Merawat Harmoni di Tengah Keberagaman: Cerita Kehidupan dan Dinamika Sosial Masyarakat Desa Kandangan, Lumajang
Suasana kehangatan di dalam Situs Selogending. | Foto: Alya Khalisa Putri.
Desa Kandangan, Kecamatan Senduro, Kabupaten Lumajang, Jawa Timur, menawarkan potret keberagaman budaya dan kerukunan dalam kehidupan sehari-hari yang membentuk harmoni. Desa yang berada di kaki lereng Semeru ini merupakan ruang komunal bagi dua kelompok utama: komunitas Hindu dan komunitas Muslim. Kunci keharmonisan mereka terletak pada sistem budaya lokal yang dipegang teguh secara turun temurun hingga hari ini, di mana peran Romo Dukun (Pemangku Adat) melampaui batas-batas agama formal.
Dalam kunjungan ke Desa Kandangan selama tiga hari pada 21-23 Mei 2025, saya menemukan bahwa untuk dapat hidup rukun, masyarakat di Desa Kandangan tidak mengandalkan konsep-konsep besar atau slogan-slogan tentang toleransi. Mereka mempraktikkannya dalam cara-cara yang sederhana namun nyata: saling menyapa, bekerja bersama, menghargai ruang ibadah masing-masing, hingga bergotong-royong.
Romo Dukun sebagai Penjaga Harmoni Sosial di Desa Kandangan

Ada satu hal yang membuat harmoni di Desa Kandangan terasa lebih kuat: masyarakatnya menempatkan penghargaan terhadap alam dan perawatan budaya sebagai landasan utama hidup bersama. Desa ini memiliki struktur sosial yang unik, di mana peran sentral dalam sistem budaya desa dipegang oleh pemangku adat, atau yang lebih dikenal dengan sebutan Romo Dukun.
Romo Dukun bukanlah sekadar figur agama Hindu, melainkan seorang pemangku spiritual yang memiliki kewenangan ritualistik atas seluruh kegiatan adat desa, dan dihormati oleh seluruh komunitas umat beragama yang ada di desa tersebut. Tidak sembarang orang bisa menjadi Romo Dukun; umumnya diteruskan dalam garis keluarga, dari ayah kepada anak, namun tidak berarti setiap keturunan otomatis langsung menduduki posisi itu. Ada proses seleksi dan upacara khusus yang harus dijalani dan juga tes yang diadakan di Gunung Bromo yang disebut Kasada.
Dalam tradisi Desa Kandangan, calon Romo Dukun harus mampu melafalkan berbagai mantra adat, doa-doa yang sarat simbol dan mewakili seluruh masyarakat desa. Menguasai mantra bukan hanya soal mengingat kata-kata, tetapi menunjukkan kedalaman hubungan spiritual dan kultural calon dukun dengan leluhur serta kekuatan gaib yang dipercaya menjaga keseimbangan desa. Karena itu, Romo Dukun memegang peran penting sebagai jembatan antara dunia manusia dan dunia spiritual, sosok yang memastikan keharmonisan budaya dan sosial tetap terjaga.
Peran simbolik sekaligus praktis yang dimiliki Romo Dukun membuat posisinya dihormati oleh seluruh lapisan masyarakat, terlepas dari latar belakang agama atau afiliasi sosial mereka. Dalam banyak keputusan penting, termasuk pemilihan kepala desa, warga tetap mengandalkan restu Romo Dukun sebagai bentuk legitimasi moral dan kultural. Restu ini dipandang sebagai penanda bahwa sebuah keputusan selaras dengan nilai-nilai yang diwariskan leluhur dan tidak mengganggu keseimbangan desa.
Budaya, Ritual, dan Tradisi yang Terus Dijaga
Selain peran Romo Dukun, harmoni di Desa Kandangan juga terjaga lewat tradisi bersama yang terus dirawat. Misalnya, setiap tahun warga menggelar Sedekah Desa sebagai bentuk syukur atas apa yang alam berikan. Romo Dukun bercerita bahwa Sedekah Desa memegang prinsip “Memayu Hayuning Buwono”, yang berarti masyarakat percaya pada pentingnya “ngaruat jagad”, yakni membersihkan dan menyelaraskan alam agar harmonis.
Dalam Sedekah Desa, warga dari semua dusun ikut andil. Mereka membawa jolen (gunungan hasil bumi yang terdiri dari sayuran, buah, dan makanan pokok) yang kemudian diarak dalam pawai bersama menuju Situs Selogending. Seluruh lapisan masyarakat, dari perangkat desa, orang muda, orang tua, hingga para ibu ikut serta dalam ritual ini. Suasana kebersamaan sangat kental: arak-arakan diiringi kesenian tradisional seperti Reog, warga berjalan bersama, lalu gunungan dibagikan kepada semua orang tanpa membedakan kelompok atau latar belakang. Sayang sekali saya hanya bisa mendengar dan membayangkan cerita tersebut tanpa menyaksikannya langsung karena Sedekah Desa baru dilaksanakan sebulan setelah kunjungan saya.
Di tengah-tengah obrolan dengan Romo Dukun, rasa penasaran menyelimuti saya. Saya bertanya, apakah sedekah desa perlu dilaksanakan setiap tahun, dan apa yang terjadi jika suatu waktu tidak dilaksanakan? Romo Dukun bercerita bahwa pernah satu kali ketika sedekah desa tidak digelar. Dampaknya langsung terasa: banyak warga jatuh sakit, begitu pula hewan ternak ikut terdampak. Bagi warga, kejadian itu menjadi pengingat bahwa sedekah desa bukan sekadar upacara adat, tetapi ritus yang diyakini menjaga keseimbangan desa dan hubungan mereka dengan alam.
Ada pula Festival Lahar Polo Pendem, sebuah kegiatan budaya yang digagas oleh Wira Brahma, seorang penggiat budaya yang juga sempat saya temui di kediamannya. Ia menjelaskan bahwa festival ini dibuat sebagai cara untuk mengingatkan masyarakat tentang pentingnya ketahanan pangan. Dengan hasil bumi yang melimpah, menurutnya Desa Kandangan tidak harus bergantung pada nasi sebagai makanan pokok. Hasil pertanian seperti umbi-umbian, mulai dari singkong hingga talas, dapat menjadi sumber pangan yang tidak kalah enak dan penting.

Di sisi lain, terdapat keberadaan Situs Selogending yang menunjukkan bahwa wilayah ini sudah dihuni sejak masa prasejarah. Temuan arkeologis di sana menguatkan kesadaran warga bahwa mereka hidup di tempat yang menyimpan sejarah panjang, sehingga tradisi leluhur dirawat bukan sekadar kebiasaan, tetapi bentuk penghormatan pada jejak panjang peradaban. Melalui rangkaian ritual dan warisan budaya ini, Desa Kandangan tidak hanya menjaga identitasnya, tetapi juga memperkuat hubungan sosial warganya dari waktu ke waktu.
Toleransi yang Hidup dalam Praktik Sehari-hari
Jika ditelusuri lebih jauh, cara masyarakat Desa Kandangan membangun kerukunan tidak hanya sebatas pada hidup berdampingan. Mereka hidup bersama dengan saling menghormati, termasuk saling hadir dalam ritual dan acara besar keagamaan masing-masing. Kepala desa yang beragama Islam, misalnya, turut datang dalam upacara Hindu seperti Kasada atau Unan-unan yang melibatkan seluruh komunitas. Tidak jarang ketika ada upacara keagamaan Hindu, umat Muslim ikut turut menjaga kekondusifan, membantu menjaga kelancaran acara, dan anggota Banser sering diterjunkan untuk memastikan situasi aman dan tertib. Hal serupa juga sebaliknya. Saat umat Muslim melaksanakan salat Idulfitri atau Iduladha, misalnya, warga Hindu ikut menjaga lingkungan sekitar agar ibadah berlangsung tenang.
Kebiasaan ini menunjukkan bahwa perbedaan tidak membuat masyarakat terkotak-kotak. Justru sebaliknya, perbedaan itu menjadi ruang yang memperkuat kebersamaan dan memberi warna bagi kehidupan desa. Dalam keseharian maupun implementasi kebijakan pemerintahan, seluruh warga diperlakukan sama tanpa membedakan agama atau keyakinan. Program pembangunan, pembagian bantuan, hingga kegiatan sosial, berjalan tanpa diskriminasi.
Dari pengalaman singkat saya berkunjung ke Desa Kandangan, saya melihat bahwa pembangunan perdamaian tidak selalu–bahkan tidak harus–tentang meredam konflik, melainkan membangun dan merawat sistem sosial yang adil dan saling menghormati, turun-temurun. Pembangunan perdamaian—sebagaimana ditekankan dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan 16—akan berjalan ketika semua kelompok diakui, aman, dan memiliki ruang yang setara dan bermakna untuk berkontribusi dalam komunitas dan lingkungan masyarakat. Ini dapat menjadi pelajaran berharga dan penting bagi para pemimpin lokal, pembuat kebijakan, dan masyarakat di mana pun berada, bahwa modal penting dalam menjaga harmoni di tengah keberagaman terletak pada bangunan sosial yang kokoh berupa kepercayaan, penghormatan terhadap perbedaan, kolaborasi lintas budaya, dan komitmen bersama untuk merawat kerukunan.
Editor: Abul Muamar
Join Membership Green Network Asia – Indonesia
Jika Anda menilai konten ini bermanfaat, dukung gerakan Green Network Asia untuk menciptakan dampak positif bagi masyarakat dan lingkungan melalui pendidikan publik dan advokasi multi-stakeholder tentang isu-isu keberlanjutan (sustainability) dan pembangunan berkelanjutan (sustainable development) di Indonesia dan dunia. Dapatkan manfaat khusus untuk pengembangan pribadi dan profesional.
Jadi Member SekarangAlya adalah mahasiswa tingkat akhir pada Program Studi Ilmu Politik di Universitas Airlangga. Ia menaruh perhatian pada isu-isu kebijakan publik, hak asasi manusia, serta gender.

Memperkuat Ketahanan Masyarakat di Era Disrupsi
Memperkuat Tata Kelola Mitigasi Risiko Bencana: Pelajaran dari Bencana Hidrometeorologi di Sumatera
Obat Manjur bagi Kegelisahan Para CEO
Membangun Pendekatan Strategis untuk Dukung Kesehatan Perkotaan
Memahami dan Mendorong Transformasi Keberlanjutan Perusahaan: Belajar dari Makalah Nurani, dkk (2025)
Memahami dan Mengatasi Deprivasi Anak Multidimensi