Buen Vivir, Filosofi Masyarakat Adat di Pegunungan Andes yang Relevan di Tengah Krisis Ekologi

Foto: Da vid di Pexels.
Pembangunan modern yang ambisius dan pesat seringkali melibatkan eksploitasi alam dan melanggar hak-hak masyarakat adat. Di tengah kondisi demikian, filosofi Buen Vivir dalam budaya Masyarakat Adat Quechua dan Aymara di Pegunungan Andes menawarkan alternatif: hidup selaras dengan alam, menjunjung solidaritas sosial, dan menolak konsumerisme berlebihan.
Filosofi Hidup di Tengah Krisis Lingkungan
Krisis iklim semakin memburuk seiring maraknya pembangunan yang tidak bertanggung jawab. Menurut FAO, dunia telah kehilangan 420 juta hektare hutan sejak tahun 1990. Wilayah Andes dan Amazon sendiri kehilangan lebih dari 4,2 juta hektare dalam rentang tahun 2001 hingga 2017. Puncaknya, deforestasi tersebut mencapai lebih dari 426.000 hektare pada tahun 2017 saja. Sementara itu, vegetasi alami di Peru telah menurun sebesar 3,9% sejak tahun 1985, dan gletser telah mencair hampir 50% akibat perubahan iklim.
Ditambah dengan polusi, penurunan keanekaragaman hayati, dan ketidakadilan sosial, dunia benar-benar berada dalam krisis. Di tengah krisis ini, Buen Vivir menawarkan cara hidup yang menolak eksploitasi alam demi pertumbuhan material. Filosofi ini menekankan keseimbangan ekologis, distribusi yang adil, solidaritas sosial, dan kehidupan spiritual yang terintegrasi dengan lingkungan.
Menerapkan Filosofi Buen Vivir
Nilai-nilai Buen Vivir telah diadopsi sebagai kerangka hukum di Ekuador dan Bolivia. Ekuador adalah negara pertama yang mengakui Hak-Hak Alam dalam konstitusinya. Pengakuan ini memberikan dasar hukum untuk melindungi ekosistem sebagai entitas yang hidup, yang dimulai sejak tahun 2008.
Kemudian, Bolivia menyusul pada tahun 2009 dan mengesahkan Undang-Undang Hak Ibu Bumi pada 2010. Undang-undang ini menjamin hak-hak ekologis, termasuk hak untuk hidup, keanekaragaman hayati, air, udara bersih, perlindungan dari polusi, dan restorasi. Pendekatan ini mencerminkan pandangan holistik Vivir Bien, Buen Vivir versi Bolivia.
Di luar norma hukum, filosofi ini juga tertanam dan dipraktikkan di tingkat masyarakat. Masyarakat Adat Kichwa di Sarayaku, misalnya, mengembangkan deklarasi Kawsak Sacha (Hutan Hidup), yang mengakui hutan sebagai entitas hidup dengan hak-hak hukum. Mereka telah menetapkan zona-zona sakral dan menentang proyek-proyek ekstraktif, seperti pertambangan dan pengeboran minyak, tanpa persetujuan bebas, didahulukan, dan diinformasikan dari mereka.
Pentingnya Kolaborasi
Buen Vivir mencerminkan keterkaitan antara manusia, tanah, dan kosmos, yang semakin relevan di tengah tiga krisis planet—perubahan iklim, polusi, dan penurunan keanekaragaman hayati. Namun, meskipun filosofi ini telah terintegrasi ke dalam kerangka hukum, implementasinya seringkali berbenturan dengan kepentingan industri ekstraktif. Banyak proyek pertambangan dan minyak yang tetap beroperasi di wilayah adat tanpa menghormati hak-hak masyarakat lokal atau hak-hak alam yang telah diakui secara hukum.
Komunitas seperti Sarayaku di Ekuador memperkuat pertahanan teritorial mereka melalui deklarasi komunitas, kampanye global, dan diplomasi budaya. Namun, perjuangan ini membutuhkan pengakuan dan dukungan yang lebih luas dari semua pemangku kepentingan. Yang terpenting, pemerintah harus memperkuat perlindungan hukum dan sektor swasta harus beralih dari praktik business-as-usual. Sebagai bagian dari masyarakat dunia, setiap orang juga dapat belajar dari filosofi Buen Vivir—menjalani pilihan yang bertanggung jawab, mengadvokasi keadilan sosial dan lingkungan, serta menjunjung tinggi solidaritas dengan tidak meninggalkan seorang pun di belakang.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia

Berlangganan GNA Indonesia
Perkuat pengembangan kapasitas pribadi dan profesional Anda dengan wawasan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.