Mengatasi Pengangguran Disabilitas: Eksklusi Sistemik dan Diskriminasi yang Terus Berlanjut
Foto: Decry.Yae di Unsplash.
Saat membahas isu pengangguran, sejauh mana Anda berpikir tentang nasib orang-orang dengan disabilitas? Seperti halnya orang pada umumnya, penyandang disabilitas atau difabel juga membutuhkan pekerjaan untuk dapat memenuhi kebutuhan hidup. Namun mirisnya, orang dengan disabilitas seringkali sulit memperoleh pekerjaan–apalagi pekerjaan yang layak–karena akses dan kesempatan yang terbatas serta diskriminasi yang langgeng di tengah masyarakat. Hal ini telah menyebabkan tingginya angka pengangguran disabilitas di Indonesia.
Isu yang Senyap
Pengangguran disabilitas merupakan masalah serius yang sayangnya relatif kurang mendapat perhatian. Saat isu pengangguran merebak, penyandang disabilitas yang tidak memiliki pekerjaan, tidak menempuh pendidikan, maupun tidak menjalani pelatihan (NEET) relatif jarang mendapat sorotan, termasuk disabilitas muda. Padahal, penyandang disabilitas adalah warga negara yang juga memerlukan—bahkan seringkali sangat memerlukan—pekerjaan untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, termasuk kebutuhan-kebutuhan spesifik yang berkaitan dengan kondisi disabilitas mereka.
Isu ini menjadi kian serius ketika melihat populasi orang dengan disabilitas di Indonesia yang, menurut hasil Susenas 2020, mencapai 22,9 juta jiwa (sekitar 8,5% dari total penduduk). Angka sebenarnya mungkin jauh lebih tinggi, terutama jika mengacu pada pedoman klasifikasi disabilitas dari Washington Group on Disability Statistics yang tidak hanya mempertimbangkan disabilitas fisik, tetapi juga mental, intelektual, dan sensorik. Dari angka tersebut, jumlah penyandang disabilitas yang bekerja tidak sampai 1 juta orang (tepatnya 932.435 orang) pada tahun 2024, dengan mayoritas (83%) bekerja di sektor informal yang minim perlindungan sosial. Dengan jumlah tersebut, persentasenya bahkan hanya 0,64% dari total jumlah pekerja di Indonesia.
“Masalah pengangguran disabilitas di Indonesia ini parah banget. Lebih parah dari pengangguran secara umum. Banyak teman disabilitas mengeluh karena gak punya pekerjaan. Saya, kan, bergabung di grup yang isinya teman-teman disabilitas. Saya sering melihat postingan-postingan mereka. Sedih banget rasanya. Walaupun ada kata-kata seperti ‘hak setara’ bagi difabel, tapi kenyataannya nol. Disabilitas masih sering dipandang sebelah mata. Diskriminasi sulit dihilangkan,” ujar Rahmat Hidayat, seorang difabel daksa asal Bandung Barat kepada Green Network Asia pada Rabu, 26 November 2025.
Eksklusi dan Diskriminasi
Diskriminasi dan stigma yang mengakar merupakan salah satu faktor utama yang menyebabkan tingginya pengangguran disabilitas. Diskriminasi terhadap penyandang disabilitas dalam lanskap ketenagakerjaan terejawantah dalam berbagai bentuk, termasuk eksklusi dari pasar tenaga kerja. Sebuah studi menyoroti tingginya probabilitas penyandang disabilitas untuk menganggur (0,8% poin rata-rata) dibandingkan angkatan kerja nondisabilitas. Selain itu, penyandang disabilitas juga lebih sulit untuk memperoleh pekerjaan di sektor formal, dengan probabilitas 2,7% poin lebih rendah dibandingkan angkatan kerja nondisabilitas.
Studi tersebut mengungkapkan bahwa tingkat keparahan disabilitas dan jumlah kesulitan fungsional berkorelasi signifikan terhadap peluang penyandang disabilitas untuk bergabung dengan angkatan kerja dan menjadi penganggur. Lebih spesifik lagi, perempuan penyandang disabilitas memiliki kemungkinan lebih rendah untuk bergabung dengan angkatan kerja, terutama mereka yang berpendidikan rendah. Tinggal di rumah tangga dengan rasio ketergantungan yang tinggi cenderung membuat perempuan disabilitas tereksklusi dari angkatan kerja. Hal ini menunjukkan bahwa peran perempuan untuk melakukan kerja-kerja perawatan juga relevan dalam konteks penyandang disabilitas. Tidak hanya itu, perempuan penyandang disabilitas juga memiliki kemungkinan lebih kecil untuk bekerja di sektor formal.
Lebih lanjut, studi tersebut menemukan bahwa proporsi angkatan kerja penyandang disabilitas yang putus asa jauh lebih besar dibanding nondisabilitas, terutama di antara mereka yang menganggur. Ketika mereka memasuki pasar tenaga kerja, peluang mereka untuk dipekerjakan lebih rendah dibandingkan dengan nondisabilitas, terutama untuk bekerja di sektor formal. Semakin parah status disabilitas dan semakin tinggi jumlah kesulitan fungsional seorang penyandang disabilitas, semakin kecil kemungkinan ia untuk masuk ke dalam angkatan kerja dan bekerja di sektor formal.
Kurangnya Regulasi yang Mendukung
Eksklusi penyandang disabilitas dari pasar tenaga kerja pada dasarnya bersifat sistemik, selain akibat diskriminasi yang mengakar dan terus berlanjut. Kurangnya regulasi dan kebijakan yang mendukung terbukanya kesempatan kerja yang lebih luas bagi penyandang disabilitas termasuk di antaranya. Misalnya, UU 8/2016 hanya mewajibkan perusahaan swasta untuk mempekerjakan minimal 1% penyandang disabilitas; sementara pemerintah, BUMN, dan BUMD minimal 2%. Jika mengacu pada persentase penyandang disabilitas di Indonesia, porsi 1-2% ini tidaklah proporsional.
Eksklusi ini kian terasa ketika mekanisme pengawasan dan penegakan regulasi berjalan lemah, sehingga ketentuan soal kuota tenaga kerja penyandang disabilitas sering tidak lebih dari sekadar himbauan normatif—sering dilanggar atau “diakali”. Banyak perusahaan yang masih memandang pemenuhan kuota tersebut sebagai beban alih-alih langkah strategis untuk keberagaman dan produktivitas.
“Menurut saya, kebanyakan perusahaan hanya formalitas doank dalam merekrut tenaga kerja disabilitas. Hanya untuk kepentingan mereka saja, setelah itu ya disingkirkan. Saya gak perlu menyebut itu dimana, tapi ada kenyataan seperti itu,” kata Rahmat.
Pada saat yang sama, ketimpangan akses terhadap pendidikan inklusif dan pelatihan vokasional berkualitas membuat banyak penyandang disabilitas tidak memiliki keterampilan yang secara formal diakui dan dibutuhkan pasar kerja. Akibatnya, penyandang disabilitas terhimpit dalam keadaan yang serba tak mendukung: kesempatan memperoleh pekerjaan yang terbatas karena dianggap kurang/tidak kompeten, sementara kesempatan untuk meningkatkan kompetensi juga minim.
Selain itu, hambatan fisik dan sosial dalam lingkungan kerja memperparah rendahnya tingkat partisipasi penyandang disabilitas dalam dunia kerja. Banyak tempat kerja belum menyediakan akomodasi yang layak seperti aksesibilitas bangunan, alat bantu kerja, atau pengaturan jam kerja yang fleksibel. Di sisi lain, stigma sosial juga berperan besar, seperti anggapan bahwa penyandang disabilitas tidak/kurang produktif.
Pada gilirannya, eksklusi sistemik dalam pasar tenaga kerja berkontribusi langsung pada tingginya tingkat pengangguran penyandang disabilitas, sehingga menghambat upaya untuk mengurangi ketimpangan dan menciptakan keadilan sosial yang merupakan pilar kesejahteraan bersama.
Mengatasi Pengangguran Disabilitas
Orang dengan disabilitas memiliki hak yang sama dengan nondisabilitas untuk mengakses pekerjaan yang layak dan produktif, sesuai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) Nomor 8 tentang pekerjaan yang layak dan pertumbuhan ekonomi. Pada saat yang sama, pemenuhan hak penyandang disabilitas atas pekerjaan yang layak akan mendukung upaya pengurangan ketimpangan dan pemberantasan kemiskinan. Oleh karena itu, mengatasi pengangguran disabilitas harus menjadi agenda prioritas negara demi kehidupan yang lebih baik untuk semua.
Menghapus eksklusi dan meningkatkan kuota pekerja disabilitas di tempat kerja adalah salah satu langkah kunci yang perlu dilakukan. Hal ini harus dibarengi dengan perluasan akses ke pendidikan dan pelatihan vokasional berkualitas dan inklusif, yang menyasar seluruh penyandang disabilitas. Pada akhirnya, menghapus diskriminasi dan stigma dalam segala bentuknya adalah hal fundamental untuk mencapai tujuan ini. Dalam hal ini, meningkatkan kesadaran dan pemahaman seluruh lapisan masyarakat tentang hak-hak penyandang disabilitas dan inklusi sosial serta pentingnya penghormatan terhadap martabat manusia adalah kuncinya.
Join Membership Green Network Asia – Indonesia
Jika Anda menilai konten ini bermanfaat, dukung gerakan Green Network Asia untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia. Dapatkan manfaat khusus untuk pengembangan pribadi dan profesional Anda.
Jadi Member Sekarang
Wawancara dengan Jasmin Lim, Chief Marketing Officer di BH Global
Mengintegrasikan Program MBG dengan Tata Kelola Gizi dan Sistem Kesehatan
Bagaimana Proyek PLTB Monsun Dukung Transisi Energi Lintas Batas di Asia Tenggara
Menilik Fenomena Pengolahan Sampah Plastik menjadi Bahan Bakar di Tingkat Akar Rumput
Pink Tax dan Beratnya Ongkos Menjadi Perempuan
Mengatasi Risiko Konsumsi Minuman Berpemanis dalam Kemasan