Kerusakan Lahan Gambut yang Terus Berlanjut di Kalimantan Tengah

Foto: Muhammad Pasya Ramadhan di Wikimedia Commons.
Lahan gambut termasuk salah satu bentang alam yang turut menyeimbangkan kehidupan di Bumi. Oleh karena itu, perlindungan dan pelestarian lahan gambut menjadi sangat penting demi keberlangsungan hidup manusia dan keanekaragaman hayati. Namun sayangnya, hasil studi yang dilakukan oleh Kaoem Telapak bersama Pantau Gambut menunjukkan bahwa kerusakan lahan gambut masih terus berlanjut di Kalimantan Tengah, salah satu daerah dengan lahan gambut terluas di Indonesia.
Lahan Gambut di Indonesia
Ekosistem gambut di Indonesia mencakup 8 persen dari total lahan gambut di dunia. Menurut Pantau Gambut, lahan gambut tropis di Indonesia bahkan merupakan yang terluas di dunia, mencapai 13,43 juta hektare yang tersebar terutama di tiga pulau besar: Sumatera (5,8 juta hektare), Kalimantan (4,5 juta hektare), dan Papua (3 juta hektare).
Lahan gambut merupakan lahan basah yang mampu menyimpan karbon dalam jumlah besar. Namun, lahan gambut di Indonesia terus menghadapi tekanan, terutama alih fungsi lahan untuk keperluan industri. Saat ini, terdapat 9,5 juta hektare ekosistem gambut yang berada dalam penguasaan izin perkebunan kelapa sawit, logging, dan HTI (Hutan Tanaman Industri). Degradasi lahan gambut terutama diakibatkan oleh pembukaan lahan dengan cara dibakar, pembangunan drainase, dan lalu lalang transportasi produk hutan dan nonhutan yang menyebabkan air gambut terkuras sehingga menjadi kering dan mudah terbakar.
Kerusakan Lahan Gambut di Kalimantan Tengah
Luas lahan gambut di Kalimantan Tengah diperkirakan mencapai 2,65 juta hektare, atau sekitar 16,83% dari total luas wilayah provinsi tersebut. Namun sayangnya, Kalimantan Tengah termasuk provinsi dengan Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG) yang terbebani oleh konsesi HGU dan memiliki kerentanan tinggi paling luas di Indonesia. Selain itu, di Kalimantan Tengah juga banyak terdapat perkebunan sawit ilegal yang berada dalam kawasan hutan, mencapai 817.693 hektare.
Studi Kaoem Telapak bersama Pantau Gambut yang dilakukan di Kabupaten Pulang Pisau dan Kabupaten Barito Selatan menunjukkan adanya sejumlah perusahaan perkebunan kelapa sawit yang melakukan aktivitas yang merusak lahan gambut. Perusahaan-perusahaan tersebut masih menggunakan metode pengeringan lahan gambut dengan cara membakar dan membuat drainase yang mengakibatkan pelepasan emisi karbon dalam jumlah besar. Selain menimbulkan kerugian ekologis, aktivitas perusahaan tersebut juga berdampak pada masyarakat adat yang sangat bergantung pada ekosistem gambut.
Lebih lanjut, studi tersebut juga mengungkap bahwa kerusakan lahan gambut sertai oleh adanya sengketa lahan, intimidasi dan kriminalisasi terhadap masyarakat setempat, hingga pelanggaran terhadap regulasi terkait Indonesian Sustainable Palm Oil (ISPO), yang menekankan pada aspek keberlanjutan dalam industri kelapa sawit.
Memperbaiki Tata Kelola Perkebunan Kelapa Sawit
Laporan tersebut ditutup dengan beberapa rekomendasi untuk memperbaiki tata kelola perkebunan kelapa sawit di lahan gambut, di antaranya:
- Mengimplementasikan prinsip “No Go Zone” di lahan gambut, yang melarang segala bentuk aktivitas ekonomi di ekosistem gambut, mengintegrasikan pengawasan berbasis teknologi, memastikan penegakan hukum tanpa kompromi, dan mengharmonisasikan kebijakan nasional dengan standar internasional seperti EUDR (European Union Regulation on Deforestation-free Regulation) untuk memastikan perlindungan gambut sebagai solusi strategis dalam mitigasi perubahan iklim, pelestarian keanekaragaman hayati, dan keberlanjutan rantai pasok global.
- Meningkatkan peran pemerintah daerah dan pemerintah pusat dalam memastikan kepatuhan perusahaan kelapa sawit dalam melaksanakan ketentuan sertifikasi ISPO dan menjalankan prinsip serta kriterianya.
- Memperkuat regulasi dan penegakan hukum, termasuk meninjau kelemahan implementasi ISPO dan mengembangkan peraturan yang lebih komprehensif terkait perlindungan ekosistem gambut, termasuk mekanisme sanksi yang tegas atas pelanggaran seperti pembakaran lahan dan konversi ilegal.
- Mewajibkan perusahaan dengan konsesi di lahan gambut untuk melaporkan informasi rinci terkait aktivitas mereka, termasuk laporan dampak lingkungan sesuai regulasi nasional dan internasional.
- Mengoptimalkan keterlibatan masyarakat adat dan komunitas lokal dalam pengambilan keputusan tentang pengelolaan lahan gambut dan memberikan edukasi dan dukungan teknis kepada mereka untuk mempromosikan pengelolaan lahan berbasis komunitas.
Amar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah alumnus Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor untuk beberapa media tingkat nasional di Indonesia. Ia juga adalah penulis, editor, dan penerjemah, dengan minat khusus pada isu-isu sosial-ekonomi dan lingkungan.