Menilik Potensi dan Tantangan Pengembangan Biofuel dari Limbah Pertanian
Masaki Ikeda di Wikimedia Commons.
Di tengah peralihan menuju energi terbarukan, berbagai sumber energi alternatif muncul untuk menggantikan energi fosil. Limbah pertanian termasuk di antaranya. Setelah sekian lama dimanfaatkan sebagai sumber pakan ternak, pupuk, dan bahan kerajinan tangan, limbah pertanian kini digadang-gadang sebagai sumber energi terbarukan yang menjanjikan.
Potensi Limbah Pertanian sebagai Bahan Baku Energi Terbarukan
Limbah pertanian merupakan sumber daya yang melimpah, namun masih belum banyak dimanfaatkan secara optimal. Menurut laporan IRENA, residu pertanian global berada pada skala besar, dan dapat menyediakan energi terbarukan dalam jumlah signifikan jika dikelola dengan baik.
Di Indonesia sendiri, produksi limbah pertanian relatif besar, terutama dari padi dan jagung serta dari industri kelapa sawit seperti tandan kosong, sabut, dan batang pohon. Namun, sebagian besar limbah pertanian masih dibakar atau dibuang, terutama karena keterbatasan infrastruktur pengumpulan serta kurangnya pemahaman tentang nilai ekonomi sisa di kalangan petani.
Pada prinsipnya, biofuel dari limbah pertanian termasuk jenis biofuel generasi kedua, dan karenanya dianggap lebih baik dibandingkan biofuel generasi pertama yang dihasilkan dari tanaman pangan seperti minyak sawit, jagung, dan tebu. Potensi limbah pertanian sebagai sumber energi terbarukan terbuka lebar karena kandungan kimiawinya yang mendukung konversi menjadi berbagai bentuk energi. Sebagai contoh, limbah seperti jerami padi, tongkol jagung, ampas tebu, dan sabut sawit mengandung fraksi selulosa, hemiselulosa, dan lignin, yang dapat diolah menjadi bioetanol selulosa melalui proses pretreatment termokimia, hidrolisis enzimatis, dan fermentasi.
Selain itu, fraksi lignin dapat dimanfaatkan untuk pembakaran atau gasifikasi, sedangkan residu biomassa lainnya seperti sisa selulosa, hemiselulosa, dan bahan organik lain dapat dikelola untuk menghasilkan biogas atau diolah menjadi biochar untuk pupuk dan bahan remediasi tanah melalui digesti anaerobik. Menurut analisis ICCT, Indonesia bisa memproduksi jutaan liter etanol selulosa setiap tahun jika limbah pertanian dimanfaatkan secara optimal.
Bobibos dan Biofuel berbasis Limbah Pertanian
Di Indonesia, potensi limbah pertanian sebagai bahan baku energi terbarukan terus mencuat, salah satunya dengan kemunculan Bobibos, sebuah produk bahan bakar nabati yang diolah dari jerami. Kemunculan Bobibos menyita perhatian karena klaim ramah lingkungan, efisien, dan tingkat oktan yang mendekati RON 98.
Namun, Bobibos bukanlah satu-satunya wacana biofuel generasi kedua yang muncul di Indonesia. Perhatian terhadap biofuel generasi kedua berbasis limbah pertanian telah muncul dalam berbagai riset. Limbah-limbah seperti ampas tebu, sekam padi, dan tongkol jagung, telah dieksplorasi dalam berbagai studi sebagai kandidat bioenergi yang berpotensi mengurangi jejak karbon dan meningkatkan nilai tambah pertanian.
Bagasse, misalnya, menyimpan banyak selulosa dan hemiselulosa yang bisa diolah menjadi bioetanol melalui proses pretreatment dan fermentasi. Selain itu, sekam padi dan tongkol jagung bisa diproses menjadi bio-oil dan biochar melalui pirolisis. Sebuah penelitian mengidentifikasi nilai kalor biochar hasil pirolisis pada berbagai suhu, menunjukkan potensi residu ini menjadi bahan bakar padat dan bahan perbaikan tanah.
Mengatasi Tantangan
Namun pemanfaatan limbah pertanian sebagai sumber bahan bakar terbarukan bukannya tanpa tantangan. Sebuah penelitian memperingatkan bahwa pengambilan residu berlebihan dapat menurunkan karbon dan kesuburan tanah. Penghilangan residu dalam jumlah tinggi dapat mempercepat erosi, merusak struktur agregat tanah, dan menurunkan kadar bahan organik yang penting untuk kesuburan jangka panjang.
Pada saat yang sama, menentukan nilai ambang pengambilan residu yang aman bukanlah hal yang sederhana, karena tergantung pada jenis tanah, iklim, dan rotasi tanaman. Tanpa pedoman yang jelas, potensi kerusakan jangka panjang akan menjadi hambatan serius. Sebuah kajian menekankan perlunya pendekatan lanskap yang mempertimbangkan jumlah residu yang dipanen, kebutuhan kompos, dan praktik konservasi tanah, agar bioenergi dari limbah pertanian benar-benar memberikan dampak positif bagi pengurangan emisi dan ketahanan energi.
Selain tantangan ekologi, aspek logistik dan rantai pasok juga menjadi kendala. Limbah pertanian tersebar di lahan pertanian kecil dan beragam, sehingga pengumpulan massal memerlukan infrastruktur pengeringan, titik pengumpulan, serta transportasi yang efisien. Laporan IRENA tentang bioenergi residu pertanian menyoroti bahwa kelemahan dalam mobilisasi biomassa adalah di banyak tempat rantai pasok tidak efisien, dan proyek bioenergi sulit mencapai skala yang ekonomis tanpa model logistik yang cerdas. Di samping itu, hambatan institusional juga dapat memperlambat pengembangan rantai pasok biomassa yang berkelanjutan.
Lebih lanjut, teknologi yang dibutuhkan dalam produksi etanol selulosa memerlukan biaya yang tinggi, dengan sulitnya memastikan rantai pasok biomassa yang stabil dan berkelanjutan. Studi ICCT menyebutkan bahwa untuk membangun fasilitas etanol selulosa generasi kedua secara komersial, dukungan kebijakan seperti subsidi produksi atau hibah investasi sangat dibutuhkan pada tahap awal.
Tantangan lainnya menyangkut teknis-ekonomi. Konversi limbah lignoselulosa menjadi biofuel seperti etanol selulosa memerlukan pretreatment yang canggih, enzim yang mahal, serta investasi awal dalam biorefinery. Biaya untuk memecah struktur lignin dan selulosa cukup tinggi, dan membutuhkan dukungan pembiayaan yang kuat. Di samping itu, pasar untuk produk sampingan seperti biochar atau listrik perlu dikembangkan untuk menutup biaya konversi. Tanpa itu, bioenergi berbasis limbah pertanian akan sulit bersaing dengan bahan bakar fosil atau biofuel generasi pertama.
Oleh karena itu, diperlukan strategi nasional yang menyatukan kepentingan energi, pertanian, dan lingkungan melalui kerangka kebijakan yang terintegrasi dalam pemanfaatan limbah pertanian sebagai sumber energi. Pemerintah perlu menetapkan ambang pengambilan residu yang aman per komoditas, sembari membangun ekosistem rantai pasok biomassa yang efisien. Selain itu, dukungan pembiayaan dan insentif inovasi untuk teknologi pretreatment serta konversi lignoselulosa sangat penting agar biofuel dari limbah pertanian dapat mencapai biaya produksi yang kompetitif. Dengan regulasi keberlanjutan yang ketat, limbah pertanian dapat menjadi fondasi penting dalam transisi energi rendah karbon yang turut mendukung kesejahteraan petani.
Join Green Network Asia – Ekosistem Nilai Bersama untuk Pembangunan Berkelanjutan.
Dukung gerakan Green Network Asia untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia.
Jadi Member Sekarang
Kemajuan dan Kesenjangan Energi Terbarukan Dunia sebagai Sumber Listrik
Menurunnya Kadar Oksigen Sungai-Sungai di Dunia
Bagaimana Kampung Nelayan Merah Putih dapat Mendukung Pembangunan Wilayah Pesisir?
(Bukan Sekadar Kisah) Miliarder yang Mewakafkan Seluruh Hartanya bagi Bumi
Bagaimana Sains Warga dapat Bantu Atasi Polusi Plastik
COP30: Momen Genting untuk Mengadopsi Indikator Adaptasi Iklim