Dedikasi Alex Waisimon Menjaga Hutan Adat dan Satwa Endemik Papua
Tanah Papua memiliki tutupan hutan paling luas di Indonesia. Dengan luas mencapai 34 juta hektare, hutan Papua adalah rumah bagi ribuan spesies hewan dan tumbuhan, penting untuk keseimbangan ekosistem. Namun, seperti di banyak tempat lain, hutan Papua juga tidak aman dari tangan-tangan jahil. Pembalakan hutan dan perburuan satwa liar adalah dua ancaman terbesar yang mengintai hutan Papua dalam beberapa dekade terakhir.
Di Distrik Nimbokrang, Kabupaten Jayapura, Papua, Alex Waisimon berjuang untuk merawat hutan adat dan menjaga satwa-satwa endemik yang hidup di dalamnya. Meski hanya sebagian kecil dari keseluruhan hutan yang ada di Papua, dedikasi Alex sangat berarti bagi keberlangsungan hutan Papua.
Malam itu, setelah melalui satu pekan yang padat di dalam hutan, ia membagikan cerita dan pengalamannya dalam mempertahankan hutan adat beserta keanekaragaman hayati di Kampung Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang, yang termasuk dalam kawasan Lembah Grime. Suara jangkrik mengiringi sapaan ‘selamat malam’-nya dari ujung telepon.
“Saya memang tinggalnya di dekat hutan. Jadi kalau sudah malam begini dengar suara jangkrik. Bisa dengar suara saya, kan?” katanya.
Awal Mula Menjaga Hutan
Alex Waisimon lahir pada 19 September 1961 di Kampung Ombrop, Distrik Nimboran, Jayapura, sebelah utara Distrik Nimbokrang, tempat ia tinggal saat ini. Sejak lulus dari SMA, Alex merantau ke beberapa kota di Pulau Jawa, sebelum kemudian tinggal di Denpasar, Bali, bersama istri dan empat anaknya.
Puluhan tahun hidup di perantauan rupanya tak memudarkan kerinduan Alex akan tanah kelahirannya. Apalagi, sejak kecil ia sering melihat hutan adat di kampungnya dibabat oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Akhirnya, pada tahun 2014, saat usianya telah menginjak 54 tahun, ia pulang ke kampung halamannya di Kampung Yenggu, Distrik Nimboran, membawa serta keluarganya.
Setiba di Kampung Yenggu, Alex kembali menyaksikan bagaimana maraknya illegal logging dan perburuan satwa endemik, seperti burung cendrawasih, mambruk, dan kasuari. Ironisnya, para pelakunya termasuk dari keluarga sukunya sendiri. Di sepanjang tepi jalan lintas Jayapura-Sarmi, aktivitas jual beli burung-burung endemik bahkan menjadi pemandangan yang mudah dijumpai.
“Penebangan hutan sudah berlangsung selama 40 atau 50 tahun di sini, dan pasti juga ada perburuan satwa. Ada illegal logging, ada perburuan satwa. Ada juga yang dijual ke luar Papua. Pelakunya orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Setiap harinya itu saya hitung ada 30 truk besar pembawa kayu berlalu-lalang,” katanya.
Yang lebih menyedihkan, perburuan satwa liar menjadi semakin marak karena hasrat para wisatawan yang ingin menjadikan hewan-hewan eksotik tersebut sebagai peliharaan. “Banyak orang yang datang, pulangnya bawa ‘oleh-oleh’ hasil perburuan. Mamalia juga diburu, seperti kanguru pohon. Mereka bahkan ada yang berburu pakai laser. Sudah canggih alat mereka,” ujar Alex.
Alex lantas mencoba menyadarkan masyarakat untuk menghentikan itu semua. Namun, upayanya gagal, dan warga marah kepadanya karena mata pencaharian mereka terusik. “Yang saya hadapi termasuk keluarga dan saudara dari suku saya sendiri. Sangat sulit. Empat bulan berjalan, kami tidak kuat, kami pulang kembali ke Denpasar,” katanya.
Namun, panggilan untuk pulang ke Tanah Papua begitu kuat. Hanya empat bulan di Denpasar, Alex kembali lagi ke Jayapura, kali ini dengan tekad yang lebih kuat dan persiapan yang lebih matang. Ia tidak lagi pulang ke Kampung Yenggu, melainkan ke Kampung Rhepang Muaif, Distrik Nimbokrang. Di sini, upayanya untuk menyelamatkan hutan dan satwa liar sedikit lebih mulus.
“Tetapi tidak semudah membalikkan telapak tangan. Selama satu setengah tahun pertama, penduduk lokal melihat saya sebagai orang gila yang baru pulang. Saya dianggap stres berat di selama perantauan karena melihat saya masuk hutan pagi, keluar malam. Tetapi saya terima saja itu karena saya harus bertahan dengan cita-cita saya untuk menyelamatkan hutan Papua,” tuturnya.
Mengembangkan Ekowisata Pengamatan Burung
Mei 2015, setelah berhasil meyakinkan kelompok masyarakat pemilik hak ulayat di Distrik Nimbokrang akan pentingnya konservasi hutan, Alex menginisiasi ekowisata pengamatan burung dengan membentuk kelompok Isyo Hill yang beranggotakan 15 orang. Ekowisata tersebut diberi nama ‘Isyo Hill’s Bird Watching’.
Tujuannya tak lain adalah untuk menghentikan pembalakan hutan dan perburuan satwa liar dengan menyediakan sumber penghasilan alternatif bagi masyarakat lokal. Bagi Alex, ekowisata berkelanjutan berbasis masyarakat lokal merupakan jalan yang paling memungkinkan di kampungnya untuk mencapai tujuan itu.
Setiap harinya, Alex dan rekan-rekan kelompoknya bertungkus lumus menyelamatkan hutan sembari mengamati perilaku burung, mencari titik-titik pengamatan yang pas, lalu menandainya untuk memastikan bahwa burung-burung di hutan selalu dapat diamati oleh wisatawan. Dari pos-pos pemantauan, mereka juga melakukan patroli hutan setiap hari untuk memastikan tidak ada aktivitas pembalakan.
Sembari memantau hutan dan burung-burung, mereka juga menyebarkan larangan untuk membuang sampah dan racun ke sungai. Dalam waktu beberapa bulan sejak terbentuk, Alex menyebut bahwa kelompok Isyo Hill berhasil mencegah puluhan pembalakan liar di kawasan hutan Rhepang Muaif.
“Lewat ekowisata, hutan bisa diselamatkan. Kalau tidak dijadikan ekowisata, hutan akan terus dibabat. Ini jadi semacam ‘jalan tengah’ antara menyelamatkan hutan dan menumbuhkan ekonomi warga lokal,” ujar Alex.
Isyo Hill’s Bird Watching berada di area hutan adat seluas 19 hektare. Dari awalnya di Kampung Rhepang Muaif, perlahan-lahan konsep ekowisata ini mulai diadaptasi dan direplikasi di beberapa kampung dan distrik tetangga seperti Kampung Yenggu Baru dan Yenggu Lama di Distrik Nimboran, dan Kampung Sawesuma di Distrik Unurum Guay. Sejauh ini, kata Alex, sudah ada puluhan masyarakat dari 16 suku yang terlibat dalam pengembangan ekowisata tersebut.
Selain pemantauan burung, kampung-kampung tersebut juga membuka jasa kemah, jelajah hutan, pendakian bukit, dan penyusuran danau. Setiap tahunnya, pengunjung yang datang sekitar 300-400 orang, dan kebanyakan mereka adalah para pecinta alam. Alex bilang, “Intinya kita kembali ke jasling (jasa lingkungan) yang sudah dilakukan nenek moyang kita sejak dulu. Banyak jasling yang bisa kita kembangkan. Orang Papua itu dekat dengan hutan, danau, sungai, dan laut. Sekarang kita kembangkan supaya orang lain bisa datang untuk menikmati tanpa merusak.”
Perlahan-lahan, masyarakat lokal yang dulunya sering menebang pohon dan berburu satwa liar untuk mendapatkan penghasilan tambahan, kini mulai sadar akan dampak buruk yang akan mereka hadapi jika itu terus dilanjutkan. Mereka kini ikut menjadi bagian dari upaya konservasi yang diinisiasi Alex.
“Sudah mulai ada perubahan perilaku, khususnya suku-suku di kawasan Isyo Hill beroperasi. Hutan mulai terjaga. Perburuan satwa mulai berkurang. Saya sering bilang ke mereka, ‘Kau tangkap cendrawasih satu ekor kau paling-paling cuma dapat 1 juta (rupiah). Kau rugi besar. Anak dan cucumu nanti tidak akan bisa melihatnya lagi.’ Lama-lama mereka sadar. Saya ajak mereka jadi tour guide, mereka dapat penghasilan dari situ,” kata Alex.
Mendirikan Sekolah Alam
Untuk mendukung misinya menyelamatkan hutan dan satwa endemik Papua, Alex mendirikan Koperasi Yombe Yawa Datum pada tahun 2017. Yombe Yawa Datum berasal dari bahasa Genyem yang berarti ‘tumbuh untuk kita semua’. Lewat koperasi ini, Alex menggagas sekolah alam yang mengajarkan anak-anak dan pemuda setempat ilmu pengetahuan tentang alam, jenis-jenis spesies hewan dan tumbuhan liar di hutan, dan bagaimana menjaga itu semua agar lestari.
Sempat tertatih-tatih di awal, Sekolah Alam Yombe Yawa Datum kini telah memiliki perpustakaan dan membagi pengajaran ke dalam tiga kelas, yaitu kelas Noken, kelas Bahasa Adat Papua, dan kelas Bahasa Inggris. Mahasiswa dari Universitas Cendrawasih dan Komunitas Earth Hour Papua sering terlibat secara sukarela dalam sekolah alam ini.
“Pesertanya anak-anak di sekitar Isyo Hill’s. Usianya tidak dibatasi. Ada yang masih kecil, ada remaja, ada anak-anak muda. Ada anak-anak dari 16 suku yang ikut. Saya menargetkan terus bertambah, agar pengetahuan tentang konservasi ini semakin luas supaya hutan Papua bisa diselamatkan,” kata Alex.
Di samping sekolah alam, Koperasi Yombe Yawa Datum juga memotori usaha sampingan dari wisata pemantauan burung, seperti penginapan, jasa pemandu wisatawan, rumah makan dengan kuliner khas Papua seperti papeda dan ikan kuah kuning, dan pembuatan kerajinan noken dan gelang kayu sebagai cenderamata.
“Kita sedang berusaha meningkatkan usaha kerajinan tangan ini supaya kita bisa sediakan oleh-oleh khas Papua yang baik untuk pengunjung, bukan oleh-oleh hasil perburuan,” ujar Alex.
Menyelamatkan Hutan Papua
Menyelamatkan hutan Papua bukanlah tugas mudah. Hutan yang telah Alex coba selamatkan lewat ekowisata hanya sebagian kecil dari luas hutan yang ada di Tanah Papua.
“Ini semua tidak mudah. Apalagi orang kecil seperti saya, tidak mungkin bisa mencegah sepenuhnya pembalakan hutan itu, apalagi kalau harus menghadapi oknum-oknum aparat yang membekingi,” kata peraih penghargaan Kalpataru dan ASEAN Biodiversity Hero 2017 ini.
Untuk itu, Alex mengajak semua pihak untuk bersama-sama menjaga hutan Papua dengan peran masing-masing. Perlindungan dan pengakuan terhadap masyarakat adat serta pemenuhan hak-hak mereka, diyakini Alex sebagai salah satu langkah kunci untuk mencapai tujuan itu.
“Masyarakat adat sudah melindungi hutan sejak dulu. Lalu apa yang mereka dapatkan dari perjuangan panjang itu? Malah hutan terus dirusak. Negara harus memahami itu dengan baik. Permohonan-permohonan masyarakat adat, seperti hak atas hutan adat, kampung adat, dan lain sebagainya harus dipenuhi. Jangan lagi ada ekspansi kebun kelapa sawit korporat atau mining (pertambangan) di Papua. Masyarakat adat ingin hidup tenang bersama alam, karena itulah kekayaan mereka,” kata Alex mengakhiri.
Jika Anda melihat konten kami bermanfaat, harap pertimbangkan untuk berlangganan Green Network Asia – Indonesia.
Langganan Anda akan menguntungkan Anda secara pribadi dan profesional, dan dapat menjadi cara terbaik untuk mendukung produksi konten-konten yang tersedia untuk masyarakat umum ini.
Amar adalah Manajer Editorial Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah lulusan Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor.