Sistem Silvopastura untuk Peternakan yang Lebih Adaptif terhadap Perubahan Iklim
Peternakan telah menjadi salah satu penopang utama kebutuhan protein masyarakat sekaligus mata pencaharian bagi banyak penduduk di negara berkembang, termasuk Indonesia. Namun, perubahan iklim yang semakin parah turut berdampak terhadap produktivitas peternakan. Terkait hal ini, sistem silvopastura dapat membantu menciptakan peternakan yang lebih adaptif terhadap perubahan iklim dan memastikan keamanan pangan.
Perubahan Iklim dan Peternakan: Saling Mempengaruhi
Sebagaimana sektor pertanian secara umum, peternakan turut berkontribusi signifikan dalam menyebabkan pemanasan suhu bumi yang memicu perubahan iklim melalui emisi yang dihasilkan. Laporan Global Livestock Environmental Assessment Model (GLEAM) FAO menunjukkan bahwa emisi dari rantai pasokan ternak terdiri dari metana (50%), dinitrogen oksida (24%), dan karbon dioksida (26%). Ternak ruminansia merupakan penghasil terbesar emisi gas rumah kaca (79,15) yang berasal dari sapi, kerbau, kambing, dan domba. Sedangkan sisanya berasal dari kontribusi ternak non-ruminansia seperti unggas dan babi.
Namun, pada saat yang sama, peternakan juga terdampak oleh perubahan iklim. Cuaca ekstrem yang menyebabkan peningkatan intensitas dan frekuensi kekeringan maupun banjir, turut berdampak pada kondisi lingkungan peternakan dan sumber pakan yang dibutuhkan. Perubahan iklim juga menyebabkan risiko stres hewan ternak akibat panas, meningkatnya potensi penyebaran penyakit atau wabah, gangguan ketersediaan air, menurunnya produktivitas dan kesuburan, hingga kematian massal hewan ternak.
Sistem Silvopastura sebagai Langkah Adaptif
Sistem silvopastura, atau dikenal juga sebagai wanaternak, adalah bentuk agroforestri yang mengintegrasikan kegiatan peternakan dengan kehutanan. Silvopastura banyak diupayakan untuk memaksimalkan penggunaan lahan untuk mendapatkan keuntungan ekonomi. Selain itu, sistem ini juga dapat memberikan keuntungan bagi lingkungan dengan membantu upaya rehabilitasi hutan dan lahan, khususnya di daerah-daerah kritis.
Sistem silvopastura dapat menjadi salah satu bentuk adaptasi peternakan terhadap perubahan iklim dengan mengandalkan konsep zero waste, yakni pemanfaatan dan penyediaan pakan yang berasal dari hasil sampingan tanaman serta pemanfaatan dan penyediaan pupuk kompos dari kotoran ternak. Sistem ini dapat meningkatkan kesuburan tanah dan produksi tanaman yang lebih baik, mengoptimalkan penyerapan karbon, serta menekan gas rumah kaca yang dilepaskan dari aktivitas peternakan.
Dalam sistem silvopastura, hewan ternak dapat digembalakan di lahan hutan tanaman, perkebunan, pekarangan, atau tegalan. Hewan ternak akan memanfaatkan tegakan pohon sebagai tempat bernaung pada suhu dan lingkungan yang panas. Keberadaan tegakan pohon dapat menurunkan suhu di sekitar ternak sehingga terhindar dari stres akibat peningkatan suhu bumi. Dengan cara ini, produktivitas peternakan pun meningkat tanpa meninggalkan jejak buruk terhadap lingkungan.
Sebagai contoh, di Kolombia, proyek silvopastura peternakan sapi yang mencakup 2.500 peternakan di hampir 500.000 hektare lahan berhasil meningkatkan produktivitas hewan hingga mencapai 15%. Proyek ini juga membantu menyelamatkan 50 spesies tanaman yang terancam punah dan menyerap emisi setara 1,9 juta Mg CO2eq. Di Indonesia, salah satu daerah yang telah menerapkan silvopastura adalah Nusa Tenggara Barat (NTB). Sebagai salah satu daerah produsen sapi nasional, NTB berhasil meningkatkan pendapatan rata-rata petani dengan sistem silvopastura. Daerah lainnya yang juga berhasil menerapkannya adalah Desa Sumber Salak, Kabupaten Bondowoso. Peternakan domba silvopastura di desa ini dikemas menjadi Kebun Raya Sumber Salak Silvopastura yang sekaligus menjadi magnet bagi para wisatawan.
Mewujudkan Keseimbangan
Dampak perubahan iklim diperkirakan akan semakin meluas ke berbagai sendi kehidupan, dan karenanya kita membutuhkan tindakan adaptasi dan mitigasi yang lebih kuat dan efektif. Dalam hal ini, menciptakan sistem peternakan yang adaptif dan bertanggung jawab terhadap perubahan iklim merupakan langkah krusial untuk memastikan keamanan pangan dan sumber protein yang penting. Namun, penting untuk digarisbawahi bahwa keseimbangan hanya akan dicapai jika tidak ada satu tujuan yang mengorbankan yang lain. Hal ini berarti bahwa sistem produksi pangan yang berkelanjutan, termasuk dalam peternakan, tidak boleh hanya tentang urusan mengamankan pangan, tetapi juga mesti dibarengi dengan menyelamatkan kelestarian bumi untuk masa kini dan masa mendatang.
Editor: Abul Muamar
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.