (20,34% pada tahun 2023), namun angka kemiskinan di wilayah tersebut juga masih berada pada angka dua digit (12,5% pada tahun 2022). Hal ini sejalan dengan teori kurva lingkungan Kuznets yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi di negara berkembang linier dengan tingkat kerusakan ekologi.
Sedangkan Indeks Kinerja Lingkungan (Environmental Performance Index/EPI) memberi Indonesia skor 28,20 dari 100 (peringkat 164 dari 180 negara). Selain itu, Kementerian ESDM memperkirakan nilai investasi di sektor energi terbarukan akan mengalami penurunan sebesar 6,3% sepanjang tahun 2023 dibandingkan tahun 2022. Target investasi yang saat ini dikejar terkesan mengabaikan semangat keberlanjutan dan permisif terhadap investasi destruktif.
Oleh karena itu, keseriusan negara ini dalam mendukung investasi hijau tampak palsu – hanya sekadar basa-basi. Apa yang disampaikan pemerintah selama ini tampaknya berbanding terbalik dengan fakta dan kenyataan.
Urgensi Investasi Hijau
Penerapan investasi hijau merupakan hal mendesak di tengah tantangan perubahan iklim global. Kerusakan lingkungan akibat maraknya praktik-praktik tidak berkelanjutan merupakan konsekuensi dari keinginan mengejar pertumbuhan ekonomi, khususnya di negara-negara berkembang.
Menurut Simon Kuznets, pada fase awal pertumbuhan ekonomi, polusi akan meningkat dan kualitas lingkungan menurun. Di sinilah posisi kita sekarang. Namun, setelah tingkat pendapatan per kapita tertentu (yang bervariasi untuk berbagai indikator), trennya berbalik sehingga pada tingkat pendapatan tinggi, pertumbuhan ekonomi mengarah pada perbaikan lingkungan. Inilah tujuan akhir dari investasi hijau, yaitu menghasilkan pertumbuhan yang berdampak positif pada kualitas lingkungan.
Dalam jangka panjang, Indonesia telah memasukkan investasi hijau sebagai bagian dari pencapaian visi Indonesia Emas 2045. Pemerintah telah mencanangkan arah kebijakan penerapan ekonomi hijau berbasis pembangunan rendah karbon, yang salah satunya adalah memperkuat penerapan sistem insentif dan disinsentif fiskal dan nonfiskal yang berkeadilan. Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045 menyatakan bahwa pemerintah akan mengembangkan pembiayaan hijau dan menerapkan harga karbon untuk mendukung investasi hijau.
Komitmen pemerintah ke depan untuk memperkuat penerapan ekonomi hijau juga tertuang dalam visi dan misi presiden terpilih, yakni Asta Cita. Sekilas, Asta Cita yang diusung Prabowo sejalan dengan RPJPN yang bertujuan untuk mempercepat transisi energi, menerapkan ekonomi sirkular, mengembangkan transportasi hijau, dan mengadopsi teknologi hijau. Tentu saja, menjadi tanggung jawab besar bagi pemerintahan Prabowo untuk mengelola lingkungan hidup negara kita dengan lebih baik dan membuktikan Asta Cita bukan sekadar janji politik kepada publik.
Setumpuk Pekerjaan Rumah
Permasalahannya saat ini adalah hampir tidak ada definisi yang jelas mengenai investasi hijau dalam kamus kelembagaan pemerintah Indonesia. Selain itu, Indonesia juga tidak memiliki peta jalan untuk rencana investasi hijau. Hal ini mengakibatkan tidak adanya arahan yang jelas bagi pemerintah pusat dan daerah dalam menyikapi permasalahan ini. Indonesia seperti sedang berjalan menuju konversi ekologis tanpa panduan apa pun.
Investasi hijau telah dibahas oleh publik namun belum menembus pikiran para pengambil kebijakan. Belum adanya payung regulasi investasi hijau di tingkat pusat membuat daerah lain tidak memiliki acuan yang jelas. Pada akhirnya, penerapan investasi hijau biasanya hanya bergantung pada niat baik dan antusiasme daerah. Alhasil, jumlah daerah yang berkomitmen dan memiliki produk hukum terkait investasi hijau bisa dihitung dengan jari.
Tata kelola pembangunan berkelanjutan dan investasi hijau di Indonesia tidak berada di bawah naungan lembaga setingkat kementerian. Di luar negeri, negara-negara seperti Georgia dan Kroasia menempatkan permasalahan ini sebagai prioritas dan melembagakannya ke dalam Kementerian Ekonomi dan Pembangunan Berkelanjutan. Akibatnya, tidak adanya perencanaan investasi hijau yang terpusat juga berarti tidak adanya dukungan anggaran. Sebagai perbandingan, Korea Selatan mengalokasikan 2% PDB-nya untuk mendukung investasi hijau.
Perwujudan investasi hijau harus didukung oleh kebijakan dan penganggaran yang konkret. Oleh karena itu, pelembagaan tingkat tinggi merupakan langkah awal yang penting.
Menuju Realisasi
Ada beberapa jalan yang dapat ditempuh pemerintah untuk mendukung investasi hijau. Salah satunya dengan memaksa perusahaan yang terlibat dalam bisnis eksploitatif untuk menyiapkan Dana Kekayaan Negara (Sovereign Wealth Fund/SWF). Perusahaan pelat merah seperti Pertamina bisa menjadi pionir penerapan SWF dalam keuangan internalnya. Praktik ini berlaku di Norwegia, mewajibkan perusahaan yang eksploitatif menyisihkan 3% keuntungan mereka untuk SWF. Timor Leste juga telah menerapkan Petroleum Fund.
Penerapan SWF merupakan wujud komitmen negara dalam menciptakan keadilan lintas generasi. Dana ini dapat menjadi cara untuk memastikan bahwa manfaat eksplorasi sumber daya mineral tidak hanya kerusakan, melainkan dapat diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tentunya, jika Indonesia masih menjalankan paradigma keadilan generasi yang ada saat ini, maka ketahanan negara akan dipertaruhkan di masa depan, terutama ketika sumber daya alam semakin langka.
Jalan reformis lainnya adalah memperkuat lembaga-lembaga yang berfokus pada keberlanjutan dan ekonomi hijau. Jika pembentukan kementerian dianggap sebagai bagian dari penguatan kelembagaan, negara dapat membentuk forum multipihak mulai dari pusat hingga daerah. Kenyataan selama ini menunjukkan bahwa keterlibatan yang ada hanya sebatas formalitas saja. Hal ini berbeda dengan yang ada di Swedia yang terbuka dalam perumusan kebijakan terhadap kejelasan alur rencana aksi oleh Parlemen (Riksdag).
Terakhir, dukungan penelitian oleh pemerintah sangat penting untuk memperkuat ekosistem investasi hijau. Pemerintah harus mendorong lebih banyak penelitian mengenai intelijen investasi dan identifikasi beragam potensi ekonomi hijau di seluruh wilayah. Kerangka kebijakan investasi hijau yang ideal akan berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi, pekerjaan hijau (green jobs), serta pendapatan negara dan daerah.
Kesimpulan
Pada akhirnya, pemerintah memiliki kekuatan teknokratis untuk mewujudkan Indonesia maju tanpa merusak lingkungan. Tentunya, platform perdagangan dan pajak karbon merupakan peluang untuk memaksa industri mengurangi emisinya. Di sisi lain, pemerintah juga harus membuka pintu kolaborasi dengan kelompok masyarakat sipil, peneliti, dunia usaha, dan aktor penting lainnya untuk mewujudkan penerapan investasi hijau demi pemerataan, kemakmuran, dan masa depan Indonesia yang berkelanjutan.
Editor: Nazalea Kusuma & Kresentia Madina
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Publikasikan thought leadership dan wawasan Anda bersama Green Network Asia, pelajari Panduan Artikel Opini kami
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Eduardo adalah Analis Kebijakan Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD). Ia juga aktif berpartisipasi dalam konferensi ilmiah dan melakukan advokasi kebijakan publik, baik di tingkat regional maupun nasional.