Memperkuat Ketahanan Iklim Pulau Pari dan Pulau-Pulau Kecil Lainnya

Ilustrasi: Irhan Prabasukma.
Pulau-pulau kecil berada di garis depan krisis iklim meski jejak karbonnya relatif kecil. Penduduk pulau-pulau kecil semakin terancam oleh kenaikan permukaan air laut, cuaca ekstrem, dan pemanasan laut. Hal ini adalah kenyataan bagi pulau-pulau kecil di seluruh dunia, termasuk Pulau Pari di Indonesia.
Dampak Perubahan Iklim di Pulau-Pulau Kecil Indonesia
Dampak perubahan iklim terlihat jelas di Kepulauan Seribu—gugus 116 pulau kecil di Daerah Khusus Jakarta. Penelitian telah mengungkapkan bahwa wilayah ini menghadapi peningkatan suhu sebesar 2,2°C sejak tahun 1980, kenaikan permukaan air laut 4,17 mm/tahun, dan peristiwa cuaca ekstrem yang terjadi 3 kali lebih sering. Pada tahun 1999, empat pulau di Kepulauan Seribu menghilang.
Penduduk Kepulauan Seribu yang berjumlah sekitar 28.000 orang merasakan perubahan ini dalam kehidupan sehari-hari mereka. Dalam wawancara, mereka menyebut banjir pasang surut dan tornado sebagai bahaya iklim yang paling umum, diikuti oleh abrasi dan intrusi air asin. Selain itu, 80% responden melaporkan seringnya perubahan pola cuaca/musim yang memengaruhi pendapatan harian mereka.
Risiko Tinggi di Pulau Pari
Di Kepulauan Seribu, hanya 11 dari 116 pulau yang memiliki penduduk lokal. Di antara pulau-pulau tersebut, Pulau Pari adalah yang paling sensitif terhadap keberadaan “modal alam” pesisir seperti mangrove, lamun, dan terumbu karang.
Pada tahun 2019, kurang dari 5% Pulau Pari sangat terpapar bahaya iklim yang membuatnya rentan terhadap peristiwa cuaca ekstrem dan perubahan bertahap. Kerentanan ini membuat pulau tersebut beserta penduduknya rentan terhadap dampak lingkungan dan sosial ekonomi jangka panjang.
Namun, jika perlindungan terhadap modal alam pulau tersebut tetap tidak memadai, hampir setengah dari wilayahnya akan terancam. Dalam skenario terburuk perubahan iklim, hancurnya modal alam akan membuat 70% garis pantai sangat terpapar bahaya iklim pada tahun 2040.
Dalam satu dekade terakhir Pulau Pari telah terpapar bahaya iklim yang semakin sering dan serius. Misalnya, telah terjadi abrasi parah di Pantai Bintang, banjir pasang yang semakin sering, intrusi air asin, penurunan ketersediaan air yang signifikan, dan penurunan besar-besaran tanaman darat, termasuk tanaman pangan.
Pengerukan Pasir dan Reklamasi di Sekitar Pulau Pari
Seiring dengan semakin sadarnya masyarakat setempat akan dampak perubahan iklim, mereka mulai menanam bakau di sepanjang garis pantai dan memindahkan karang pada tahun 2000 untuk melindungi lahan mereka yang tersisa dan mengurangi intrusi air asin. Selain melindungi lahan mereka dari bahaya iklim, pelestarian modal alam ini juga akan memberikan manfaat tambahan bagi pariwisata.
Namun yang membuat frustrasi, kebijakan nasional dan provinsi gagal mendukung upaya masyarakat setempat. Kebijakan yang ada malah membuka jalan bagi proyek reklamasi dan pengerukan pasir besar-besaran di pulau-pulau tetangga, seperti yang terjadi di Pulau Tengah dan Pulau Biawak. Selain itu, pada tahun 2025, pengerukan pasir bahkan meluas ke Pulau Pari, merusak terumbu karang, padang lamun, dan bibit bakau yang baru ditanam.


Studi menunjukkan bahwa degradasi pada komponen-komponen kunci ekosistem pesisir, yang bertindak sebagai penjaga alam, merupakan salah satu pendorong utama erosi pantai di sepanjang garis pantai Afrika Timur. Ancaman serupa kini muncul di Indonesia. Pengerukan pasir besar-besaran dan kerusakan sumber daya alam yang terus berlanjut di sekitar Pulau Pari akan sangat mengancam masyarakat pesisir, termasuk ketahanan pangan dan air mereka.
Mewujudkan Ketahanan Iklim Pulau-Pulau Kecil
Sejauh ini, upaya adaptasi iklim yang dilakukan oleh masyarakat dan pemerintah setempat telah mencakup restorasi mangrove, air reverse osmosis, dan swasembada sayuran dengan berbagai teknik, dan beberapa upaya lainnya. Namun, upaya-upaya tersebut tidak akan cukup tanpa komitmen dan koordinasi yang kuat dari pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat sipil.
Penegakan hukum dan kebijakan nasional yang kuat juga sangat penting. Misalnya, UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil melarang perusakan ekosistem alami, termasuk perusakan mangrove, terumbu karang, padang lamun, penambangan mineral, dan pembangunan fisik yang menyebabkan kerusakan lingkungan dan/atau merugikan masyarakat sekitar. Namun sayangnya, peraturan tersebut masih belum ditegakkan secara konsisten.
Selain itu, diperlukan dukungan internasional untuk mengatasi masalah mendesak pengerukan pasir dan reklamasi demi ketahanan Pulau Pari dan pulau-pulau kecil lainnya. Pengerukan pasir dan reklamasi harus diakui sebagai masalah publik yang kritis, yang mendesak legislator untuk menghentikan kegiatan-kegiatan tersebut di sekitar pulau-pulau yang rentan dan berpenghuni. Jika praktik-praktik yang merusak ini terus berlanjut, pulau-pulau ini akan terancam lenyap karena kerusakan hutan bakau dan terumbu karang dalam skala besar. Ekosistem vital ini memainkan peran kunci dalam mengurangi energi gelombang dan menstabilkan garis pantai, berfungsi sebagai pertahanan alami terhadap erosi pantai dan cuaca ekstrem.
Hari ini, semakin penting menyelaraskan kepentingan lokal, nasional, dan internasional untuk mempercepat aksi iklim yang akan melindungi pulau-pulau kecil yang rapuh beserta masyarakat yang bergantung padanya.
Opini ini adalah pandangan penulis pribadi dan tidak mencerminkan pandangan UNU.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia

Terima kasih telah membaca!
Berlangganan Green Network Asia untuk mendapatkan akses tanpa batas ke semua kabar dan cerita yang didesain khusus untuk membawakan wawasan lintas sektor tentang pembangunan berkelanjutan (sustainable development) dan keberlanjutan (sustainability) di Indonesia dan dunia. Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional dengan pembaruan seputar kebijakan publik & regulasi, ringkasan hasil temuan riset & laporan yang mudah dipahami, dan cerita dampak dari berbagai organisasi di pemerintahan, bisnis, dan masyarakat sipil.

Martiwi adalah Peneliti dan Academic Associate untuk Program Manajemen Air dan Sumber Daya di UNU Institute for the Advanced Study of Sustainability, Tokyo, Jepang.