Menilik Simpul Antara ‘Gajah Terakhir’ dan Banjir di Sumatera
Ilustrasi: Irhan Prabasukma.
Sistem-sistem ekologi di Bumi saling terhubung. Kita telah menyaksikan bukti yang tak tepermanai tentang bagaimana nasib satwa liar, manusia, dan seluruh makhluk hidup di planet ini saling terkait. Di seluruh dunia, keanekaragaman hayati dan ekosistem menurun dengan kecepatan yang mengerikan. Dan pada saat yang sama, kita mengalami peristiwa cuaca ekstrem dan bencana yang semakin parah. Itu pula yang terjadi di Pulau Sumatera, rumah bagi gajah, harimau, dan banyak spesies langka lainnya. Sudah saatnya untuk menarik garis antara penurunan populasi satwa liar dan tragedi banjir di Sumatera.
Penurunan Populasi Satwa Liar dan Deforestasi di Sumatera
Nasib gajah sumatera saat ini harus dilihat sebagai peringatan ekologis, bukan sekadar angka dalam laporan konservasi. Secara ekologis, mereka adalah spesies kunci yang menyebarkan biji tumbuhan dan menjaga dinamika hutan.
Yang mengkhawatirkan, populasi gajah sumatera di alam liar telah menurun menjadi tinggal 2.400-2.800 individu. Sebagian besar habitat spesies yang terancam punah ini telah dibabat dan berubah menjadi petak-petak kecil (terfragmentasi), membuat banyak kelompok gajah lokal terisolasi dan semakin rentan.
Salah satu contoh paling jelas dapat dilihat di Taman Nasional Tesso Nilo (TNTN) di Pelalawan, Riau. TNTN adalah benteng terakhir hutan hujan dataran rendah Sumatera dan rumah penting bagi gajah dan harimau. Semula, area yang ditetapkan sebagai kawasan hutan lindung sekitar 81.000 hektare. Namun analisis citra satelit oleh Nusantara Atlas menunjukkan bahwa sekitar 80% tutupan hutan kawasan konservasi ini telah hilang. Hal ini terutama disebabkan oleh ekspansi perkebunan kelapa sawit, yang banyak di antaranya ilegal, dan berbagai aktivitas manusia lainnya.
Namun, deforestasi yang terjadi bukan hanya cerita tentang “minyak sawit ilegal” dengan pelaku yang tidak jelas. Sejak 2013, puluhan ribu hektare hutan lindung di kawasan Tesso Nilo telah berubah menjadi perkebunan kelapa sawit yang memasok kebutuhan kelompok-kelompok besar perusahaan kelapa sawit. Environmental Justice Atlas mencatat lebih dari 36.000 hektare area TNTN berada di bawah kendali pemilik perkebunan kelapa sawit.
Perusahaan-perusahaan besar bukan satu-satunya petaka. Investigasi Mongabay juga mengungkapkan bahwa banyak kebun di Tesso Nilo yang dikelola oleh petani kecil, pengusaha lokal, dan makelar tanah. Sementara itu, penegakan hukum tetap lemah selama bertahun-tahun; sementara pemerintah daerah dan pemerintah pusat kerap alpa dalam masalah ini jika bukan korup. Di tengah semua itu, salah satu habitat terakhir gajah Sumatera perlahan-lahan terkikis.
Kaitannya dengan Bencana Banjir di Sumatera
Eksploitasi hutan dan ekspansi perkebunan kelapa sawit di hulu tidak hanya mengusir satwa liar, tetapi juga merusak kemampuan hutan untuk menyerap dan mengelola air. Hutan yang sehat berfungsi sebagai spons raksasa: kanopi memperlambat jatuhnya air hujan, sementara akar menahan tanah dan menyimpan air di profil tanah. Ketika hutan ditebang dan digantikan oleh tanaman monokultur, sistem ini akan runtuh. Hujan deras akan berubah menjadi limpasan cepat, menyeret tanah dan kayu ke sungai yang sudah menyempit karena sedimentasi dan bangunan di tepiannya. Sungai lebih mudah meluap, dan desa-desa di hilir menjadi sasaran.
Hal serupa terjadi di berbagai belahan dunia. Di Indonesia, kita melihat dampak semua ini pada penghujung November 2025. Hujan ekstrem yang dipicu oleh badai dan monsun melanda Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat. Hingga proses evakuasi per 12 Desember 2025, tercatat lebih dari 980 orang meninggal, dan ratusan lainnya hilang, dengan lebih dari 3,1 juta orang terdampak. Hampir 600 ribu orang harus dievakuasi. Sejak tahun 2001, Sumatera telah kehilangan sekitar 4,4 juta hektare hutan—luasnya mengalahkan luas negara Swiss. Itu sebabnya, ketika hujan ekstrem bertemu dengan lereng yang gundul dan DAS yang rusak, yang terjadi bukan lagi “bencana alam”, melainkan bencana yang disebabkan oleh tindakan manusia.
Pada titik ini, teori hijau dalam ilmu hubungan internasional menawarkan lensa yang relevan. Teori ini mengkritik pandangan arus utama yang mengukur keberhasilan suatu negara semata-mata berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan stabilitas politik seraya mengabaikan batas-batas ekologis. Dari perspektif ini, deforestasi dan banjir di Sumatra merupakan bentuk kerawanan lingkungan, yang ditandai dengan runtuhnya sistem pendukung kehidupan.
Manusia menghancurkan hutan demi komoditas ekspor. Gajah kehilangan habitat mereka. Masyarakat hilir kehilangan jaring pengaman ekologis mereka.
Faktor Penyebab dan Kurangnya Akuntabilitas
Namun, penyebab semua ini bukan hanya “kurangnya kesadaran lingkungan”. Pendekatan ekonomi politik kritis dan ekologi politik membantu kita memahami siapa yang diuntungkan dan siapa yang menjadi korban. Keuntungan dari penebangan kayu, minyak sawit mentah (CPO), dan pertambangan mengalir ke korporasi besar, investor, dan elite politik yang mengendalikan izin. Sementara itu, penduduk desa di tepi sungai berjibaku dengan banjir, para petani kecil kehilangan lahan, dan gajah Sumatera terkurung di kantong-kantong hutan yang semakin menyempit. Laporan tentang Tesso Nilo dan kasus-kasus di Sumatera mengungkapkan pola yang serupa: pemerintah lambat menindak para pelanggar hutan, tetapi cepat membuka jalan bagi investasi ekstraktif.
Respons negara terhadap banjir di Sumatera juga jauh dari harapan. Sebelum bencana ini melanda, badan-badan penanggulangan bencana mengalami pemotongan anggaran besar-besaran. Lalu, pernyataan resmi menyebut bahwa kondisi “telah membaik,” dan tidak memerlukan status bencana nasional. Padahal kenyataannya sangat kontras dengan apa yang dialami warga yang masih terjebak di tenda-tenda pengungsian, kehabisan bekal kebutuhan, dan menanti bantuan yang tak memadai. Dalam keadaan demikian, yang bergerak cepat justru adalah warga sendiri. Jaringan sukarelawan, komunitas, dan donatur kecil bergerak menggalang dana, membuka dapur umum, dan bahkan menyelamatkan hewan peliharaan dan satwa liar, seperti yang tercatat dalam beberapa laporan jurnalisme warga di seluruh Sumatera.
Memahami Simpul
Dengan menggabungkan semua potongan di atas, maka simpul antara “gajah terakhir” dan banjir di Sumatera jelas: keduanya adalah akibat dari pola yang sama. Apa yang saya sebut “gajah terakhir” tidak secara harfiah berarti satu-satunya gajah yang tersisa, tetapi kondisi kritis populasi satwa liar dan habitat di Sumatera. Gajah yang terusir dari Tesso Nilo dan orang-orang yang rumahnya terendam dan hanyut oleh banjir adalah korban dari sistem yang sama: logika pembangunan yang memperlakukan hutan sebagai cadangan komoditas, bukan sebagai rumah bersama.
Penerjemah: Abul Muamar
Baca juga versi asli artikel ini dalam bahasa Inggris di Green Network Asia.
Join Membership Green Network Asia – Indonesia
Di tengah tantangan global yang semakin kompleks saat ini, membekali diri, tim, dan komunitas dengan wawasan interdisipliner dan lintas sektor tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) bukan lagi pilihan — melainkan kebutuhan strategis untuk tetap terdepan dan relevan.
Join SekarangCharisya is a Master’s student of International Relations at Gadjah Mada University, Indonesia, focusing on climate justice, children’s rights, and post-conflict issues. She has experience in research and advocacy writing across the humanitarian and environmental sectors.

Meningkatnya Angka Pengangguran Sarjana dan Sinyal Putus Asa di Pasar Kerja Indonesia
Wawancara dengan May Tan-Mullins, CEO dan Rektor University of Reading Malaysia
Memperkuat Ketahanan Masyarakat di Tengah Meningkatnya Risiko Bencana
UU KUHAP 2025 dan Jalan Mundur Perlindungan Lingkungan
Wawancara dengan Eu Chin Fen, CEO Frasers Hospitality
Meningkatkan Akses terhadap Fasilitas Olahraga Publik di Tengah Tren Gaya Hidup Sedenter