Mewujudkan Kota Inklusif Disabilitas melalui Pengumpulan Data Partisipatif

Foto: Jakub Pabis di Unsplash.
Kota berkelanjutan mensyaratkan adanya ruang hidup yang inklusif bagi semua, yang mengakomodir berbagai kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Namun, perencanaan dan pembangunan kota di berbagai daerah seringkali mengabaikan kebutuhan kelompok rentan, seperti perempuan dan orang dengan disabilitas. Terkait hal ini, Gerakan Kota Inklusif Makassar muncul sebagai upaya untuk mewujudkan kota inklusif disabilitas melalui pengumpulan data secara partisipatif.
Kurangnya Kota Inklusif Disabilitas di Indonesia
Kota inklusif disabilitas masih menjadi hal yang langka di Indonesia. Di berbagai daerah, kota-kota secara umum masih belum ramah terhadap orang dengan disabilitas, dengan aspek infrastruktur fisik sebagai isu yang paling menonjol. Hal ini terutama ditandai oleh kurangnya aksesibilitas di ruang-ruang publik seperti trotoar, halte, fasilitas kesehatan, dan fasilitas umum lainnya; serta terbatasnya transportasi publik yang ramah difabel.
Masalah aksesibilitas fisik hanyalah satu hal. Ketimpangan akses ke pendidikan dan pekerjaan juga merupakan isu utama lainnya. Masih banyak sekolah atau lembaga pendidikan yang kurang ramah terhadap difabel, baik dalam hal fisik maupun sistem pembelajarannya. Sama halnya dengan sulitnya penyandang disabilitas untuk memperoleh pekerjaan maupun pelatihan.
Kurangnya pemahaman, kesadaran, dan empati dari masyarakat secara umum juga menjadi isu yang tidak boleh diabaikan. Misalnya, ketika trotoar di sebagian ruas jalan telah dilengkapi dengan jalur pemandu (guiding block), yang sering terjadi adalah trotoar tersebut digunakan untuk lapak dagang atau tempat parkir. Hal ini semakin diperparah oleh stigma dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas yang tumbuh di tengah masyarakat.
Isu lainnya yang mesti digarisbawahi adalah kurangnya partisipasi penyandang disabilitas dalam perencanaan dan pembangunan kota. Selama ini, penyandang disabilitas memiliki ruang dan kesempatan yang terbatas untuk menyuarakan pendapat mereka, sehingga menghambat pembangunan perkotaan yang inklusif.
Gerakan Kota Inklusif Makassar
Isu-isu tersebut mendorong lahirnya Gerakan Kota Inklusif Makassar, yang diluncurkan pada 8 Mei 2025. Dipimpin oleh Yayasan Kota Kita dan UNESCO, bekerja sama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Makassar, gerakan ini bertujuan mengatasi diskriminasi dalam perencanaan kota dan meningkatkan layanan publik melalui pengumpulan data partisipatif serta kolaborasi dengan para pemangku kepentingan lokal.
Pengumpulan data secara partisipatif juga melibatkan PerDIK (Pergerakan Difabel Indonesia untuk Kesetaraan), sebuah organisasi lokal yang memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas dan inklusi. Data yang terkumpul digunakan untuk memperkaya perencanaan kota di masa depan, sehingga Makassar dapat berkembang menjadi kota yang lebih adil, setara, dan ramah bagi seluruh warganya.
Proses pengumpulan data secara partisipatif berlangsung dalam kurun waktu April hingga November 2025, mencakup beberapa kegiatan utama: Pemetaan awal terhadap isu-isu dan wilayah survei potensial; Survei partisipatif yang melibatkan 20 orang muda untuk menjangkau 1.000 penyandang disabilitas di beberapa kelurahan terpilih; dan Lokakarya peningkatan kapasitas bagi Organisasi Penyandang Disabilitas (DPO) lokal.
“Kota yang inklusif dimulai dari data yang inklusif,” ujar Nina Asterina, Manajer Program Urban Inclusivity Yayasan Kota Kita. “Melalui pendekatan berbasis komunitas dan dipimpin oleh orang muda, kami berharap dapat menjembatani kesenjangan data yang ada serta mendorong perencanaan kota yang lebih adil dan berkelanjutan di Makassar.”
Lebih dari Sekadar Aksesibilitas Fisik
Gerakan Kota Inklusif Makassar merupakan lanjutan dari kemitraan jangka panjang antara Kota Kita dan UNESCO yang telah berlangsung sejak 2017, yang bertujuan untuk mempromosikan kota inklusif disabilitas melalui pengumpulan data partisipatif. Kolaborasi sebelumnya dilakukan di Surakarta dan Banjarmasin, yang telah mendorong serangkaian aksi lokal dalam menciptakan ruang-ruang inklusif bagi penyandang disabilitas melalui pendekatan co-design (rancang bersama).
“Kota inklusif bukan hanya tentang aksesibilitas fisik, tetapi juga tentang martabat, representasi, dan memastikan setiap suara didengar dalam proses pertumbuhan dan pembangunan kota. Dengan menggabungkan pendekatan partisipatif dan pengumpulan data yang kuat, kita dapat membangun lingkungan perkotaan yang menghormati, memberdayakan, dan menyertakan semua orang,” ujar Maki Katsuno-Hayashikawa, Direktur dan Perwakilan UNESCO Regional Office di Jakarta.
Amar adalah Manajer Publikasi Digital Indonesia di Green Network Asia. Ia adalah alumnus Magister Filsafat dari Universitas Gadjah Mada, dan Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Sumatera Utara. Ia memiliki lebih dari sepuluh tahun pengalaman profesional di bidang jurnalisme sebagai reporter dan editor untuk beberapa media tingkat nasional di Indonesia. Ia juga adalah penulis, editor, dan penerjemah, dengan minat khusus pada isu-isu sosial-ekonomi dan lingkungan.